Kamis, 02 Mei 2013

Tradisi Menuntut Ilmu


Ketika mendengar ketinggian ilmu Imam Malik, Khalifah Harun ar-Rasyid memerintahkan salah seorang utusannya untuk memanggil sang ulama. Dari bawahannya, ia sering mendengar tentang kitab al-Muwaththa’ karangan Imam Malik yang kerap dibahas di masjid-masjid. Namun, betapa terkejutnya Harun ar-Rasyid. Imam Malik tak mau datang ke istananya.
Khalifah Kelima Daulah Abbasiyah itu memerintahkan pesuruhnya untuk memberi tahu tujuannya memanggil sang Imam. “Saya ingin anak-anakku mendengarkan kajian kitab al-Muwaththa’ di istana,” ujar Harun ar-Rasyid.
Ketika hal itu disampaikan, dengan tegas Imam Malik menjawab, “Semoga Allah memberikan kejayaan kepada Amirul Mukminin. Ilmu ini datang dari baitun nubuwah (rumah kenabian). Jika kalian memuliakannya ia akan mulia. Jika kalian merendahkanya, ia jadi hina. Ilmu harus didatangi, bukan mendatangi.”
 Harun ar-Rasyid tak bisa berbuat apa-apa. Ketika ia menyuruh kedua putranya datang ke masjid untuk mengaji bersama rakyatnya, Imam Malik berkata, “Boleh, dengan syarat mereka tidak melangkahi bahu jamaah yang datang lebih dulu. Anak-anakmu harus rela duduk di mana saja yang tersedia buat mereka.”

Sikap penghulu madzhab Maliki itu menunjukkan betapa tinggi penghargaannya terhadap ilmu. Ia tak mau ilmu “dilecehkan” bahkan oleh seorang khalifah sekalipun. Kalimat yang disampaikannya masih terngiang di telinga para pencinta ilmu hingga kini: al-‘Ilmu yu’ta wa la ya’ti (Ilmu itu harus didatangi, bukan mendatangi).
Menuntut ilmu adalah tradisi para ulama. Mereka bersedia melakukan perjalanan berbulan-bulan walau sekadar untuk mencari satu hadits singkat. Mereka rela tidak tidur semalaman untuk menghapal, mengkaji atau menulis. Kalau kita perhatikan, di antara tradisi para ulama dulu banyak di antara mereka yang mempercepat tidurnya tapi bangun di pertiga malam. Bukan sekadar untuk shalat malam, tapi juga membaca dan menulis. Buku karya mereka yang jumlahnya puluhan jilid dan ribuan halaman tetap abadi hingga kini.  
Merekalah yang ditinggikan derajatnya oleh Allah dengan firman-Nya, “Niscaya Allah meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat,” (QS al-Mujadilah: 11).
Begitu perlunya kita menghargai ilmu dan ulama, karena kedudukan seorang ‘alim (orang yang berilmu) lebih tinggi dibandingkan kedudukan seorang 'abid (orang yang beribadah). Rasulullah saw bersabda, "Kelebihan seorang alim dari seorang ahli ibadah, seperti kelebihanku terhadap orang yang terendah di antara kamu," (HR at-Tirmidzi).
Mu'adz bin Jabal berkata, “Carilah ilmu pengetahuan. Sebab, mempelajarinya karena takut kepada Allah merupakan ibadah, mempelajarinya berarti tasbih, membahasnya jihad, mengajarkannya sedekah dan mencurahkannya kepada ahlinya merupakan pengorbanan. Ilmu adalah teman dalam kesendirian, dalil agama dan penolong dalam suka dan duka. Ia sahabat karib di kala sepi, teman yang paling baik dan paling dekat serta ia merupakan cahaya jalan menuju surga. Dengannya Allah mengangkat martabat umat, lalu dijadikan-Nya mereka pemimpin dalam hal kebaikan."
            Pada suatu kesempatan Umar bin Khaththab pernah berkata, “Wahai manusia, kalian wajib menuntut ilmu. Sesungguhnya Allah memiliki selendang kemuliaan. Barangsiapa mencari satu bab ilmu saja, niscaya Allah akan membalutnya dengan selendang kebesaran-Nya."
Imam Ahmad pernah mengungkapkan, “Manusia amat membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman, karena makanan dan minuman hanya dibutuhkan dalam sehari satu atau dua kali, sedang ilmu dibutuhkan setiap saat.”
Tentu saja tradisi menuntut ilmu tak sekadar berhenti pada mengumpulkan saja tanpa komitmen mengamalkan. Sebab, mengumpulkan ilmu tanpa amal tak berbeda dengan hard disc, disket atau pita rekaman. Ilmu tanpa amal hanya akan berbuah jidal (debat) dan alat mengeruk keuntungan dunia. Ilmu tanpa amal ibarat pohon tanpa buah.
Karenanya, yang dimaksud dengan ilmu dan kemuliaan itu adalah ilmu yang bermanfaat. Sebab itu juga, seluruh kata ilmu, baik dalam al-Qur’an maupun Hadits, maksudnya ilmu yang bermanfaat.
Sisi selanjutnya setelah pengamalan ilmu adalah keikhlasan. Amal yang tak disertai keikhlasan akan sia-sia. Ia hanya akan membuahkan kebanggaan, kesombongan dan ketakutan. Kontradiktif memang. Biasanya kesombongan tak pernah menyertai orang-orang yang takut. Tapi itulah yang dialami para ilmuan yang tak mengamalkan ilmunya dengan ikhlas. Ia sombong dalam ketakutan. Ia sombong dengan ilmunya, tapi takut karena ketidak-ikhlasannya. Ia akan berbuat dengan terpaksa (baca: dalam ketakutan) hanya jika berada di depan orang.
Sebaliknya, amal yang disertai keikhlasan akan membuahkan rendah hati dan keberanian serta sederet etika lainnya. Ilmuan yang beramal dengan ikhlas tak mungkin terseret arus ketenaran. Ia tak mungkin terjerumus pada dunia perbudakan kekuasaan. Ia tak kan takut berhadapan dengan siapa pun. Tapi, di tengah segala keberanian itu, ia rendah hari.
Inilah yang menjelaskan mengapa para ulama salaf tak pernah tergiur dengan kekuasaan. Hampir tak pernah ditemukan dalam sejarah keilmuan, ada ulama yang datang ke pintu istana mengemis harta atau kekuasaan. Mereka adalah orang-orang yang bebas.
Para ulama yang benar-benar mengamalkan ilmunya dengan ikhlas dan berorientasi untuk kehidupan akhirat tak pernah merasa sempit. Ia tak pernah merasa kekurangan mesti hidup dalam kesederhanaan. Mereka tak pernah berambisi terhadap jabatan, meski ditawari kekuasaan. Karenanya, ulama akhirat tak pernah berkelahi sedangkan ulama dunia tak putus-putusnya bertengkar. Karena akhirat itu luas tak bertepi sedangkan dunia sangat sempit. Wajar kalau ulama dunia sering berkelahi.
Sikap Imam Malik terhadap Khalifah Harun ar-Rasyid dalam kisah di atas, seharusnya menjadi renungan para ulama sekarang. Begitulah wujud ulama sejati yang tidak takut terhadap penguasa. Bukan ulama su’ yang menjilat penguasa. Sebaliknya, sikap khalifah Harun ar-Rasyid dalam kisah tersebut juga harus diteladani oleh para penguasa saat ini. Seharusnya para penguasa menghormati ulama. Bukan melecehkan ahli agama.

Hepi Andi 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar