Persis
seperti pelengkap sebuah menu makanan, begitulah posisi shalat sunnah. Ia menjadi
penambal bagi kekurangan shalat fardhu dan menambah pahala bagi ibadah wajib.
A
|
llah SWT takkan menganjurkan kepada
hamba-Nya untuk melakukan suatu ibadah kecuali mengandung hikmah agung dan
rahasia yang begitu banyak. Begitulah keutamaan shalat sunnah. Abu Hurairah
meriwayatkan, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya amal seorang hamba yang
pertama kali dihisab (diperhitungkan)
pada hari Kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, maka sungguh dia
telah beruntung dan selamat. Jika shalatnya rusak, maka dia akan kecewa dan
merugi. Apabila shalat fardhunya kurang sempurna, maka Allah berfirman, 'Apakah
hamba-Ku ini mempunyai shalat sunnah? Maka tutuplah kekurangan shalat fardhu
itu dengan shalat sunnahnya.' Kemudian, begitu pula dengan amalan-amalan
lainnya yang kurang'," (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan lainnya).
Ummu Habibah meriwayatkan,
“Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, "'Tidaklah seorang Muslim
melaksanakan shalat sunnah (bukan fardhu) karena Allah, sebanyak 12 rakaat
setiap harinya, kecuali Allah akan membangunkan sebuah rumah untuknya di
surga'," (HR Muslim).
Sebagai
mana dipaparkan Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah-nya, shalat sunnah
terbagi dua. Yaitu, shalat sunnah muthlaq
dan shalat sunnah muqayyad. Shalat sunnah muthlaq itu
dilakukan hanya dengan niat shalat sunnah tanpa dikaitkan dengan yang lain.
Imam
Nawawi sebagaimana dikutip Sayyid Sabiq mengatakan, “Seseorang yang melakukan
shalat sunnah dan tidak menyebutkan berapa rakaat yang akan dilakukan dalam
shalatnya, ia boleh melakukan shalat satu rakaat lalu mengucapkan salam, dan
boleh juga menambahnya menjadi dua, tiga, seratus, seribu rakaat, dan
seterusnya.
Lalu
apabila seseorang mengerjakan shalat sunnah dengan bilangan rakaat yang tidak
diketahuinya, lalu mengucapkan salam, maka hal itu pun sah tanpa perselisihan
pendapat di kalangan para ulama. Demikian pendapat yang telah disepakati oleh
golongan kami (madzhab Syafi'i) dan diuraikan pula oleh Imam Syafii dalam kitab
al-Imla’,” (Fiqhus Sunnah, I/201).
Adapun shalat
sunnah muqayyad, selain yang disyariatkan sebagai pendamping shalat
fardhu, yang biasa disebut dengan shalat sunnah rawatib, ada juga shalat
Dhuha, Shalat Dua Hari Raya, Shalat
Gerhana Bulan dan Matahari, Shalat Istikharah, dan shalat-shalat sunnah
lainnya.
Para
ulama membagi shalat sunnah rawatib itu menjadi dua. Yaitu, sunnah muakkadah (sangat dianjurkan untuk
dilakukan) dan ghairu muakkadah. Adapun shalat sunnah muakkadah adalah:
1. Shalat Sunnah Fajar (Shubuh)
Shalat ini
dilakukan sebelum shalat Shubuh sebanyak dua rakaat, dengan satu kali salam,
dan diharamkan shalat sunnah setelah shalat Shubuh kecuali mempunyai sebab
tertentu (dzaatus sabab). Begitu
banyak hadits yang menjelaskan tentang keutamaan shalat sebelum Shubuh
ini. Diriwayatkan oleh Aisyah bahwa Nabi
saw pernah bersabda,
هُمَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ
الدُّنْيَا جَمِيعًا
Artinya, “Kedua
rakaat itu (sebelum Shubuh) lebih aku sukai daripada dunia dan seluruhnya,” (HR Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi).
Dalam
hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi saw bersabda, “Jangan tinggalkan
dua rakaat shalat fajar meskipun engkau dikejar oleh tentara berkuda,” (HR Abu Daud, Baihaqi, dan Thahawi).
Maksudnya, jangan sekali-kali meninggalkan shalat sunnah ini meskipun sedang
dikejar musuh. Ungkapan beliau ini dimaksudkan untuk menegaskan keutamaan
shalat sunnah shubuh.
Rasulullah saw
biasa meringankan (tidak begitu banyak membaca ayat) dalam shalat ini
sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Begitu sederhananya, sehingga
Aisyah menuturkan dalam riwayatnya, “Rasulullah saw shalat dua rakaat sebelum
Shubuh dan melakukannya dalam waktu singkat. Karena demikian cepatnya,
sampai-sampai aku ragu apakah dalam dua rakaat itu beliau membaca surah
al-Fatihah atau tidak,” (HR Ahmad,
Nasa’i, Baihaqi, dan Thahawi). Dalam hadits lain yang diriwayatkan Imam
Ahmad, Nabi saw membaca surah al-Kafirun dan al-Ikhlash setelah surah
al-Fatihah.
Nabi
saw biasa melaksanakan shalat ini di rumah. Namun bukan berarti tidak boleh dilaksanakan di
masjid. Hanya saja, bagi yang lebih dulu datang ke masjid, meski shalat ini
dilaksanakan dengan sederhana, tapi tetap harus menyisakan jeda waktu untuk
menunggu jamaah lainnya yang mungkin terlambat datang ke masjid. Ini penting
untuk memberikan kesempatan kepada kaum Muslimin agar bisa shalat berjamaah di masjid.
2. Shalat Sunnah Zhuhur
Dalam
shalat ini, banyak hadits yang memaparkan tentang jumlah rakaatnya. Ada yang
menyebutkan dua, empat, enam dan bahkan delapan rakaat. Ibnu Umar meriwayatkan,
“Aku ingat perbuatan Nabi saw bahwa ada sepuluh rakaat sunnah rawatib. Yaitu,
dua rakaat sebelum Zhuhur, dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah Maghrib,
dua rakaat sesudahnya di rumahnya dan dua rakaat sebelum Shubuh,” (HR
Bukhari).
Adapun
hadits yang meriwayatkan tentang shalat sunnah empat rakaat sebelum Zhuhur
sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah saw tidak meninggalkan
empat rakaat sebelum Zhuhur dan dua rakaat sebelum Shubuh walau dalam keadaan
bagaimana pun,” (HR Bukhari dan Ahmad).
Perbedaan
ini bukan perselisihan yang dipertentangkan. Masing-masing meriwayatkan sesuai
penglihatannya masing-masing. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul
Bari-nya menyebutkan, sebaiknya dua hadits ini ditafsirkan dalam dua
keadaan. Kadang-kadang Nabi saw mengerjakannya dua rakaat kadang juga empat rakaat.
Ada
juga yang mengompromikan hadits itu, bahwa kalau berada di masjid, Rasulullah
saw mengerjakannya dua rakaat. Kalau di rumah, beliau mengerjakannya empat
rakaat. Mungkin juga Nabi saw mengerjakannya dua rakaat di rumah, dan dua
rakaat di masjid. Jadi, mungkin Ibnu Umar hanya melihat Nabi saw mengerjakannya
di masjid sedangkan yang di rumah tidak ia ketahui. Berbeda dengan Aisyah yang
mengetahui keduanya, di masjid dan di rumah.
Kesimpulan
ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Daud yang
menjelaskan bahwa beliau shalat di rumahnya empat rakaat sebelum Zhuhur, lalu
beliau keluar ke masjid. Sementara itu, Abu Ja’far ath-Thabari berpendapat
bahwa Rasulullah saw dalam banyak kondisi mengerjakan shalat sunnah sebelum
Zhuhur sebanyak empat rakaat dan jarang sekali dua rakaat.
3. Shalat Sunnah Maghrib
Setelah
shalat Maghrib disunnahkan melaksanakan shalat sunnah dua rakaat sebagaimana
diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi tidak pernah meninggalkannya. Dalam
shalat sunnah ini, disunnahkan membaca surah al-Kafirun dan al-Ikhlash. Ibnu
Mas’ud meriwayatkan,
مَا أُحْصِي مَا سَمِعْتُ مِنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ
بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَفِي الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الْفَجْرِ بِقُلْ يَا
أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
“Aku tidak dapat menghitung betapa
seringnya aku mendengar Rasulullah saw dalam dua rakaat shalat sunnah sesudah
shalat Maghrib dan dua rakaat sebelum Shubuh, beliau membaca surah al-Kafirun
dan al-Ikhlas,” (HR Ibnu Majah dan Tirmidzi yang menganggap hadits ini
hasan).
3. Shalat Sunnah Isya’
Dalil tentang
shalat sunnah ini dijelaskan riwayat Ibnu Umar, ia menceritakan, ‘Aku shalat
bersama Rasulullah saw dua rakaat sebelum Zhuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua
rakaat sesudah Jum’at, dua rakaat sesudah Maghrib dan dua rakaat sesudah
Isya’,” (HR Muttafaq ‘alaih).
Selain itu, ada
juga shalat sunnah rawatib yang ghairu muakkadah. Shalat sunnah ini
dianjurkan untuk dilaksanakan tapi anjurannya tidaklah begitu kuat. Namun
demikian, kita tetap disunnahkan mengerjakannya. Di antara shalat itu adalah:
1. Dua atau Empat Rakaat Sebelum Ashar
Hal
ini dijelaskan oleh hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa Nabi saw
bersabda, ‘Semoga Allah memberi rahmat bagi orang yang shalat empat rakaat
sebelum Ashar’,” (HR Abu Daud dan at-Tirmidzi, ia mengatakan, hadits ini
hasan). Adapun dalil yang menyebutkan dua rakaat sebelum Ashar adalah
hadits “di antara dua adzan itu ada shalat sunnah”.
2. Dua Rakaat Sebelum Maghrib
Imam Bukhari
meriwayatkan dari Abdullah bin Mughaffal bahwa Nabi bersabda, “Shalatlah
sebelum Maghrib (tiga kali), bagi siapa yang suka mengerjakannya.”
Hal
ini diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban. Imam Muslim juga meriwayatkan dari Ibnu
Abbas yang menuturkan, “Kami shalat dua rakaat sebelum Maghrib. Rasulullah
melihat kami, beliau tidak menyuruh dan tidak juga melarang sesuatu apa pun
pada kami.”
3. Dua Rakaat Sebelum Isya’
Adapun dalil yang
menyebutkannya adalah hadits dari Abdullah bin Mughaffal yang berkata,
“Rasulullah saw bersabda,
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ ثُمَّ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ
'Di antara dua adzan itu ada shalat.
Di antara dua adzan itu ada shalat. Di antara dua adzan itu ada shalat'.
Kemudian, pada ucapannya yang ketiga beliau menambahkan, 'Bagi yang mau',"
(Muttafaq 'alaih).
Melaksanakan
ibadah sunnah merupakan salah satu bentuk kecintaan kita kepada Rasulullah saw.
Cinta yang diwujudkan dengan kerja nyata inilah yang akan memudahkan kita
mendapatkan syafa'at Rasulullah saw di akhirat kelak. Insya Allah.
Oleh: Hepi Andi
Bastoni, MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar