Kamis, 30 Mei 2013

Hukum Seputar Khitan

Di kalangan masyarakat Muslim, khitan atau sunnat sudah dianggap tradisi. Meski dalam hal hukum khitan para ulama berbeda pendapat, tapi ajaran Islam yang dipelopori oleh Nabi Ibrahim ini jarang ditinggalkan.
            Secara bahasa, khitan berarti memotong. Secara terminologi artinya memotong kulit yang menutupi alat kelamin lelaki (penis). Dalam bahasa Arab, khitan juga digunakan sebagai nama lain alat kelamin lelaki dan perempuan seperti dalam hadits yang mengatakan, "Apabila terjadi pertemuan dua khitan, maka telah wajib mandi," (HR Muslim).
            Dalam Islam, khitan merupakan salah satu media penyucian diri dan bukti ketundukan kepada Islam. Dalam hadits Rasulullah bersabda, “Kesucian (fitrah) itu ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memendekkan kumis dan memotong kuku," (HR Bukhari Muslim).

            Menurut jumhur ulama, hukum khitan bagi lelaki wajib. Para pendukung pendapat ini adalah Imam Syafi'i, Ahmad, dan sebagian pengikut Imam Malik. Imam Hanafi mengatakan, khitan wajib tapi tidak fardhu.
Menurut riwayat populer dari Imam Malik, khitan hukumnya sunnah. Begitu juga riwayat dari Imam Hanafi dan Hasan al-Basri yang mengatakan sunnah. Namun bagi Imam Malik, sunnah kalau ditinggalkan berdosa, karena menurut madzhab Maliki, sunnah adalah antara fardhu dan nadb. Ibnu Abi Musa dari ulama Hanbali juga mengatakan sunnah muakkadah.
            Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni mengatakan, khitan bagi lelaki hukumnya wajib dan kemuliaan bagi perempuan. Andaikan seorang lelaki dewasa masuk Islam dan takut khitan maka tidak wajib baginya, sama dengan kewajiban wudhu dan mandi, bisa gugur kalau ditakutkan membahayakan jiwa. Khitan pun demikian.
            Mereka yang menyebutkan khitan tidak wajib mendasarkan pendapatnya pada riwayat bahwa ketika masuk Islam, Salman al-Farisi tidak disuruh khitan. Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari Muslim, Rasulullah bersabda, “Kesucian (fitrah) itu ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memendekkan kumis dan memotong kuku." Dalam hadits ini, khitan disamakan dengan sunnah-sunnah lainnya. Secara logis, khitan juga sunnah.
            Adapun dalil para ulama yang mengatakan khitab wajib, di antaranya hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, bahwa Nabi Ibrahim melaksanakan khitan ketika berumur 80 tahun. Ia dikhitan dengan menggunakan kapak (HR Bukhari). Nabi Ibrahim melaksanakannya ketika diperintahkan untuk khitan walaupun sudah berumur 80 tahun. Ini menunjukkan betapa kuatnya perintah khitan.
            Apapun perbedaan ulama tentang hukum khitan, tapi banyak sekali hikmah yang bisa dipetik. Antara lain, kulit yang di depan alat kelamin bisa terkena najis ketika kencing. Kalau tidak dikhitan maka sama dengan orang yang menyentuh najis di badannya sehingga shalatnya tidak sah. Shalat adalah ibadah wajib, segala sesuatu yang menjadi prasyarat shalat hukumnya wajib.
            Abu Daud dan Ahmad meriwayatkan, Rasulullah berkata kepada Kulaib, “Buanglah rambut kekafiran dan berkhitanlah." Perintah Rasulullah menunjukkan kewajiban.
            Diperbolehkannya membuka aurat saat khitan padahal membuka aurat sesuatu yang dilarang, ini menujukkan khitab wajib, karena tidak diperbolehkan sesuatu yang dilarang kecuali untuk sesuatu yang sangat kuat hukumnya. Memotong anggota tubuh yang tak bisa tumbuh kembali dan disertai rasa sakit, tidak mungkin kecuali karena perkara wajib, seperti hukum potong tangan bagi pencuri.
Khitan juga merupakan tradisi umat Islam sejak zaman Rasulullah bahkan sejak Nabi Ibrahim, sampai zaman sekarang dan tidak ada yang meninggalkannya, maka tidak ada alasan yang mengatakan itu tidak wajib.
            Adapun waktu pelaksanaan khitan, tak ada ketentuan pasti. Namun, sebagian ulama menyimpulkan, waktu wajib khitan adalah saat baligh. Sebab, saat itulah seseorang mulai dibebankan melaksanakan shalat. Tanpa khitan, dikhawatirkan shalat tidak sempurna sebab suci yang merupakan syarat sah shalat, tak terpenuhi. Ibnul Qayim berkata, “Wali (orang tua) tidak boleh membiarkan anak tidak berkhitan hingga melewati baligh,” (Tamamul Minnah hlm 68-69).
            Hal ini ditunjukkan pula oleh riwayat Ibnu Abbas, ketika Rasulullah
wafat Ibnu Abbas seusia anak masa khitan. Para sahabat tidak membiarkan seseorang hingga melewati baligh. Atsar ini dikeluarkan Imam Bukhari (11/90
dalam Fathul Bari dan Ahkamul Maulud hlm 112).
            Adapun waktu sunnah adalah sebelum baligh. Sedangkan waktu ikhtiar (pilihan yang baik untuk dilaksanakan) adalah hari ketujuh setelah lahir, atau 40 hari setelah kelahiran, atau juga dianjurkan pada umur tujuh tahun. Qadhi Husain mengatakan sebaiknya melakuan khitan pada umur 10 tahun karena saat itu anak mulai diperintahkan shalat. Ibnu Mundzir mengatakan, khitan pada umur tujuh hari hukumnya makruh karena itu tradisi Yahudi, namun ada riwayat bahwa Rasulullah mengkhitan Hasan dan Husain, cucu beliau pada umur tujuh hari—meskipun ada yang menyebut hadits ini lemah. Begitu juga Nabi Ibrahim mengkhitan putranya Ishaq pada umur tujuh hari.
            Dalam rangka mewujudkan syukur, belakangan sebagian umat Islam banyak yang melaksanakan walimatul khitan. Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Utsman bin Abi Ash bahwa walimah khitan termasuk yang tidak dianjurkan. Namun demikian secara eksplisit Imam Nawawi menegaskan, walimah khitan boleh dilaksanakan dan hukumnya sunnah memenuhi undangan seperti undangan lainnya.
            Sebagaimana diungkapkan para ahli kedokteran bahwa khitan mempunyai faedah bagi kesehatan karena membuang anggota tubuh yang yang menjadi tempat persembunyian kotoran, virus, najis dan bau yang tidak sedap. Air kencing mengandung semua unsur tersebut. Ketika keluar melewati kulit yang menutupi alat kelamin, maka endapan kotoran sebagian tertahan oleh kulit tersebut.
            Semakin lama endapan tersebut semakin banyak. Bisa dibayangkan berapa lama seseorang melakukan kencing dalam sehari dan berapa banyak endapan yang disimpan oleh kulit penutup kelamin dalam setahun. Karenanya beberapa penelitian medis membuktikan bahwa penderita penyakit kelamin lebih banyak dari kelangan yang tidak dikhitan. Begitu juga penderita penyakit berbahaya, seperti AIDS, kanker kelamin dan bahkan kanker rahim juga lebih banyak diderita oleh pasangan yang tidak dikhitan. Ini juga yang menjadi salah satu alasan non Muslim di Eropa dan AS, belakangan melakukan khitan.

Mengkhitan Anak Perempuan
Hukum khitan bagi perempuan menjadi perbincangan para ulama. Perbedaan pendapat itu disebabkan riwayat hadits seputar khitan perempuan yang masih dipermasalahkan kekuatannya.  Ibnu Mundzir mengatakan, tak ada hadits yang bisa dijadikan rujukan dalam masalah khitan perempuan dan tak ada sunnah yang bisa dijadikan landasan. Semua hadits yang meriwayatkan khitan perempuan sanadnya lemah.
            Riwayat paling populer tentang  khitan perempuan adalah hadits Ummi Athiyah, Rasulullah bersabda, “Wahai Umi Athiyah, berkhitanlah dan jangan berlebihan. Sesungguhnya khitan lebih baik bagi perempuan dan lebih menyenangkan bagi suaminya." Hadits ini diriwayatkan Baihaqi, Hakim dari Dhahhak bin Qais. Abu Daud juga meriwayatkan ha3.
3+6dits serupa tapi semua riwayatnya dhaif. Abu Daud sendiri meriwayatkan hadits ini untuk menunjukkan kedhaifannya. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Talkhisul Khabir.
            Mengingat tak ada hadits kuat tentang khitan perempuan ini, menurut Ibnu Hajar, sebagian ulama Syafi'iyah dan ulama kalangan Hambali mengatakan, tak ada anjuran khitan bagi perempuan. Namun ada juga pendapat, khitan bagi wanita disunnahkan berdasarkan keumuman sabda Nabi saw bahwa sunnah fitrah itu ada lima, di antaranya khitan. Juga berdasarkan riwayat Khalal dari Syaddad bin Aus berkata, Rasulullah saw bersabda, “Khitan itu sunnah bagi para lelaki dan kehormatan bagi para wanita." Mengkhitan anak perempuan hukumnya sunnah, bukan kebiasaan buruk, dan tidak pula membahayakan jika tidak berlebihan. Namun apabila berlebihan, bisa saja membahayakan baginya. (Fatwa Lanjah Daimah lil Ifta’ 5/119-120).
            Imam Mawardi menambahkan, khitan pada perempuan yang dipotong adalah kulit yang berada di atas vagina perempuan yang mirip cengger ayam. Yang dianjurkan, memotong sebagian kulit tersebut bukan menghilangkannya secara keseluruhan. Imam Nawawi juga menjelaskan hal yang sama. Namun pada penerapannya banyak kesalahan, yaitu berlebih memotong bagian alat vital perempuan.
Namun di sisi lain, ada yang mengatakan, khitan perempuan memudahkan pertemuan antara dua khitan (laki-laki dan perempuan) sehingga peluang kehamilan lebih tinggi. Di samping memudahkan perempuan membersihkan kotoran-kotoran tersembunyi yang menyebabkan bakteri-bakteri hidup subur di area tersebut.
Khitan juga membantu perempuan menjaga dan mengontrol gairah seksnya. Jika tidak dikhitan, perempuan tak bisa merasakan kepuasaan hubungan dengan satu laki-laki (suami), yang selanjutnya mendorongnya berselingkuh dan melakukan perzinaan.
Namun demikian, Rasulullah saw melarang berlebih dalam mengkhitan anak perempuan. Larangan dari Rasulullah secara hukum bisa mengindikasikan keharaman. Apalagi bila terbukti berlebihan atau kesalahan dalam melaksanakan khitan perempuan bisa menimbulkan dampak negatif.

Akhirnya, masalah khitan bagi perempuan, berpulang pada kondisi masing-masing. Anak perempuan boleh dikhitan tapi tidak boleh berlebihan. Jika khawatir akan berdampak negatif, maka khitan bagi anak perempuan sah saja ditinggalkan. Wallahu a’lam.

Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar