4. Akad nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara
dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan
qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan
dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama
si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan
ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang
bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Sebelum dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk
menyampaikan khutbah yang dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah.
Lafadznya sebagai berikut:
إِنَّ الْحَمْدَ
لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ
شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا،
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ
أَلاَّ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ
لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.
(آل عمران: 102)
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي
خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ
مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي
تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ
عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. (النساء: 1)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ
وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ
أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا
عَظِيمًا. (الأحزاب: 70-71)
5. Walimatul ‘urs
Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut
sebagian besar ahlul ilmi, menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan
wajib, karena adanya perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu ketika mengabarkan kepada beliau bahwa
dirinya telah menikah:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Selenggarakanlah walimah walaupun
dengan hanya menyembelih seekor kambing4.” (HR. Al-Bukhari no. 5167 dan
Muslim no. 3475)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri
menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya seperti dalam hadits
Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan:
مَا أَوْلَمَ النَّبِيُّ صلى الله
عليه وسلم عَلىَ شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلىَ زَيْنَبَ، أَوْلَمَ
بِشَاةٍ
“Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya dengan sesuatu
yang seperti beliau lakukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih
kambing untuk acara walimahnya dengan Zainab.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan
Muslim no. 3489)
Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah
dilangsungkannya akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai
berakhirnya hari-hari pengantin baru. Namun disenangi tiga hari setelah dukhul,
karena demikian yang dinukilkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menikah dengan Shafiyyah radhiyallahu ‘anha dan beliau jadikan kemerdekaan
Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan walimah tiga hari kemudian.”
(Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 74:
“Diriwayatkan Abu Ya’la dengan sanad yang hasan sebagaimana dalam Fathul Bari
(9/199) dan ada dalam Shahih Al-Bukhari secara makna.”)
Hendaklah yang diundang dalam acara walimah tersebut
orang-orang yang shalih, tanpa memandang dia orang kaya atau orang miskin.
Karena kalau yang dipentingkan hanya orang kaya sementara orang miskinnya tidak
diundang, maka makanan walimah tersebut teranggap sejelek-jelek makanan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ
الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ
“Sejelek-jelek makanan adalah makanan
walimah di mana yang diundang dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya
sementara orang-orang miskin tidak diundang.” (HR. Al-Bukhari no. 5177 dan
Muslim no. 3507)
Pada hari pernikahan ini disunnahkan menabuh duff
(sejenis rebana kecil, tanpa keping logam di sekelilingnya -yang menimbulkan
suara gemerincing-, ed.) dalam rangka mengumumkan kepada khalayak akan adanya
pernikahan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ
وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ
“Pemisah antara apa yang halal dan
yang haram adalah duff dan shaut (suara) dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no. 3369, Ibnu
Majah no. 1896. Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no.
1994)
Adapun makna shaut di sini adalah pengumuman
pernikahan, lantangnya suara dan penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan
tersebut di tengah manusia. (Syarhus Sunnah 9/47,48)
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu menyebutkan satu bab
dalam Shahih-nya, “Menabuh duff dalam acara pernikahan dan walimah” dan
membawakan hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha yang
mengisahkan kehadiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
pernikahannya. Ketika itu anak-anak perempuan memukul duff sembari merangkai
kata-kata menyenandungkan pujian untuk bapak-bapak mereka yang terbunuh dalam
perang Badr, sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendengarkannya. (HR. Al-Bukhari no. 5148)
Menurut dari sebagian ulama dalam acara pernikahan ini tidak boleh memutar
nyanyian-nyanyian atau memainkan alat-alat musik, karena semua itu hukumnya
haram.
Disunnahkan bagi yang menghadiri sebuah pernikahan
untuk mendoakan kedua mempelai dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, ia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّّ
صلى الله عليه وسلم كاَنَ إِذَا رَفَّأَ اْلإِنْسَاَن، إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ
وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا
فِي خَيْرٍ
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila
mendoakan seseorang yang menikah, beliau mengatakan: ‘Semoga Allah memberkahi
untukmu dan memberkahi atasmu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan’.” (HR. At-Tirmidzi no. 1091, dishahihkan Al-Imam
Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar