Senin, 20 Mei 2013

Indahnya Berjamaah


Tak ada manusia yang tahan sendirian. Sendirian itu dingin dan mencekam. Baik dalam pengertian fisik maupun kejiwaan. Tak terkecuali bagi para Nabi. Sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad saw, mereka tak pernah sendirian. Mereka selalu bersama orang lain. Para keluarga dan pendukungnya.

Adam diturunkan ke muka bumi bersama istrinya, Hawa. Ibrahim ditemani dua putranya Ismail dan Ishaq. Musa diutus menjadi nabi bersama saudaranya Harun. Isa didamping pendukung setianya yang dikenal dengan hawariyun. Begitu juga Nabi Muhammad saw ketika keluar dari kesendiriannya di Gua Hira segera mendapati istrinya tercinta, Khadijah.

Dalam kasus-kasus sosial di masyarakat modern, utamanya di kota-kota metropolitan, kita sering dikejutkan oleh fatalnya akibat dari kesendirian. Kisah tragis eksekutif muda yang meloncat dari ketinggian apartemennya. Orang-orang jompo yang hampa perhatian dunia luar di panti-panti. Anak-anak yang broken home karena tak cukup disapa kedua orang tuanya. Para pemburu karir yang hidup melajang. Kesendirian ternyata bisa menyebabkan orang stres lalu bunuh diri!

Di Barat, kecenderungan hidup sendirian dan melajang, mulai dihindari. Penduduk pribumi baru sadar kalau kesendirian bisa mengancam proses regenerasi. Angka pertumbuhan mereka bisa mencapai nol. Mereka lebih mementingkan karir. Kenikmatan hidup pribadi dianggap lebih praktis. Kalaupun ingin punya anak, mereka mengadopsi anak yang cukup besar. Alasan agar tak repot-repot menikah, merawat bayi, dan mengikuti program pelangsingan tubuh setelah hamil, tak mampu memecahkan masalah. Kecenderungan melajang massal bukan hanya telah menyia-nyiakan sebagian potensi kemanusiaan, tapi juag melenyapkan sel terkecil yang membentuk masyarakat, yaitu keluarga.

Begitu bahayanya kesendirian ini, tak heran kalau Rasulullah saw bersabda, “Berdua lebih baik daripada sendiri. Bertiga lebih baik daripada berdua. Berempat lebih baik daripada bertiga, maka hendaklah kalian tetap bersama berjamaah, karena sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku kecuali atas sebuah petunjuk (hidayah),” (HR Ahmad).

Umar bin Khaththab dalam salah satu isi khutbahnya pernah berkata, “Barangsiapa di antara kamu menginginkan kenikmatan surga, hendaklah ia senantiasa komitmen dengan jamaah.” Dalam kesempatan lain, seperti dikutip ad-Darimy dalam Sunannya, Umar berkata, “Tiada Islam tanpa jamaah, tiada jamaah tanpa imamah, tiada imamah tanpa taat dan tiada taat tanpa baiat."

Begitu pentingya hidup berjamaah sampai-sampai Rasulullah saw tetap memerintahkan kaum Muslimin untuk terus hidup berjamaah walau dalam keadaan bagaimanapun. "Barangsiapa melihat ketidakberesan yang menjengkelkan pada pemimpinnya maka hendaklah ia bersabar. Sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah walau sejengkal pun kemudian mati, maka ia mati dalam kejahiliyahan," (HR Muslim).

Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) hidup dalam zaman yang porak-poranda. Tak saja kekhalifahan yang semula pecah dua (Khalifah Umayyah dan Abbasiyah) telah menjadi puluhan dan bahkan ratusan negara kecil yang hidup atau ingin hidup sendiri-sendiri. Tetapi serangan-serangan dari bangsa Eropa dalam Perang Salib dan serangan besar bangsa Mongol lebih dahsyat lagi karena menghancurkan berbagai tatanan kehidupan kaum Muslimin yang sudah sangat rapuh itu.

Selain banyak negara yang terpisah-pisah, berbagai kelompok aliran juga berkembang. Ada aliran yang muncul dari kefrustrasian terhadap rusaknya masyarakat sehingga mengambil sikap menarik diri secara ekstrem dalam pergaulan duniawi. Ada aliran yang tumbuh dari sikap kepongahan terhadap harga diri kelompok, baik dikaitkan dengan keturunan maupun pemikiran keagamaan.
Menghadapi berbagai keruwetan tersebut, Ibnu Taimiyah tidak mencabut diri dari masyarakat dan negaranya, lalu menyepi dan menyendiri. Justru ia menggalang kekuatan dakwah dengan terus menerus membangun kesadaran umat untuk kembali kepada sumber nilai Islam: al-Qur'an dan Hadits.

Bahkan, saat berbagai fitnah menerpanya sehingga menyebabkannya berkali-kali masuk penjara, Ibnu Taimiyah tak kehilangan komitmen untuk tetap hidup dalam jamaahnya. Ketika bangsa Mongol menyerang negaranya, Ibnu Taimiyah justru tampil sebagai panglima yang memimpin perlawanan terhadap bangsa yang kekuatannya tengah bangkit sejak awal abad ke 13 itu.
Ibnu Taimiyah bergaul dengan berbagai kelompok dan pemikiran tanpa terjebak dalam fanatisme kelompok. "Sebagai seorang Muslim kita tidak boleh memisah-misahkan atau membeda-bedakan antara para imam pemimpin madzhab. Hal itu tidak ada dalam perintaah Allah dan Rasul-Nya," katanya.

Jamaah merupakan sentral pemikiran Ibnu Taimiyah dalam masalah masyarakat dan negara. Baginya bentuk-bentuk negara hanyalah sekunder, selama jamaah dan ideologinya belum mewujud dalam kehidupan kaum Muslimin. Kewajiban berjamaah tetap ahrus melekat pada sekelompok komunitas Muslim yang hidup di negara kafir sekalipun.

"Apabila masyarakat itu (tidak harmonis dan) melanggar peraturan, melakukan kejahatan dan membunuh imam mereka, maka dalam keadaan seperti itu percuma saja imamah ditegakkan," katanya. Ibnu Taimiyah memandang bahwa negara yang ditempatinya saat itu merupakan sebuah ladang yang berpotensi untuk mewujudkan jamaah menuju kesempurnaan imamah. Keberadaan sebuah negara yang berdiri sendiri merupakan sebuah modal keteraturan, dibandingkan situasi yang kacau balau (chaos).

Komitmen terhadap gagasan jamaahlah yang menyebabkan Ibnu Taimiyah tidak pernah meninggalkan negerinya, bahkan syahid dalam penjara. Baginya upaya mendekatkan kelompok-kelompok Muslim, menyadarkan individu-individu umat dan memberikan nasihat untuk para raja adalah kewajiban yang harus ditunaikan.

Begitulah kenyataan umat ini. Mungkin banyak orang shalih di antara mereka, tapi semuanya seperti daun-daun yang berhamburan, tidak terhimpun dalam sebuah wadah yang bernama jamaah. Barang kali banyak orang hebat di antara mereka, tapi kehebatan itu hilang diterpa masa. Banyak potensi yang tersimpan pada individu-individu, tapi semuanya berserakan, tak menyatu dalam satu jamaah.

Jalan panjang kebangkitan umat menyongsong fase kebangkitan seperti yang diprediksikan Rasulullah saw, harus dimulai dari sekarang. Caranya, menghimpun dedaunan yang berhamburan itu, merajut jalinan cinta, menyatukan kerja dalam satu simpul harmoni, dan `meledakkannya' pada momentum sejarah yang tepat. Dengan demikian, kita bisa berharap pohon peradaban yang teduh untuk menaungi kemanusiaan bisa tumbuh.

Jamaah adalah salah satu cara paling tepat untuk menyederhanakan perbedaan-perbedaan pada individu. Dalam satu jamaah, individu-individu yang memiliki kemiripan disatukan dalam sebuah simpul kesatuan. Meskipun banyak jamaah, tetap jauh lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Menarik apa yang pernah disampaikan Anis Matta, seorang pemikir muda Muslim, “Memetakan orang banyak melalui pengelompokan atau simpul-simpulnya jauh lebih mudah, ketimbang harus memetakan mereka sebagai individu.”

Memang, nyatanya itu bukan pekerjaan mudah. Ternyata, cinta tak gampang ditumbuhkan. Orang hebat tak selalu bersedia menyatu dengan orang hebat lain. Mungkin benar ungkapan yang mengatakan, “Seorang prajurit bodoh, kadang-kadang lebih berguna daripada dua jenderal yang hebat.” 

Tapi, tak ada jalan lain. Nabi Muhammad saw takkan pernah memaafkan orang yang meninggalkan jamaah hanya karena tak cocok bersama orang lain dalam jamaahnya. Sebab, “Kekeruhan jamaah, jauh lebih baik daripada kejernihan individu (yang tidak berjamaah),” kata Ali bin Abi Thalib.
Karenanya, lahirnya beragam kelompok, partai dan semua madzhab saat ini, merupakan suatu seni tersendiri yang mestinya saling melengkapi. Setiap jamaah hendaknya mendukung jamaah lain. Ini yang akan menghantarkan kita pada tegaknya syariat Islam dalam satu payung. Khilafah Islamiyah!

Penulis : Ust. Hepi Andi Bastoni, MA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar