Selasa, 07 Mei 2013

Menepis Keraguan Berhijab


Syariat berhijab (menutup aurat) tak hanya berkaitan dengan hukum fiqih, tapi juga akidah dan akhlak.

Seruan untuk menerapkan syariat Islam terus bergema. Cahaya kemenangan umat Islam di berbagai lini kehidupan makin benderang. Namun, musuh Islam takkan pernah rela cahaya Allah menyinari bumi. Dengan segala cara mereka ingin memadamkannya. Allah berfirman, “Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membenci,” (QS ash-Shaf: 8).
Ironisnya, masih ada keraguan di sebagian kalangan kaum Muslimin untuk menerapkan nilai-nilai syariat Islam. Bahkan, masih ada yang alergi dengan kata ‘syariat Islam’. Padahal, ibadah-ibadah yang selama ini ia lakukan adalah bagian-bagian penting dalam syariat Islam. Sebut misalnya, shalat, puasa, zakat, haji dan ibadah lainnya. Semua itu adalah bagian penting dalam syariat Islam.
Bagian penting lainnya yang masih sering dianggap tabu adalah masalah menutup aurat, utamanya bagi perempuan. Tarik ulur pengesahan Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP), memang tak bisa dilepaskan dengan kepentingan bisnis dan syahwat kalangan tertentu. Tapi, tak bisa dipungkiri, penolakan dari internal umat Islam sendiri juga ada. Latar belakang penolakan itu memang beragam. Alasan utama adalah syubhat yang meniupkan anggapan bahwa menutup aurat bukan hal yang wajib. 

Selain itu, kalangan yang masih ragu (baca: tak mau) menutup aurat menganggap dirinya belum mantap. Jika seorang Muslimah yang belum berhijab ditanya, mengapa ia tak mengenakan hijab? Di antaranya ada yang menjawab, “Saya belum mantap berhijab. Jika saya merasa mantap saya akan berhijab."
Mereka yang berdalih dengan syubhat ini hendaknya bisa membedakan antara dua hal: antara perintah Allah dan perintah manusia. Jika perintah itu datang dari manusia, ia bisa salah dan bisa benar. Imam Malik pernah berkata, "Dan setiap orang bisa diterima ucapannya dan juga bisa ditolak, kecuali (perkataan) orang yang ada dalam kuburan ini." Yang dimaksudkan adalah Rasulullah saw.
Selagi masih dalam bingkai perkataan manusia, maka seseorang tak bisa dipaksa menerima. Namun, jika perintah dari Allah, maka tak ada alasan untuk mengatakan "saya belum mantap". Bila ia masih mengatakan hal itu dengan penuh keyakinan, padahal ia tahu perintah itu ada dalam al-Qur’an, bisa menyeretnya pada bahaya yang sangat besar: keluar dari agama Allah dengan kesadaran penuh! Sebab, dengan demikian berarti ia meragukan kebenaran perintah Allah.
Allah berfirman, "Dan tidaklah patut bagi laki-laki Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan Mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka piIihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai AIlah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata, " (QS al-Ahzab: 36).

Ketika seorang hamba mengaku beriman kepada Allah, maka tak ada pilihan lain baginya kecuali taat. Ketika mendengar perintah Allah, sebagai seorang Mukmin, wajib mengatakan sebagaimana yang dikatakan orang-orang beriman, “... kami dengar dan kami taat." (Mereka berdoa), “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali,”  (QS al-Baqarah: 285).
Ketika Allah memerintahkan kepada kita sesuatu hal, Dia Maha Mengetahui bahwa perintah itu mengandung kebaikan. Dengan demikian, ketika perintah itu tidak dilaksanakan, kita tidak akan mendapatkan kebaikan atau justru menuai keburukan akibat mengabaikan perintah Allah.
Sebagian ada yang menganggap menutup aurat bukan hal penting. Tatkala ditanya alasan mengapa tidak berhijab, ada yang menjawab, “Saya seorang Muslimah, selalu menjaga shalat lima waktu dan shalat sunnah. Saya puasa Ramadhan, melakukan haji dan umrah berkali-kali. Saya aktif sebagai donatur pada beberapa yayasan sosial.”
Benar! Shalat, puasa, haji dan membantu orang lain adalah bagian penting dalam Islam. Sama pentingnya dengan berhijab. Hukum berhijab—dengan menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan di depan orang yang bukan mahramnya—adalah wajib. Allah berfirman, “Hai Nabi, katakanIah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang Mukmin, 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka'. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu ....." (QS al-Ahzab: 59).
Rasulullah saw pernah bersabda kepada Asma’ binti Abu Bakar, “Wahai Asma’, sesungguhnya wanita yang telah haidh (baligh), tidak diperkenankan untuk dilihat dari (tubuh)nya, kecuali ini dan ini, dengan mengisyaratkan wajah dan telapak tangan,” (HR Abu Daud).
Dalam banyak haditsnya, Rasulullah saw memberikan peringatan keras bagi yang mengabaikan perintah ini. Rasulullah bersabda, “Ada dua golongan dari ahli neraka yang siksanya belum pernah saya lihat sebelumnya. (Pertama), kaum yang membawa cambuk seperti seekor sapi yang digunakan untuk memukul orang (dialah penguasa zalim). (Kedua), wanita yang berpakaian tapi telanjang, yang selalu berbuat  maksiat dan menarik (perhatian) orang lain untuk berbuat maksiat. Rambutnya sebesar punuk unta. Mereka takkan masuk surga, bahkan takkan mencium wanginya. Padahal, bau surga itu tercium sejauh perjalanan yang amat panjang,” (HR Muslim).
Mereka yang menegakkan shalat, puasa, haji dan melaksanakan ibadah lainnya, tapi tidak berhijab, berarti meragukan perintah Allah. Dia mengambil setengah-setengah dari ajaran Islam. Allah memberikan ancaman keras dengan firman-Nya, “Apakah kamu beriman kepada sebagian aI-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tidaklah balasan bagi orang-orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan pada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat,” (QS al-Baqarah: 85).
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya penghuni neraka yang paling ringan adzabnya pada hari Kiamat ialah orang yang diletakkan di tengah kedua telapak kakinya dua bara api. Dari dua bara api ini otaknya mendidih, sebagaimana periuk yang mendidih dalam bejana besar yang dipanggang dalam kobaran api,” (HR al-Bukhari, Kitabur Riqaaq, 11/376).
Jika seperti ini adzab yang paling ringan pada hari Kiamat, lalu bagaimana bagi orang yang diancam Allah dengan adzab yang amat pedih, sebagaimana disebutkan dalam ayat ini? Apakah hanya demi penampilan dan kebanggaan kita rela menjual akhirat dan siap menerima adzab yang menyiksa?
Sebagaimana ibadah lainnya, pelaksanaan hijab ini memerlukan ‘pembiasaan’. Ia harus dibiasakan sejak dini. Orang tua yang tak mengerti urgensi hijab ini, sering melarang anaknya yang sebenarnya sudah mau menutup aurat. Padahal, seharusnya pembiasaan ini dilakukan jauh hari sebelum sang anak dewasa. Dengan demikian, ketika masa balighnya tiba, ia tak sungkan lagi menutup aurat.
Bagi seorang Muslimah yang menjelang atau sudah memasuki usia dewasa harus memiliki sikap tegas. Ketaatan pada orang tua hanya berlaku pada masalah-masalah yang tidak bertentangan dengan Islam. Ketaatan pada Allah harus didahulukan daripada ketaatan kepada makhluk, siapa pun dia. Setelah ketaatan kepada Allah, kedua orang tua lebih berhak untuk ditaati dari yang lainnya, selama keduanya tidak memerintahkan pada kemaksiatan.
Hal yang sama berlaku juga pada suami, saudara, peraturan lembaga, tempat bekerja atau lainnya. Tak sedikit di antara Muslimah yang mendapatkan penentangan dari suaminya untuk menutup aurat. Menghadapi masalah ini, seorang istri harus tegas mempertahankan prinsipnya, tapi juga bijak. Permasalahannya bisa dijelaskan dengan komunikasi yang baik.
Begitu juga bagi mereka yang mendapatkan tentangan dari lembaga pendidikan atau tempat bekerja. Menghadapi masalah ini, para Muslimah harus berani memegang prinsip. Biasanya, lembaga atau instansi yang ‘alergi’ dengan hijab, mempunyai dua kemungkinan: mereka tidak mengerti hukum,atau memang dia berkiblat ke Barat yang menuhankan demokrasi. Kemungkinan pertama, bisa dihadapi dengan penjelasan arif tentang hukum berhijab. Kemungkinan kedua, harus dihadapi dengan sikap tegas. Jika mereka menganut prinsip demokrasi, berarti mereka harus menghormati hak orang lain, termasuk masalah menutup aurat.
Masalah berhijab, terutama bagi Muslimah begitu penting. Ia tak hanya berkaitan dengan akidah, tapi juga fiqih dan akhlak. Secara akidah, orang yang menolak syariat hijab berarti meragukan ketuhanan Allah. Dari sisi fiqih, beberapa ibadah mengharuskan seseorang untuk menutup aurat. Di antaranya, shalat dan thawaf yang mengharuskan menutup aurat sebagai syarat sahnya. Dari sisi akhlak pun demikian. Mereka yang menutup aurat cenderung lebih terjaga dan memiliki akhlak baik. Ini disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya, “'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka'. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu ....." (QS al-Ahzab: 59).

Written by Hepi Andi Bastoni, MA 

1 komentar: