Selasa, 14 Mei 2013

Hukum Jual Beli Barang Black Market Bagian 1



Jual beli barang black market yaitu jual beli barang yang masuk ke dalam negeri dengan tanpa pembayaran pajak (bea). Yang awalnya barang itu mahal karena pajak yang dibayar, barang itu menjadi lebih murah bahkan sangat murah karena tidak terkena pajak.
Walaupun memang definisi ini tidak disepakati oleh semua, tapi setidaknya definisi di atas itu memang yang banyak terjadi. Kabar yang banyak beredar di media itu juga kan walaupun redaksi berbeda, akan tetapi intinya sama. Yaitu penjualan barang illegal karena tidak melewati pembayaran pajak, artinya tidak melalui jalur yang sah, yang telah ditetapkan oleh suatu negara.
Secara umum, syariat ini menghalalkan praktek jual beli, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat 275 surat Al-Baqarah: “Dan Allah telah halal-kan Jual beli dan mengharamkan riba”.
Tapi ini adalah dalil umum atas kehalalan jual beli, dan dalah nas-nash syar’i lainnya banyak disebutkan jenis-jenis jual beli yang diharamkan, semisal ba’i al-ma’dum (membeli barang fiktif/tidak ada), ba’i al-aharar (jual beli yang mengandung spekulasi/ketidak jelasan) , ba’i najasy (jual-beli yang ada unsur penipuan dengan menciptakan rekayasa permintaan palsu).
Nah, terkait tentang hukum jual beli black market ini, ada dua pendapat:


1. Haram
Yang mengatakan bahwa jual beli Black Market haram hukumnya,  karena menganggap black market sebentuk jual beli Talaqqi Rukban yang dilarang oleh Nabi saw. Banyak hadits Nabi saw dengan jalur yang shahih yang menerangken tentang keharaman jaul belia Talaqqi rukban ini.
Salah satunya ialah yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya (no. 2021) dari riwayat Abdullah bin Umar, bahwasanya beliau beserta sahabat yang lain bertemu (Talaqqi) dengan segerombolan penjual (Rukban) yang belum sampai pasar. Lalu beliau membeli dari mereka beberapa makanan, yang kemudian Rasul saw mengetahui itu lalu melarangnya.
Selain karena itu juga mirip dengan Talaqqi Rukban, Black market juga dalam penerapannya terdapat unsur Gharar (penipuan) dan juga Jahalah (ketidakjelasan). Karena tidak lengkapnya informasi atas barang tersebut yang sampai ke telinga pembeli. Juga adanya ketidak jelasan hukum atas barang dagangannya itu, apakah ilegal atau legal. Bisa jadi karena ini barang yang tidak melewati jalur yang sah, memungkinkan untuk terjadinya pemalsuan barang.
Memang unsur itu juga yang membuat Talaqqi Rukban itu menjadi haram. Ibnu Taimiyyah mengatakan: “......Karena dalam talaqqi Rukban penjual dirugikan karena menjual tidak dengan harga pasar sebagaimana mestinya.”[1]


2. Boleh
Beberapa kalangan menilai bahwa jual beli black market itu sah-sah saja. Karena di dalamnya tidak ada sesuatu yang membuat jual beli itu menjadi rusak secara syar’i. rukun-rukun jual beli-nya ada dan terpenuhi, begitu juga syarat-syaratnya terlaksana dengan baik.
Penjualnya ada, pembelinya juga mau, barangnya jelas, harganya pun disepakati. Yang paling penting, penjual dan pembeli sama-sama ridha menjalankannya, dan itu syarat terpenting dalam jual beli. Sama sekali tidak ada unsur yang membuat praktek “gelap” ini menjadi haram. Hanya penamaannya saja yang sedikit negatif.
Unsur-unsur yang membuat parkatek jual beli itu menjadi haram seperti yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Rusyd itu jika ada empat unsur :
  • Status kehalalan barang yang diperniagakan. Bila barang yang diperniagakan adalah haram, maka memperniagakannya juga haram, dan sebaliknya bila barangnya halal, maka memperniagakannya juga halal.
  • Adanya unsur riba.
  • Adanya ketidak jelasan (gharar).
  • Adanya persyaratan yang memancing timbulnya dua hal di atas (riba dan gharar).[2]
Dalam black market, keempat unsur itu tidak ditemukan. Status barangnya tidak haram, karena bukan khamr, bukan barang-barang yang membahayakan seperti senpi dll. Kebanyakan barang elektronik yang hukum mubah untuk dimanfaatkan. Tidak ada ribanya, pun tidak ada gharar (penipuan/spekulasi) dalam barang tersebut. Barangnya jelas, harganya pun jelas.
Adapun status legalitas barang yang diragukan, itu tidak bisa merusak jual beli, karena itu urusan penjual dengan pemerintah. Sedangkan urusan jual beli itu, urusan dua belah pihak; penjual dan pembeli, kalau kedua nya saling ridha, maka jual belinya menjadi sah secara syar’i.
Mereka juga mengatakan bahwa perdagangan gelap ini sama saja kita membeli barang atau makanan di tukang kaki lima, warteg atau toko-toko pinggir jalan yang tidak mempunyai izin dan tidak ada pajaknya. Karena memang yang menjadi masalah black market itu ialah status barang yang tak berpajak.
Ada juga dari kalangan yang membolehkan ini, mereka menyamakan jual beli black market dengan nikah siri. Nikah siri walaupun statusnya ilegal karena tidak tercatat oleh negara, akan tetapi pernikahannya itu sah secara agama. Tidak ada yang meragukan ini. Sah dalam arti si wanita menjadi istri yang boleh di gauli dan lelaki menjadi suami yang sah yang bertanggung jawab atas eksistensi keberlangsungan hidup anggota keluarga.
Begitu juga dengan black market, semua hanya masalah keabsahan secara undang-undang saja. Mereka meng-klaim bahwa “perundang-undangan agama jauh lebih tinggi dan harus ditaati dibanding undang-undang negara”.
Jadi black market walaupun namanya “perdagangan gelap” tetap saja itu adalah praktek jual beli yang sah secara syariat dan tidak menjadi masalah.

 
oleh Ust. Hepi Andi Bastoni

[1] Majmu’ Fatawa 28/74
[2] Bidayatul Mujtahid(2/125)

1 komentar:

  1. Bagaimana kalau di negara yang menggunakan hukum syariat Islam ?

    BalasHapus