Ketika mendengar ketinggian ilmu Imam Malik, Khalifah Harun ar-Rasyid
memerintahkan salah seorang utusannya untuk memanggil sang ulama. Dari
bawahannya, ia sering mendengar tentang kitab al-Muwaththa’ karangan
Imam Malik yang kerap dibahas di masjid-masjid. Namun, betapa terkejutnya Harun
ar-Rasyid. Imam Malik tak mau datang ke istananya.
Khalifah Kelima Daulah Abbasiyah itu memerintahkan pesuruhnya untuk memberi
tahu tujuannya memanggil sang Imam. “Saya ingin anak-anakku mendengarkan kajian
kitab al-Muwaththa’ di istana,” ujar Harun ar-Rasyid.
Ketika hal itu disampaikan, dengan tegas Imam Malik menjawab, “Semoga Allah
memberikan kejayaan kepada Amirul Mukminin. Ilmu ini datang dari baitun
nubuwah (rumah kenabian). Jika kalian memuliakannya ia akan mulia. Jika
kalian merendahkanya, ia jadi hina. Ilmu harus didatangi, bukan mendatangi.”
Harun ar-Rasyid tak bisa berbuat
apa-apa. Ketika ia menyuruh kedua putranya datang ke masjid untuk mengaji
bersama rakyatnya, Imam Malik berkata, “Boleh, dengan syarat mereka tidak
melangkahi bahu jamaah yang datang lebih dulu. Anak-anakmu harus rela duduk di
mana saja yang tersedia buat mereka.”
Sikap penghulu madzhab Maliki itu menunjukkan betapa tinggi penghargaannya
terhadap ilmu. Ia tak mau ilmu “dilecehkan” bahkan oleh seorang khalifah
sekalipun. Kalimat yang disampaikannya masih terngiang di telinga para pencinta
ilmu hingga kini: al-‘Ilmu yu’ta wa la ya’ti (Ilmu itu harus didatangi,
bukan mendatangi).
Menuntut ilmu adalah tradisi para ulama. Mereka bersedia melakukan
perjalanan berbulan-bulan walau sekadar untuk mencari satu hadits singkat.
Mereka rela tidak tidur semalaman untuk menghapal, mengkaji atau menulis. Kalau
kita perhatikan, di antara tradisi para ulama dulu banyak di antara mereka yang
mempercepat tidurnya tapi bangun di pertiga malam. Bukan sekadar untuk shalat
malam, tapi juga membaca dan menulis. Buku karya mereka yang jumlahnya puluhan
jilid dan ribuan halaman tetap abadi hingga kini.
Merekalah yang ditinggikan derajatnya oleh Allah dengan firman-Nya, “Niscaya
Allah meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu
beberapa derajat,” (QS al-Mujadilah: 11).
Begitu perlunya kita menghargai ilmu dan
ulama, karena kedudukan seorang ‘alim (orang yang berilmu) lebih tinggi
dibandingkan kedudukan seorang 'abid (orang yang beribadah). Rasulullah
saw bersabda, "Kelebihan seorang alim dari seorang ahli ibadah, seperti
kelebihanku terhadap orang yang terendah di antara kamu," (HR
at-Tirmidzi).
Mu'adz bin Jabal berkata, “Carilah ilmu
pengetahuan. Sebab, mempelajarinya karena takut kepada Allah merupakan ibadah,
mempelajarinya berarti tasbih, membahasnya jihad, mengajarkannya sedekah dan
mencurahkannya kepada ahlinya merupakan pengorbanan. Ilmu adalah teman dalam kesendirian,
dalil agama dan penolong dalam suka dan duka. Ia sahabat karib di kala sepi,
teman yang paling baik dan paling dekat serta ia merupakan cahaya jalan menuju
surga. Dengannya Allah mengangkat martabat umat, lalu dijadikan-Nya mereka
pemimpin dalam hal kebaikan."
Pada
suatu kesempatan Umar bin Khaththab pernah berkata, “Wahai manusia, kalian
wajib menuntut ilmu. Sesungguhnya Allah memiliki selendang kemuliaan.
Barangsiapa mencari satu bab ilmu saja, niscaya Allah akan membalutnya dengan
selendang kebesaran-Nya."
Imam Ahmad pernah mengungkapkan, “Manusia
amat membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman,
karena makanan dan minuman hanya dibutuhkan dalam sehari satu atau dua kali,
sedang ilmu dibutuhkan setiap saat.”
Tentu saja tradisi menuntut ilmu tak sekadar berhenti pada mengumpulkan
saja tanpa komitmen mengamalkan. Sebab, mengumpulkan ilmu tanpa amal tak
berbeda dengan hard disc, disket atau pita rekaman. Ilmu tanpa amal
hanya akan berbuah jidal (debat) dan alat mengeruk keuntungan dunia.
Ilmu tanpa amal ibarat pohon tanpa buah.
Karenanya, yang dimaksud dengan ilmu dan kemuliaan itu adalah ilmu yang
bermanfaat. Sebab itu juga, seluruh kata ilmu, baik dalam al-Qur’an maupun
Hadits, maksudnya ilmu yang bermanfaat.
Sisi selanjutnya
setelah pengamalan ilmu adalah keikhlasan. Amal yang tak disertai keikhlasan
akan sia-sia. Ia hanya akan membuahkan kebanggaan, kesombongan dan ketakutan.
Kontradiktif memang. Biasanya kesombongan tak pernah menyertai orang-orang yang
takut. Tapi itulah yang dialami para ilmuan yang tak mengamalkan ilmunya dengan
ikhlas. Ia sombong dalam ketakutan. Ia sombong dengan ilmunya, tapi takut
karena ketidak-ikhlasannya. Ia akan berbuat dengan terpaksa (baca: dalam
ketakutan) hanya jika berada di depan orang.
Sebaliknya, amal
yang disertai keikhlasan akan membuahkan rendah hati dan keberanian serta
sederet etika lainnya. Ilmuan yang beramal dengan ikhlas tak mungkin terseret
arus ketenaran. Ia tak mungkin terjerumus pada dunia perbudakan kekuasaan. Ia
tak kan takut berhadapan dengan siapa pun. Tapi, di tengah segala keberanian
itu, ia rendah hari.
Inilah yang
menjelaskan mengapa para ulama salaf tak pernah tergiur dengan kekuasaan.
Hampir tak pernah ditemukan dalam sejarah keilmuan, ada ulama yang datang ke pintu
istana mengemis harta atau kekuasaan. Mereka adalah orang-orang yang bebas.
Para ulama yang benar-benar mengamalkan ilmunya dengan ikhlas dan
berorientasi untuk kehidupan akhirat tak pernah merasa sempit. Ia tak pernah
merasa kekurangan mesti hidup dalam kesederhanaan. Mereka tak pernah berambisi
terhadap jabatan, meski ditawari kekuasaan. Karenanya, ulama akhirat tak pernah
berkelahi sedangkan ulama dunia tak putus-putusnya bertengkar. Karena akhirat
itu luas tak bertepi sedangkan dunia sangat sempit. Wajar kalau ulama dunia
sering berkelahi.
Sikap Imam Malik terhadap Khalifah Harun ar-Rasyid dalam kisah di atas,
seharusnya menjadi renungan para ulama sekarang. Begitulah wujud ulama sejati
yang tidak takut terhadap penguasa. Bukan ulama su’ yang menjilat
penguasa. Sebaliknya, sikap khalifah Harun ar-Rasyid dalam kisah tersebut juga
harus diteladani oleh para penguasa saat ini. Seharusnya para penguasa
menghormati ulama. Bukan melecehkan ahli agama.
Hepi Andi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar