Rabu, 01 Mei 2013

Hukum Seputar Pernikahan



Mengapa  Menikah?
  1. Nikah termasuk salah satu di antara Sunnah para Rasul yang paling ditekankan, Allah berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلا مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
"Dan sesungguhnya kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan." (QS ar-Ra’d: 38).

وَمِن كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran
Allah. (QS ad-Dzariyat: 49).

  1. Sebagai sarana penyaluran birahi manusia.  Allah ciptakan manusia dengan menyisipkan hawa nafsu dalam dirinya. Ada kalanya nafsu bereaksi positif dan ada kalanya negatif. Manusia yang tidak bisa mengendalikan nafsu birahi dan menempatakannya sesuai wadah yang telah ditentukan, akan sangat mudah terjebak pada ajang baku syahwat terlarang. Pintu pernikahan adalah sarana yang tepat nan jitu dalam mewadahi ‘aspirasi’ nulari normal seorang anak keturunan Adam.
Karena itu, Nabi saw mengajarkan, ketika seseorang tertarik dengan perempuan, maka hendaklah ia mendatangi istri agar nafsunya tersalurkan.
فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ امْرَأَةً فَأَعْجَبَتْهُ فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَاكَ يَرُدُّ مِمَّا فِي نَفْسِهِ

 “Jika salah seorang di antara kalian melihat seorang wanita yang menakjubkannya, hendaklah ia mendatangi istrinya, karena  hal itu akan mengendalikan nafsunya.” (HR Ahmad).
  1. Meneguhkan akhlak terpuji. Dengan menikah, dua anak manusia yang berlawanan jenis tengah berusaha dan selalu berupaya membentengi serta menjaga harkat dan martabatnya sebagai hamba Allah yang baik. Akhlak dalam Islam sangatlah penting. Lenyapnya akhlak dari diri seseorang merupakan lonceng kebinasaan, bukan saja bagi dirinya bahkan bagi suatu bangsa. Kenyataan yang ada selama ini menujukkkan gejala tidak baik, ditandai merosotnya moral sebagian kawula muda dalam pergaulan.
  2. Membangun rumah tangga. Slogan “sakinah, mawaddah, wa rahmah” tidak akan menjadi kenyataan jika tanpa dilalui proses menikah. Tidak ada kisah menawan dari insan-insan terdahulu maupun sekarang hingga mereka sukses mendidik putra-putri dan keturunan bila tanpa menikah yang diteruskan dengan membangun biduk rumah tangga islami.
5.      Memotivasi semangat ibadah. Risalah Islam tegas memberikan keterangan pada umat manusia, bahwa tidaklah mereka diciptakan oleh Allah kecuali untuk bersembah sujud, beribadah kepada-Nya. Dengan menikah, diharapkan pasangan suami-istri saling mengingatkan kesalahan dan kealpaan. Dengan menikah satu sama lain memberi nasihat untuk menunaikan hak Allah dan Rasul-Nya.
Lebih dari itu, hubungan biologis antara laki dan perempuan dalam ikatan suci pernikahan terhitung sebagai sedekah. Seperti diungkap oleh rasul dalam haditsnya, “Dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah sedekah.” “Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah menjawab, “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa, demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala.” (HR. Muslim).
6.      Melahirkan keturunan yang baik. Hikmah menikah adalah melahirkan anak-anak yang salih, berkualitas iman dan takwanya, cerdas secara spiritual, emosional, maupun intelektual. Dengan menikah, orangtua bertanggung jawab dalam mendidik anak-anaknya sebagai generasi yang bertakwa dan beriman kepada Allah. Tanpa pendidikan yang baik tentulah tak akan mampu melahikan generasi yang baik pula.
  1. Menjaga generasi. Tak hanya untuk memperbanyak generasi saja, namun tujuan dari adanya kelangsungan generasi tersebut adalah tetap tegaknya generasi yang akan membela syariat Allah, meninggikan dienul Islam, memakmurkan alam dan memperbaiki bumi.
  2. Membangun jalinan kekeluargaan. Inilah di antara hikmah kalau kita lihat hubungan antara Nabi saw dan empat Khulafaur Rasyidun. Keempat sahabat  beliau itu adalah keluarga Nabi saw. Abu Bakar dan Umar adalah mertua Nabi saw. Sedangka Utsman dan Ali bin Abi Thalib merupakan menantu beliau.

Hukum Menikah
  1. Wajib
Bagi yang mampu dan takut dirinya terjatuh ke dalam perbuatan keji, maka nikah wajib hukumnya, karena zina dan segala sesuatu yang mendorong seseorang kepada perbuatan tersebut adalah haram. Orang yang takut dirinya akan terjerumus kepada perbuatan zina, maka ia harus mengantisipasinya. Dan apabila hal itu tidak dapat tercapai kecuali dengan menikah, maka wajib baginya untuk menikah. (As-Sailul Jarraar, Imam asy-Syaukani II/243).

  1. Sunnah
Adapun bagi yang nafsunya sudah bergejolak dan mampu menikah tapi masih bisa menjaga dirinya dari perbuatan zina, maka menikah hukumnya sunnah. Ia lebih baik menikah daripada menenggelamkan dirinya dalam ibadah. Ibnu Abbas mengatakan, “Ibadah seseorang belum sempurna sebelum ia menikah.”

  1. Haram
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat fisik lainnya yang secara umum tidak akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan menikah, haruslah sejak awal berterus terang atas kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari calon pasangannya.
Seperti orang yang terkena penyakit menular yang bila dia menikah dengan seseorng akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya dan siap menerima resikonya.
Selain dua hal di atas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk menikah. Misalnya, muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah.
Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain seperti pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi (menurut sebagian ulama). Atau menikah dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi nikah untuk sementara waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak atau nikah mut’ah.

  1. Makruh
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah.
Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami. Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.

  1. Mubah
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya.  Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah baginya adalah mubah.
Namun secara umum, dimakruhkan tidak menikah tanpa alasan, sebagaimana disebutkan dalam satu hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik:  “Ada tiga laki-laki datang ke rumah istri Nabi saw dan menanyakan tentang ibadah beliau. Setelah diceritakan kepada mereka, maka mereka merasa bahwa ibadah mereka itu sedikit. Kemudian mereka berkata, “Di manakah posisi kami dibanding Rasulullah saw sedangkan beliau telah diampuni segala dosanya, baik yang telah lalu maupun yang akan datang. Maka salah seorang di antara mereka berkata, ‘Aku akan shalat malam selamanya.’ Seorang lagi berkata, ‘Aku akan berpuasa sepanjang tahun tanpa berbuka,’ dan yang lain berkata, ‘Aku akan menghindari wanita dan tidak akan menikah selamanya.’ Kemudian Nabi saw bersabda,

أَنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا؟ أَمَّا وَاللهِ إِنِّى َلأَخْشَاكُمْ ِللهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، وَلَكِنِّى أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى

‘Kaliankah yang telah berkata begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan bertakwa kepada Allah daripada kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa membenci Sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.’” (Muttafaqun ‘alaihi).

Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar