Senin, 06 Mei 2013

Menambah Pahala dengan Shalat Sunnah


Persis seperti pelengkap sebuah menu makanan, begitulah posisi shalat sunnah. Ia menjadi penambal bagi kekurangan shalat fardhu dan menambah pahala bagi ibadah wajib.


A
llah SWT takkan menganjurkan kepada hamba-Nya untuk melakukan suatu ibadah kecuali mengandung hikmah agung dan rahasia yang begitu banyak. Begitulah keutamaan shalat sunnah. Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya amal seorang hamba yang pertama kali dihisab (diperhitungkan) pada hari Kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, maka sungguh dia telah beruntung dan selamat. Jika shalatnya rusak, maka dia akan kecewa dan merugi. Apabila shalat fardhunya kurang sempurna, maka Allah berfirman, 'Apakah hamba-Ku ini mempunyai shalat sunnah? Maka tutuplah kekurangan shalat fardhu itu dengan shalat sunnahnya.' Kemudian, begitu pula dengan amalan-amalan lainnya yang kurang'," (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan lainnya).

Ummu Habibah meriwayatkan, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, "'Tidaklah seorang Muslim melaksanakan shalat sunnah (bukan fardhu) karena Allah, sebanyak 12 rakaat setiap harinya, kecuali Allah akan membangunkan sebuah rumah untuknya di surga'," (HR Muslim).
            Sebagai mana dipaparkan Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah-nya, shalat sunnah terbagi dua. Yaitu, shalat sunnah muthlaq dan shalat sunnah muqayyad. Shalat sunnah muthlaq itu dilakukan hanya dengan niat shalat sunnah tanpa dikaitkan dengan yang lain.
            Imam Nawawi sebagaimana dikutip Sayyid Sabiq mengatakan, “Seseorang yang melakukan shalat sunnah dan tidak menyebutkan berapa rakaat yang akan dilakukan dalam shalatnya, ia boleh melakukan shalat satu rakaat lalu mengucapkan salam, dan boleh juga menambahnya menjadi dua, tiga, seratus, seribu rakaat, dan seterusnya.
            Lalu apabila seseorang mengerjakan shalat sunnah dengan bilangan rakaat yang tidak diketahuinya, lalu mengucapkan salam, maka hal itu pun sah tanpa perselisihan pendapat di kalangan para ulama. Demikian pendapat yang telah disepakati oleh golongan kami (madzhab Syafi'i) dan diuraikan pula oleh Imam Syafii dalam kitab al-Imla’,” (Fiqhus Sunnah, I/201).
Adapun shalat sunnah muqayyad, selain yang disyariatkan sebagai pendamping shalat fardhu, yang biasa disebut dengan shalat sunnah rawatib, ada juga shalat Dhuha, Shalat  Dua Hari Raya, Shalat Gerhana Bulan dan Matahari, Shalat Istikharah, dan shalat-shalat sunnah lainnya.
            Para ulama membagi shalat sunnah rawatib itu menjadi dua. Yaitu, sunnah muakkadah (sangat dianjurkan untuk dilakukan) dan ghairu muakkadah. Adapun shalat sunnah muakkadah adalah:

1. Shalat Sunnah Fajar (Shubuh)
            Shalat ini dilakukan sebelum shalat Shubuh sebanyak dua rakaat, dengan satu kali salam, dan diharamkan shalat sunnah setelah shalat Shubuh kecuali mempunyai sebab tertentu (dzaatus sabab). Begitu banyak hadits yang menjelaskan tentang keutamaan shalat sebelum Shubuh ini.  Diriwayatkan oleh Aisyah bahwa Nabi saw pernah bersabda,
هُمَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ الدُّنْيَا جَمِيعًا
Artinya, “Kedua rakaat itu (sebelum Shubuh) lebih aku sukai daripada dunia dan seluruhnya,” (HR Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi).
            Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi saw bersabda, “Jangan tinggalkan dua rakaat shalat fajar meskipun engkau dikejar oleh tentara berkuda,” (HR Abu Daud, Baihaqi, dan Thahawi). Maksudnya, jangan sekali-kali meninggalkan shalat sunnah ini meskipun sedang dikejar musuh. Ungkapan beliau ini dimaksudkan untuk menegaskan keutamaan shalat sunnah shubuh. 
Rasulullah saw biasa meringankan (tidak begitu banyak membaca ayat) dalam shalat ini sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Begitu sederhananya, sehingga Aisyah menuturkan dalam riwayatnya, “Rasulullah saw shalat dua rakaat sebelum Shubuh dan melakukannya dalam waktu singkat. Karena demikian cepatnya, sampai-sampai aku ragu apakah dalam dua rakaat itu beliau membaca surah al-Fatihah atau tidak,” (HR Ahmad, Nasa’i, Baihaqi, dan Thahawi). Dalam hadits lain yang diriwayatkan Imam Ahmad, Nabi saw membaca surah al-Kafirun dan al-Ikhlash setelah surah al-Fatihah.
            Nabi saw biasa melaksanakan shalat ini di rumah. Namun  bukan berarti tidak boleh dilaksanakan di masjid. Hanya saja, bagi yang lebih dulu datang ke masjid, meski shalat ini dilaksanakan dengan sederhana, tapi tetap harus menyisakan jeda waktu untuk menunggu jamaah lainnya yang mungkin terlambat datang ke masjid. Ini penting untuk memberikan kesempatan kepada kaum Muslimin agar bisa  shalat berjamaah di masjid.

2. Shalat Sunnah Zhuhur
            Dalam shalat ini, banyak hadits yang memaparkan tentang jumlah rakaatnya. Ada yang menyebutkan dua, empat, enam dan bahkan delapan rakaat. Ibnu Umar meriwayatkan, “Aku ingat perbuatan Nabi saw bahwa ada sepuluh rakaat sunnah rawatib. Yaitu, dua rakaat sebelum Zhuhur, dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah Maghrib, dua rakaat sesudahnya di rumahnya dan dua rakaat sebelum Shubuh,” (HR Bukhari).
            Adapun hadits yang meriwayatkan tentang shalat sunnah empat rakaat sebelum Zhuhur sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah saw tidak meninggalkan empat rakaat sebelum Zhuhur dan dua rakaat sebelum Shubuh walau dalam keadaan bagaimana pun,” (HR Bukhari dan Ahmad).
            Perbedaan ini bukan perselisihan yang dipertentangkan. Masing-masing meriwayatkan sesuai penglihatannya masing-masing. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari-nya menyebutkan, sebaiknya dua hadits ini ditafsirkan dalam dua keadaan. Kadang-kadang Nabi saw mengerjakannya dua rakaat kadang juga empat rakaat.
            Ada juga yang mengompromikan hadits itu, bahwa kalau berada di masjid, Rasulullah saw mengerjakannya dua rakaat. Kalau di rumah, beliau mengerjakannya empat rakaat. Mungkin juga Nabi saw mengerjakannya dua rakaat di rumah, dan dua rakaat di masjid. Jadi, mungkin Ibnu Umar hanya melihat Nabi saw mengerjakannya di masjid sedangkan yang di rumah tidak ia ketahui. Berbeda dengan Aisyah yang mengetahui keduanya, di masjid dan di rumah.
            Kesimpulan ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Daud yang menjelaskan bahwa beliau shalat di rumahnya empat rakaat sebelum Zhuhur, lalu beliau keluar ke masjid. Sementara itu, Abu Ja’far ath-Thabari berpendapat bahwa Rasulullah saw dalam banyak kondisi mengerjakan shalat sunnah sebelum Zhuhur sebanyak empat rakaat dan jarang sekali dua rakaat.

3. Shalat Sunnah Maghrib
            Setelah shalat Maghrib disunnahkan melaksanakan shalat sunnah dua rakaat sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi tidak pernah meninggalkannya. Dalam shalat sunnah ini, disunnahkan membaca surah al-Kafirun dan al-Ikhlash. Ibnu Mas’ud meriwayatkan,
مَا أُحْصِي مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَفِي الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الْفَجْرِ بِقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
“Aku tidak dapat menghitung betapa seringnya aku mendengar Rasulullah saw dalam dua rakaat shalat sunnah sesudah shalat Maghrib dan dua rakaat sebelum Shubuh, beliau membaca surah al-Kafirun dan al-Ikhlas,” (HR Ibnu Majah dan Tirmidzi yang menganggap hadits ini hasan).

3. Shalat Sunnah Isya’
Dalil tentang shalat sunnah ini dijelaskan riwayat Ibnu Umar, ia menceritakan, ‘Aku shalat bersama Rasulullah saw dua rakaat sebelum Zhuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah Jum’at, dua rakaat sesudah Maghrib dan dua rakaat sesudah Isya’,” (HR Muttafaq ‘alaih).
Selain itu, ada juga shalat sunnah rawatib yang ghairu muakkadah. Shalat sunnah ini dianjurkan untuk dilaksanakan tapi anjurannya tidaklah begitu kuat. Namun demikian, kita tetap disunnahkan mengerjakannya. Di antara shalat itu adalah:

1. Dua atau Empat Rakaat Sebelum Ashar
            Hal ini dijelaskan oleh hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa Nabi saw bersabda, ‘Semoga Allah memberi rahmat bagi orang yang shalat empat rakaat sebelum Ashar’,” (HR Abu Daud dan at-Tirmidzi, ia mengatakan, hadits ini hasan). Adapun dalil yang menyebutkan dua rakaat sebelum Ashar adalah hadits “di antara dua adzan itu ada shalat sunnah”.

2. Dua Rakaat Sebelum Maghrib
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Mughaffal bahwa Nabi bersabda, “Shalatlah sebelum Maghrib (tiga kali), bagi siapa yang suka mengerjakannya.”
            Hal ini diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban. Imam Muslim juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menuturkan, “Kami shalat dua rakaat sebelum Maghrib. Rasulullah melihat kami, beliau tidak menyuruh dan tidak juga melarang sesuatu apa pun pada kami.”

3. Dua Rakaat Sebelum Isya’
            Adapun dalil yang menyebutkannya adalah hadits dari Abdullah bin Mughaffal yang berkata, “Rasulullah saw bersabda,
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ ثُمَّ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ

'Di antara dua adzan itu ada shalat. Di antara dua adzan itu ada shalat. Di antara dua adzan itu ada shalat'. Kemudian, pada ucapannya yang ketiga beliau menambahkan, 'Bagi yang mau'," (Muttafaq 'alaih).
            Melaksanakan ibadah sunnah merupakan salah satu bentuk kecintaan kita kepada Rasulullah saw. Cinta yang diwujudkan dengan kerja nyata inilah yang akan memudahkan kita mendapatkan syafa'at Rasulullah saw di akhirat kelak. Insya Allah.


Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar