Jual beli
barang black market yaitu jual beli barang yang masuk ke dalam negeri dengan
tanpa pembayaran pajak (bea). Yang awalnya barang itu mahal karena pajak yang
dibayar, barang itu menjadi lebih murah bahkan sangat murah karena tidak
terkena pajak.
Walaupun
memang definisi ini tidak disepakati oleh semua, tapi setidaknya definisi di
atas itu memang yang banyak terjadi. Kabar yang banyak beredar di media itu
juga kan walaupun redaksi berbeda, akan tetapi intinya sama. Yaitu penjualan
barang illegal karena tidak melewati pembayaran pajak, artinya tidak melalui
jalur yang sah, yang telah ditetapkan oleh suatu negara.
Secara umum,
syariat ini menghalalkan praktek jual beli, sebagaimana yang dijelaskan dalam
ayat 275 surat Al-Baqarah: “Dan Allah telah halal-kan Jual beli dan
mengharamkan riba”.
Tapi ini
adalah dalil umum atas kehalalan jual beli, dan dalah nas-nash syar’i lainnya
banyak disebutkan jenis-jenis jual beli yang diharamkan, semisal ba’i al-ma’dum (membeli barang fiktif/tidak
ada), ba’i al-aharar (jual beli yang
mengandung spekulasi/ketidak jelasan) , ba’i
najasy (jual-beli yang ada unsur penipuan dengan menciptakan rekayasa permintaan
palsu).
Nah, terkait
tentang hukum jual beli black market ini, ada dua pendapat:
1.
Haram
Yang
mengatakan bahwa jual beli Black Market haram hukumnya, karena menganggap black market sebentuk jual
beli Talaqqi Rukban yang dilarang
oleh Nabi saw. Banyak hadits Nabi saw dengan jalur yang shahih yang menerangken
tentang keharaman jaul belia Talaqqi rukban ini.
Salah
satunya ialah yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya (no. 2021) dari riwayat
Abdullah bin Umar, bahwasanya beliau beserta sahabat yang lain bertemu
(Talaqqi) dengan segerombolan penjual (Rukban) yang belum sampai pasar. Lalu
beliau membeli dari mereka beberapa makanan, yang kemudian Rasul saw mengetahui
itu lalu melarangnya.
Selain
karena itu juga mirip dengan Talaqqi Rukban, Black market juga dalam
penerapannya terdapat unsur Gharar
(penipuan) dan juga Jahalah
(ketidakjelasan). Karena tidak lengkapnya informasi atas barang tersebut yang
sampai ke telinga pembeli. Juga adanya ketidak jelasan hukum atas barang dagangannya
itu, apakah ilegal atau legal. Bisa jadi karena ini barang yang tidak melewati
jalur yang sah, memungkinkan untuk terjadinya pemalsuan barang.
Memang unsur
itu juga yang membuat Talaqqi Rukban itu menjadi haram. Ibnu Taimiyyah
mengatakan: “......Karena dalam talaqqi Rukban penjual dirugikan karena menjual
tidak dengan harga pasar sebagaimana mestinya.”[1]
2.
Boleh
Beberapa
kalangan menilai bahwa jual beli black market itu sah-sah saja. Karena di dalamnya
tidak ada sesuatu yang membuat jual beli itu menjadi rusak secara syar’i.
rukun-rukun jual beli-nya ada dan terpenuhi, begitu juga syarat-syaratnya
terlaksana dengan baik.
Penjualnya
ada, pembelinya juga mau, barangnya jelas, harganya pun disepakati. Yang paling
penting, penjual dan pembeli sama-sama ridha menjalankannya, dan itu syarat
terpenting dalam jual beli. Sama sekali tidak ada unsur yang membuat praktek
“gelap” ini menjadi haram. Hanya penamaannya saja yang sedikit negatif.
Unsur-unsur
yang membuat parkatek jual beli itu menjadi haram seperti yang dijelaskan oleh
Imam Ibnu Rusyd itu jika ada empat unsur :
- Status kehalalan barang yang diperniagakan. Bila barang yang diperniagakan adalah haram, maka memperniagakannya juga haram, dan sebaliknya bila barangnya halal, maka memperniagakannya juga halal.
- Adanya unsur riba.
- Adanya ketidak jelasan (gharar).
- Adanya persyaratan yang memancing timbulnya dua hal di atas (riba dan gharar).[2]
Dalam black
market, keempat unsur itu tidak ditemukan. Status barangnya tidak haram, karena
bukan khamr, bukan barang-barang yang membahayakan seperti senpi dll. Kebanyakan
barang elektronik yang hukum mubah untuk dimanfaatkan. Tidak ada ribanya, pun
tidak ada gharar (penipuan/spekulasi) dalam barang tersebut. Barangnya jelas,
harganya pun jelas.
Adapun
status legalitas barang yang diragukan, itu tidak bisa merusak jual beli,
karena itu urusan penjual dengan pemerintah. Sedangkan urusan jual beli itu,
urusan dua belah pihak; penjual dan pembeli, kalau kedua nya saling ridha, maka
jual belinya menjadi sah secara syar’i.
Mereka juga
mengatakan bahwa perdagangan gelap ini sama saja kita membeli barang atau
makanan di tukang kaki lima, warteg atau toko-toko pinggir jalan yang tidak
mempunyai izin dan tidak ada pajaknya. Karena memang yang menjadi masalah black
market itu ialah status barang yang tak berpajak.
Ada juga
dari kalangan yang membolehkan ini, mereka menyamakan jual beli black market
dengan nikah siri. Nikah siri walaupun statusnya ilegal karena tidak tercatat
oleh negara, akan tetapi pernikahannya itu sah secara agama. Tidak ada yang
meragukan ini. Sah dalam arti si wanita menjadi istri yang boleh di gauli dan
lelaki menjadi suami yang sah yang bertanggung jawab atas eksistensi
keberlangsungan hidup anggota keluarga.
Begitu juga
dengan black market, semua hanya masalah keabsahan secara undang-undang saja.
Mereka meng-klaim bahwa “perundang-undangan agama jauh lebih tinggi dan harus
ditaati dibanding undang-undang negara”.
Jadi
black market walaupun namanya “perdagangan gelap” tetap saja itu adalah praktek
jual beli yang sah secara syariat dan tidak menjadi masalah.
Bagaimana kalau di negara yang menggunakan hukum syariat Islam ?
BalasHapus