Senin, 13 Mei 2013

Seputar Bulan Rajab


Sebagian kaum Muslimin mengganggap Rajab sebagai bulan “keramat” yang mengandung banyak berkah. Benarkah?




Laki-laki itu menemui Rasulullah saw lalu pergi. Setelah setahun berlalu, ia datang lagi dengan penampilan berbeda. “Wahai Rasulullah, engkau mengenalku?” tanyanya.
“Siapa kamu?”tanya Rasulullah.
 “Saya al-Bahili yang pernah datang tahun lalu.”
“Apa yang mengubah dirimu, padahal dulu engkau berpenampilan bagus?”
“Saya tidak makan selain pada waktu malam sejak berpisah denganmu.”
“Mengapa engkau menyiksa diri?” tanya Rasul. Beliau lalu meneruskan, “Puasalah sehari setiap bulan.”
Ia berkata, “Tambahkanlah karena aku kuat melakukannya.”
“Puasalah dua hari,” jawab Rasul.
“Tambahkanlah,” tawarnya.
“Berpuasalah tiga hari,” jawab Rasul.
“Tambahkanlah,”pintanya lagi.
Beliau menjawab, “Puasalah di Bulan Haram lalu tinggalkanlah. Puasalah di Bulan Haram lalu tinggalkanlah. Puasalah di Bulan Haram lalu tinggalkanlah.” Beliau berkata sambil menunjukkan tiga jarinya, menggenggam lalu melepaskannya.

Kisah yang diriwayatkan oleh Abu Daud ini sering menjadi landasan dianjurkannya berpuasa di Bulan Haram. Bulan Haram itu adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat Bulan Haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa,” (QS at-Taubah: 36).
            Namun demikian, tak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw berpuasa sebulan penuh pada bulan Rajab. Ditambah lagi, hadits-hadits yang menceritakan bahwa kalau mengkhususkan suatu ibadah tertentu pada bulan Rajab, kebanyakan hadits dhaif dan munkar. Misalnya hadits, “Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku (Rasulullah saw), dan Ramadhan adalah bulan umatku.” Hadits ini oleh para ahli hadits dimasukkan sebagai hadits palsu dan munkar. Meski demikian, tidak berarti kita tidak boleh shalat, puasa atau pun istighfar pada bulan Rajab ini.
Jika pernah mendengar puasa di tanggal 27 Rajab, maka Dr Yusuf al-Qaradhawi dalam buku Fiqh Shiyam-nya memasukkan puasa ini sebagai puasa bid’ah. Orang-orang yang berpuasa pada tanggal ini, biasanya melakukannya karena malam 27 Rajab adalah malam Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw. Padahal, dalam hal ini, Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak dikenal oleh seorang pun dari kalangan kaum Muslimin yang menjadikan malam Isra’ sebagai malam istimewa, berbeda dengan yang lain. Para sahabat dan tabi'in tak pernah mengkhususkan malam Isra’ dengan amalan-amalan tertentu, tidak juga mengenangnya dengan acara-acara tertentu. Karena itu, tidak ada malam–termasuk malam Isra’, yang dianggap sebagai malam yang paling utama bagi Rasulullah saw. Tidak ada dalil yang diketahui tentang bulannya, tentang 10 harinya, apalagi tentang hari H, bahkan nukilan tentang itu, semua terputus riwayatnya dan saling berselisih. Tidak ada yang qath’i tentang itu dan tidak ada syariat bagi kaum Muslimin yang mengistimewakan malam itu dengan shalat atau lainnya.”
Dengan demikian, yang paling baik bagi kita untuk bulan Rajab adalah memperbanyak amal shalih dan puasa karena keutamaan Bulan Haram, serta tidak berpuasa sebulan penuh layaknya bulan Ramadhan. Ibadah ini dilakukan bukan karena ganjaran yang keshahihan syariatnya tak bisa dipertanggungjawabkan, tapi dalam rangka mempersiapkan diri menjelang pertemuan dengan Ramadhan.
Bagaimana mungkin bisa beribadah khusus pada malam ke-27, sedangkan tentang malam Isra' dan Mi'raj tak terdapat hadits shahih yang menetapkan waktunya. Riwayat yang menunjukkan waktunya menurut para pakar hadits bukan berasal dari Rasulullah saw. Sekiranya ada ketetapan waktu sekalipun, tidak dibolehkan bagi kaum Muslimin untuk mengkhususkan padanya ibadah tertentu. Begitu pula tidak dibolehkan bagi mereka untuk mengadakan peringatan dan tidak pula mengkhususkannya dengan amalan apapun.
Aktivitas lainnya yang sering dilaksanakan oleh sebagian kaum Muslimin adalah shalat sunnah yang lazim disebut dengan shalat raghaaib. Ibnu Rajab berkata, “Maka shalat semacam ini yang dikhususkan pelaksanaannya pada bulan Rajab, tidak benar. Hadits-hadits yang menunjukkan keutamaan shalat raghaaib pada malam Jumat pertama bulan Rajab adalah dusta dan batil (tidak shahih). Shalat ini bid'ah menurut mayoritas ulama.” Fenomena ini pertama muncul setelah abad keempat. Sangatlah logis jika umat Islam pada generasi awal belum mengetahuinya dan belum membicarakannya.
Ibadah lainnya yang sering dikerjakan pada bulan ini adalah umrah. Tak ada riwayat dari Rasulullah bahwa beliau melaksanakannya pada bulan ini. Karena itu, tak ada keutamaan umrah pada bulan Rajab dibandingkan dengan pada bulan-bulan lain sebagaimana yang dipahami sebagian kaum Muslimin. Riwayat yang benar adalah beliau melaksanakan umrah empat kali dan seluruhnya dilakukan pada bulan Dzulqa'dah kecuali umrah yang dilakukannya bersamaan dengan pelaksanaan bulan Dzulhijjah. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan, “Tak terdapat riwayat shahih yang bisa dijadikan dalil tentang keutamaan bulan Rajab, baik puasa sempurna di dalamnya maupun sebagiannya. Begitu pula mengkhususkan malam tertentu untuk melaksanakan qiyamul-lail.”
Ibnu Hajar dalam kitabnya Tabyinun Ujb menegaskan, tak ada hadits shahih, hasan dan dha'if yang menerangkan keutamaan puasa di bulan Rajab. Bahkan beliau meriwayatkan tindakan Umar yang melarang mengkhususkan bulan Rajab dengan puasa.
Asy-Syaukani menceritakan dalam Nailul Authar, bahwa Ibnu Subki meriwayatkan dari Muhamad bin Manshur as-Sam'ani yang mengatakan, tak ada hadits kuat yang menunjukkan sunnahnya puasa Rajab secara khusus. Disebutkan juga bahwa Ibnu Umar memakruhkan puasa Rajab, sebagaimana Abu Bakar at-Tarthusi yang mengatakan, puasa Rajab makruh, karena tak ada dalil yang kuat.
Adapun keutamaan Rajab, dalam masalah shalat dan puasa, hampir semua haditsnya lemah dan palsu. Antara lain:

Pertama
“Barangsiapa shalat Maghrib di malam pertama bulan Rajab, kemudian shalat sesudahnya dua puluh rakaat, setiap rakaat membaca al-Fatihah dan al-Ikhlash serta salam sepuluh kali. Kalian tahu ganjarannya? Sesungguhnya Jibril mengajarkan kepadaku demikian.” Kami berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Rasulullah saw bersabda, “Allah akan pelihara dirinya, hartanya, keluarga dan anaknya serta diselamatkan dari azab kubur dan ia akan melewati as-shirath seperti kilat tanpa dihisab, dan tidak disiksa.”
Hadits ini maudhu’. Ibnul Jauzi mengatakan, “Hadits ini palsu dan kebanyakan rawinya majhul.” (Lihat: al-Maudhu’at Ibnul Jauzy, II/123; al-Fawaaidul Majmu’ah fil Ahaadits Maudhu’ah oleh as-Syaukany, No 144 dan Tanziihus Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Akhbaaris Syanii’ah al-Maudhu’at, II/89, oleh Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Araaq al-Kinani)

Kedua
“Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab dan shalat empat rakaat, di rakaat pertama membaca ‘ayat Kursi’ 100 kali dan di rakaat kedua baca ’surah al-Ikhlas’ 100 kali, maka dia tidak mati hingga melihat tempatnya di surga atau diperlihatkan kepadanya (sebelum ia mati).”  Hadits ini maudhu’. Ibnul Jauzy menerangkan, “Hadits ini palsu, dan rawi-rawinya majhul (tidak dikenal) serta seorang perawi yang bernama Utsman bin Atha’ adalah perawi matruk (perawinya diduga berdusta, atau fasik, atau pelaku bid'ah, red) menurut para ahli hadits,” (Al-Maudhu’at (II/123-124).
Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany, Utsman bin Atha’ adalah rawi yang lemah (Lihat: Taqriibut Tahdziib I/663 No 4518).

Ketiga
“Rajab bulan Allah, Sya’ban bulanku dan Ramadhan adalah bulan umatku.” Hadits ini maudhu’ (palsu). Syaikh ash-Shaghani (wafat 650 H) mengatakan, “Hadits ini maudhu’,” (Lihat Maudhu’atush Shaghani (I/61 No 129).
Matan hadits ini panjang, lanjutan hadits itu ada lafaz, “Janganlah kalian lalai dari (beribadah) pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab, karena malam itu malaikat menamakannya raghaaib…”. Hadits ini maudhu’. Ibnul Jauzi mengatakan, “Hadits ini palsu dan yang tertuduh memalsukannya adalah Ibnu Jahdham. Mereka menuduhnya sebagai pendusta. Aku telah mendengar Syaikh Abdul Wahhab al-Hafizh berkata, ‘Rawi-rawi hadits tersebut majhul (tidak dikenal). Aku sudah periksa semua kitab, tapi tidak dapati biografi mereka,” (Al-Maudhu’at (II/125).
Imam adz-Dzahaby menambahkan, Ali bin Abdullah bin Jahdham az-Zahudi, Abul Hasan Syaikhush Shufiyyah pengarang kitab Bahjatul Asraar dituduh memalsukan hadits.” Para ulama lain mengatakan, “Dia dituduh membuat hadits palsu tentang shalat ar-raghaa’ib,” (Mizaan al-I’tidal, III/142-143, No 5879).

Keempat
“Keutamaan bulan Rajab atas bulan-bulan lainnya seperti keutamaan al-Qur’an atas semua perkataan. Keutamaan bulan Sya’ban seperti keutamaanku atas para Nabi, dan keutamaan bulan Ramadhan seperti keutamaan Allah atas semua hamba.” Hadits ini maudhu’. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalany mengatakan, “Hadits ini palsu.” (Lihat al-Mashnu’ fii Ma’rifatil Haditsil Maudhu’ No 206 hlm 128, oleh Syaikh Ali al-Qary al-Makky).

Semoga  bermanfaat.
Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar