Senin, 03 Juni 2013

Hati yang Bercampur

S
uatu hari orang-orang sedang terlibat pembicaraan dengan Abu Hurairah. Salah seorang di antara mereka meminta Abu Hurairah untuk menceritakan sebuah hadits yang didengarnya dari Rasulullah SAW. Kemudian Abu Hurairah menyampaikan sebuah hadits dari Rasulullah SAW, "Sesungguhnya manusia yang pertama kali dihisab pada hari Kiamat ialah seseorang yang mati syahid. Lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas. Lantas dia bertanya, “Apa yang telah kamu lakukan di dunia, wahai hamba-Ku?” Dia menjawab, “Saya berjuang dan berperang demi Engkau, ya Allah sehingga saya mati syahid.”
Allah berfirman, “Dusta kamu. Sebenarnya kamu berperang bukan untuk-Ku, melainkan agar disebut sebagai orang yang berani. Kini kamu telah menyandang gelar tersebut.” Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka. Didatangkan pula seseorang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya. Lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas. Allah bertanya, “Apa yang telah kamu perbuat?"  Dia menjawab, “Saya telah belajar ilmu dan mengajarkannya. Saya juga membaca al-Qur’an demi Engkau.” Allah berfirman, “Kamu dusta, tapi kamu belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca al-Qur’an agar dikatakan mahir membaca. Kini kamu telah dikatakan seperti itu. Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka.

Seorang laki-laki yang diberi keluasan rezeki oleh Allah. Kemudian dia menginfakkan semua hartanya. Lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas. Allah bertanya, “Apa yang telah kamu perbuat dengannya?"  Dia menjawab, “Saya tidak meninggalkannya sedikit pun melainkan saya infakkan harta benda tersebut di jalan yang Engkau ridhai." Allah berfirman, “Dusta kamu, tapi kamu melakukan hal itu supaya dikatakan dermawan. Kini kamu telah dikatakan seperti itu.” Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka." (Lihat Sahih Muslim 3527, Sunan Nasa’i al-Kubro 11559 dan lainnya)
Hadits yang disampaikan Abu Hurairah di atas menjadi pelajaran bagi kita bahwa bisa jadi orang yang mengerjakan amalan akhirat tapi ternyata amalan itu tidak bernilai apa-apa. Mungkin dia akan mendapatkan apa yang diinginkannya dari dunia secara sempurna tapi tidak mendapatkan apa-apa di akhirat kelak kecuali kebinasaan. Itulah mungkin sebabnya Muawiyah, sebagaimana disampaikan Ibnu Rajab dalam Jamiul Ulum wal Hikam pernah menangis hingga pingsan setelah mendengar hadits ini. Ketika sadar dari pingsannya, ia membaca ayat:
"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka," (QS Huud: 15-16).
Imam Nawawi dan Imam Suyuthi mengomentari hadits Muslim dalam syarahnya masing-masing, mengetengahkan pendapat Imam Qurthubi bahwa hadits ini tidak bertentangan dengan hadits lain yang menyatakan hal yang pertama dihisab pada hari Kiamat. Masing-masing menyatakan tentang bab permasalahan yang berbeda. Memang ada hadits lain yang sangat terkenal tentang amal yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah shalat. Menurut Imam Qurthubi, hadits ini menceritakan tentang bab rukun Islam. Sementara ada riwayat lain yang menyatakan bahwa yang pertama kali dihisab adalah urusan darah, maka ini masuk bab tentang pengadilan urusan sesama manusia.
Terlepas dari itu, hadits ini sangat menekankan tentang bahaya riya’ yang ditandai dengan dihisabnya kejahatan ini pertama kali di antara yang lainnya. Sekilas mungkin agak membingungkan jika hadits ini kita sebutkan menceritakan tentang kejahatan padahal orang-orang yang diceritakan dalam hadits ini merupakan orang-orang yang lahiriahnya melakukan kebaikan.
Sesungguhnya puncak amal dalam Islam adalah jihad yang di dalamnya berkumpul semua kesabaran. Dalam pandangan orang awam, berjihad identik dengan kesulitan dan mempertaruhkan nyawa yang tidak semua orang mampu melakukannya. Pahala jihad yang dijanjikan Allah juga sangat luar biasa.
Sementara itu, orang yang belajar al-Qur’an kemudian mengajarkannya merupakan orang yang dikategorikan Rasulullah SAW sebagai sebaik-baik manusia. Tentu sudah maklum bagi kita, tak ada ilmu yang lebih baik daripada ilmu tentang al-Qur’an. Demikian pula pahala berderma di jalan Allah digambarkan oleh Allah sedemikian luar biasa, dibalas tujuh ratus kali lipat atau bahkan tak terhingga.
Namun semua kebaikan itu jika tidak dibingkai dengan keikhlasan, bukan hanya berakhir dengan sia-sia tapi akan menyengsarakan orang yang melakukannya. Demikianlah Islam menuntut kesempurnaan amal bagi seorang Mukmin. Sebuah amal harus sepenuhnya ditujukan hanya untuk Allah SWT, tidak untuk yang lainnya. Inilah yang sering dikenal dengan keikhlasan yang berarti memurnikan amal hanya untuk Allah tanpa mencampurinya dengan keinginan kepada selain-Nya.
Bab tentang ikhlas ini berulang-ulang dibahas para ulama tanpa pernah kenal. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya keikhlasan dalam kehidupan orang beriman. Allah SWT dan Rasul-Nya juga sering mengulang-ulang untuk sesuatu yang dianggap penting. Pengulangan ini juga bermanfaat agar hal tersebut benar-benar berkesan dalam jiwa kita sehingga dapat berpengaruh terhadap pola fikir dan tindakan kita.
Selain itu, pengulangan ini penting karena permasalahan keikhlasan bukan perkara yang sekali jadi. Maksudnya, keikhlasan bukanlah sesuatu yang daaim (tetap) dalam diri seorang manusia biasa seperti kita. Bahkan para ulama mengakui akan hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Sulaiman bin Daud al-Hasyimi (wafat 219 H), "Bisa jadi aku mengajarkan hadits dengan sebuah niat, tapi ketika aku baru mengajarkan sebagiannya, ternyata niatku berubah. Jadi, satu hadits itu memerlukan banyak sekali niat.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, Hadits pertama).
Ibnu Rajab menambahkan penjelasannya dengan ungkapan Yusuf bin al-Husain ar-Razi, “Sesuatu yang paling sulit di dunia ialah ikhlas. Betapa seringnya aku berusaha mati-matian untuk mengikis riya’ dari hatiku tapi sepertinya riya’ tumbuh di hatiku dengan warna yang lain.”
Terkadang kita merasa aman setelah menetapkan niat dalam hati ketika mulai mengerjakan sesuatu. Kita berangkat dari rumah pergi menuntut ilmu dengan niat yang menurut kita sudah seoptimal mungkin kita ikhlaskan hanya untuk Allah. Namun kadang kita lupa, di tengah kita menuntut ilmu bisa jadi ada bisikan lain yang muncul mencampuri niat yang sudah kita tekadkan di awal.
Demikianlah, dalam segala apa pun aktivitas yang kita lakukan, perubahan niat dan tercampurnya hati ini bisa sangat mungkin terjadi akibat kejadian-kejadian yang mengiringinya. Demikianlah para ulama sangat berhati-hati terhadap keikhlasan ini karena hal ini berkaitan dengan hati. Rasulullah telah menerangkan bahwa hati dapat berbolak-balik sebagaimana berbolak baliknya bulu diterpa angin di tengah padang pasir yang luas.

Akhirnya, semua hanya bisa kita pasrahkan kepada Allah SWT yang membolak-balikkan hati. Semoga doa yang dikutip Ibnu Uyainah berikut dapat menjadi panduan kita dalam mengharap pertolongan Allah agar menjaga niat kita: “Ya Allah, sungguh aku meminta ampun kepada-Mu dari dosa yang aku telah taubat kepada-Mu daripadanya tapi aku mengulangnya lagi. Aku meminta ampunan kepada-Mu dari apa yang telah aku berikan untuk-Mu terhadap diriku, tapi aku tidak menepatinya. Aku meminta ampun kepada-Mu dari apa yang aku duga bahwa aku menghendaki keridhaan-Mu dengannya, kemudian hatiku bercampur dengannya seperti telah Engkau ketahui”. Wallahu ‘alam (saipul.rahman@bismillah.com).

Oleh: Saipul Rahman, M.Sc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar