Rabu, 08 Mei 2013

Mengganti Shalat


Shalat merupakan ibadah yang sangat penting. Begitu pentingnya hingga dalam kondisi apa pun seseorang harus melaksanakan shalat. Meski dalam keadaan sakit, seorang Muslim harus wajib melaksanakan shalat dengan cara sesuai kemampuannya. Jika mampu berdiri, maka ia shalat dengan berdiri. Jika tak mampu berdiri, ia duduk. Jika tidak mampu duduk, shalat dengan berbaring, dan seterusnya.
Lalu, bagaimana kalau suatu saat seseorang tertinggal melaksanakan shalat, baik sengaja maupun tidak. Dalam kondisi ini, sebagian ulama mewajibkan ia mengganti atau meng-qadha' shalatnya. Yang dimaksud dengan meng-qadha' shalat adalah melaksanakan shalat di luar waktunya. Hal ini bisa disebabkan karena beberapa hal. Antara lain: lupa atau tertidur, pingsan dan hilang ingatan, malas dan sengaja mengundur atau meninggalkan shalat.

A.    Karena Lupa atau Tertidur
Para ulama sepakat bagi orang yang lupa atau tertidur, wajib meng-qadha' shalatnya. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah saw, "Apabila seseorang lupa shalat atau tertidur, maka shalatlah ketika ia ingat (sadar)."

B.    Meninggalkan Shalat dengan Sengaja
Adapun orang yang meninggalkan dengan sengaja, para ulama berbeda pendapat dengan rincian sebagai berikut:
1.      Menurut jumhur ulama, ia berdosa dan wajib meng-qadha' shalatnya.
2.      Menurut Imam Ibnu Taimiyah, "Orang yang sengaja meninggalkan shalat, tidak diperintahkan syara' untuk meng-qadha' shalatnya. Jika ia meng-qadha'nya, tetap sah namun harus memperbanyak shalat sunnah.

3.      Ibnu Hazm sependapat dengan Ibnu Taimiyah, bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tidak perlu meng-qadha' shalatnya. Ia cukup memperbanyak shalat sunnah dan berbuat kebaikan serta bertaubat kepada Allah. Ibnu Hazm melandasi pendapatnya dengan firman Allah, "Maka neraka Wail-lah bagi orang yang meninggalkan shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya," (QS al-Maun: 4-5). Mereka yang berpendapat seperti ini antara lain: Umar bin Khaththab, Sa'ad bin Abi Waqqash, Ibnu Umar, Salman al-Farisi, Abdullah bin Mas'u dan sejumlah shahabat Nabi saw lainnya (Fiqih Sunnah II/299).
4.      Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafii berpendapat, ia harus meng-qadha shalatnya bila waktunya habis. Bahkan, Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat, ia harus meng-qadha'nya sebelum melaksanakan shalat yang waktunya tiba.
Dalam kitab Fiqih Empat Madzhab karya Imam al-Jaziri bab 25 Shalat Qadha’ disebutkan: para ulama sepakat (termasuk Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan lainnya) bahwa barangsiapa ketinggalan shalat fardhu maka ia wajib menggantinya/meng-qadha'nya. Baik shalat itu ditinggalkannya dengan sengaja, lupa, tidak tahu maupun karena ketiduran. Rincian pendapat mazhab tersebut adalah:
Mazhab Syafii berpendapat, meninggalkan shalat dengan sengaja tanpa uzur, wajib di-qadha' dengan segera,tidak boleh ditunda kecuali sedang melakukan kewajiban yang lain, seperti mendengarkan khutbah Jum’at, maka boleh ditunda sampai menyelesaikan kewajiban. Adapun shalat yang ditinggalkan karena uzur seperti sakit, wajib di-qadha' walaupun tidak dikerjakan dengan segera.
Mazhab Hanafi berpendapat, shalat yang ditinggalkan wajib di-qadha' dengan segera, bahkan lebik baik meng-qadha' shalat daripada menyibukkan diri dengan pekerjaan yang sunah, kecuali shalat-shalat sunah Rawatib, shalat Dhuha, shalat Tasbih, Tahiyatul Masjid, boleh dikerjakan namun tidak dapat dijadikan pengganti shalat-shalat wajib yang ditinggalkan. Hanya saja dengan sebab mengerjakan shalat-shalat sunah yang disebutkan boleh menunda untuk meng-qadha' shalat yang ditinggalkan.
Mazhab Maliki berpendapat, haram melakukan shalat-shalat sunat bagi orang yang masih ada shalat wajibnya yang belum diqadha, terkecuali shalat Tahajjud dan shalat Witir. Adapun shalat Tarawih bagi orang yang belum meng-qadha' shalatnya yang tinggal, di satu sisi tetap berpahala dan di sisi lain dia berdosa disebabkan melambatkan qadha' shalat wajib yang ditinggalkan.
Mazhab Hambali berpendapat bahwa haram hukumnya melaksanakan shalat sunah sebelum meng-qadha' shalat wajib yang ditinggalkan. Jika dikerjakan shalat sunah seperti shalat sunah mutlaq maka hukumnya haram. Adapun shalat sunah Rawatib, Witir boleh dia kerjakan, namun sebaiknya diutamakan shalat qadha'.
Jadi, dapat disimpulkan, apabila jumlah shalat yang ditinggalkannya masih memungkinkan bagi dirinya untuk meng-qadha'nya, maka hendaklah di-qadha'. Namun jika jumlahnya sudah terlalu banyak, misalnya bertahun-tahun dirinya tidak melaksanakan shalat, sehingga memberatkan baginya untuk meng-qadha'nya maka cukup baginya untuk bertaubat kepada Allah dengan taubat nashuha dan tidak mengulangi perbuatannya meninggalkan shalat di waktu-waktu berikutnya.

C.     Wanita Haidh dan Nifas
Wanita haid dan nifas tidak wajib meng-qadha' shalatnya walaupun waktunya luas. Sebab,  kewajiban shalat gugur dari mereka. Jika tidak wajib mengerjakan secara tepat waktu maka tidak wajib pula mengerjakan secara qadha'. Mereka hanya wajib meng-qadha' puasa.

D.     Orang Gila, Pingsan atau Mabuk
Terdapat perselisihan pendapat tentang kewajiban qadha' atas orang gila, pingsan dan orang mabuk.
1.      Mazhab Hanafi: wajib qadha' atas orang yang hilang akalnya karena benda memabukkan yang diharamkan seperti arak dan lainnya. Sedangkan orang yang hilang akal karena pingsan atau gila, kewajiban qadha' itu gugur dengan dua syarat: a). Pingsan atau gilanya itu berlangsung terus sampai lebih lima kali waktu shalat. Kalau hanya lima kali shalat atau kurang dari itu, maka wajib qadha'. b). Tidak sadar selama masa pingsan atau gilanya itu pada waktu shalat. Kalau ia sadar dan belum shalat, maka wajib qadha' atasnya.
2.      Mazhab Maliki: orang gila dan pingsan wajib qadha'. Sedangkan orang mabuk, apabila disebabkan barang haram, wajib qadha'. Jika disebabkan barang halal, seperti minum susu asam lalu mabuk, tidak wajib qadha.
3.      Imam Hambali: orang yang pingsan dan mabuk karena benda haram wajib qadha, sedangkan orang gila, tidak.
4.      Imam Syafi'i: orang gila tidak wajib qadha apabila gilanya itu menghabiskan seluruh waktu shalat (dalam satu hari), begitu pula orang pingsan dan orang mabuk jika pingsan dan mabuknya bukan disebabkan minuman keras yang diharamkan. Kalau tidak demikian, wajib qadha.
Mereka yang berpendapat bahwa orang pingsan tak perlu meng-qadha' shalatnya berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar. Suatu saat ia jatuh pingsan dan ketika sadar ia tidak meng-qadha' shalatnya. Pendapat ini dianut juga oleh Ibnu Thawus, Imam az-Zuhri, Hasan al-Bashri, dan Muhammad bin Sirin (Lihat: Fiqih Sunnah I/297-298).


E.      Cara Meng-qadha' Shalat
Imam Hanafi berpendapat, orang yang ketinggalan shalat fardhu, wajib meng-qadha' sesuai yang ditinggalkannya tanpa mengubah dan menggantinya. Misalnya, seseorang terhutang shalat sempurna dan hendak meng-qadha'nya padahal ia dalam perjalanan. Maka, ia meng-qadha'nya dengan sempurna pula. Orang yang terhutang shalat qashar, dan hendak meng-qadha'nya, padahal ia tidak dalam perjalanan, maka meng-qadha'nya dengan qashar. Begitu pula dengan shalat jahr (yang disuarakan dengan keras) atau shalat sirr (yang disuarakan pelan). Jika ia meng-qadha' shalat Isya’ dan Maghrib di waktu siang, hendaklah dilakukannya dengan suara jahr, kalau ia meng-qadha' shalat Zhuhur dan Ashar di waktu malam, maka hendaklah dilakukannya dengan suara pelan.
Imam Hambali dan Syafi’i berpendapat, barangsiapa hendak meng-qadha' Shalat Qashar yang terhutang, kalau berada dalam perjalanan di-qadha' dengan qashar sebagaimana yang ditinggalkannya. Sedangkan kalau ia tidak dalam perjalanan, maka shalat qashar itu wajib di qadha dengan sempurna. Ini berkaitan dengan jumlah rakaat.
Sedangkan yang berkaitan dengan sirr (suara pelan) dan jahr (suara keras), maka Imam Syafi’i mengatakan, orang yang meng-qadha' shalat Zhuhur di waktu malam, ia wajib melakukannya dengan suara jahr (keras), dan orang yang meng-qadha' shalat Maghrib di waktu siang, ia wajib melakukannya dengan suara pelan.
Adapun menurut Imam Hambali, bacaan dalam shalat qadha' harus dengan suara pelan secara mutlak, baik shalat sirr atau jahr, baik di-qadha'nya pada waktu malam maupun siang, kecuali jika ia imam dan shalat itu jahr, dan di-qadha nya di waktu malam.
Para ulama sepakat selain para ulama Syafi’iyah atas wajibnya tertib dalam melakukan qadha' shalat-shalat yang tertinggal. Shalat yang terdahulu harus di-qadha' lebih dulu daripada yang belakangan. Kalau ia tertinggal shalat Magrib dan Isya’, maka ia harus meng-qadha' shalat Maghrib lebih dulu, baru Isya’, seperti halnya dalam shalat pada waktunya.
Imam Syafi’i mengatakan: tertib antara shalat yang tertinggal itu hukumnya sunnah, bukan wajib. Orang yang meng-qadha' shalat Isya lebih dulu, kemudian baru melakukan shalat Maghrib, shalatnya tetap sah. Wallahu a'lam.

Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar