Syariat berhijab
(menutup aurat) tak hanya berkaitan dengan hukum fiqih, tapi juga akidah dan
akhlak.
Seruan untuk
menerapkan syariat Islam terus bergema. Cahaya kemenangan umat Islam di
berbagai lini kehidupan makin benderang. Namun, musuh Islam takkan pernah rela
cahaya Allah menyinari bumi. Dengan segala cara mereka ingin memadamkannya.
Allah berfirman, “Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut
(ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang
kafir membenci,” (QS ash-Shaf: 8).
Ironisnya, masih
ada keraguan di sebagian kalangan kaum Muslimin untuk menerapkan nilai-nilai
syariat Islam. Bahkan, masih ada yang alergi dengan kata ‘syariat Islam’.
Padahal, ibadah-ibadah yang selama ini ia lakukan adalah bagian-bagian penting
dalam syariat Islam. Sebut misalnya, shalat, puasa, zakat, haji dan ibadah
lainnya. Semua itu adalah bagian penting dalam syariat Islam.
Bagian penting
lainnya yang masih sering dianggap tabu adalah masalah menutup aurat, utamanya
bagi perempuan. Tarik ulur pengesahan Rancangan Undang-undang Antipornografi
dan Pornoaksi (RUU APP), memang tak bisa dilepaskan dengan kepentingan bisnis
dan syahwat kalangan tertentu. Tapi, tak bisa dipungkiri, penolakan dari internal
umat Islam sendiri juga ada. Latar belakang penolakan itu memang beragam.
Alasan utama adalah syubhat yang meniupkan anggapan bahwa menutup aurat bukan
hal yang wajib.
Selain itu,
kalangan yang masih ragu (baca: tak mau) menutup aurat menganggap dirinya belum
mantap. Jika seorang Muslimah yang belum berhijab ditanya, mengapa ia tak
mengenakan hijab? Di antaranya ada yang menjawab, “Saya belum mantap berhijab.
Jika saya merasa mantap saya akan berhijab."
Mereka yang
berdalih dengan syubhat ini hendaknya bisa membedakan antara dua hal: antara
perintah Allah dan perintah manusia. Jika perintah itu datang dari manusia, ia
bisa salah dan bisa benar. Imam Malik pernah berkata, "Dan setiap orang
bisa diterima ucapannya dan juga bisa ditolak, kecuali (perkataan) orang yang
ada dalam kuburan ini." Yang dimaksudkan adalah Rasulullah saw.
Selagi masih
dalam bingkai perkataan manusia, maka seseorang tak bisa dipaksa menerima.
Namun, jika perintah dari Allah, maka tak ada alasan untuk mengatakan
"saya belum mantap". Bila ia masih mengatakan hal itu dengan penuh
keyakinan, padahal ia tahu perintah itu ada dalam al-Qur’an, bisa menyeretnya
pada bahaya yang sangat besar: keluar dari agama Allah dengan kesadaran penuh!
Sebab, dengan demikian berarti ia meragukan kebenaran perintah Allah.
Allah berfirman, "Dan
tidaklah patut bagi laki-laki Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan Mukminah,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka piIihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai
AIlah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata, "
(QS al-Ahzab: 36).
Ketika seorang
hamba mengaku beriman kepada Allah, maka tak ada pilihan lain baginya kecuali
taat. Ketika mendengar perintah Allah, sebagai seorang Mukmin, wajib mengatakan
sebagaimana yang dikatakan orang-orang beriman, “... kami dengar dan kami
taat." (Mereka berdoa), “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah
tempat kembali,” (QS al-Baqarah:
285).
Ketika Allah
memerintahkan kepada kita sesuatu hal, Dia Maha Mengetahui bahwa perintah itu
mengandung kebaikan. Dengan demikian, ketika perintah itu tidak dilaksanakan,
kita tidak akan mendapatkan kebaikan atau justru menuai keburukan akibat
mengabaikan perintah Allah.
Sebagian ada yang
menganggap menutup aurat bukan hal penting. Tatkala ditanya alasan mengapa
tidak berhijab, ada yang menjawab, “Saya seorang Muslimah, selalu menjaga
shalat lima waktu dan shalat sunnah. Saya puasa Ramadhan, melakukan haji dan
umrah berkali-kali. Saya aktif sebagai donatur pada beberapa yayasan sosial.”
Benar! Shalat,
puasa, haji dan membantu orang lain adalah bagian penting dalam Islam. Sama
pentingnya dengan berhijab. Hukum berhijab—dengan menutup seluruh tubuhnya
kecuali muka dan telapak tangan di depan orang yang bukan mahramnya—adalah
wajib. Allah berfirman, “Hai Nabi, katakanIah kepada istri-istrimu,
anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang Mukmin, 'Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka'. Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu ....." (QS
al-Ahzab: 59).
Rasulullah saw
pernah bersabda kepada Asma’ binti Abu Bakar, “Wahai Asma’, sesungguhnya wanita
yang telah haidh (baligh), tidak diperkenankan untuk dilihat dari (tubuh)nya, kecuali
ini dan ini, dengan mengisyaratkan wajah dan telapak tangan,” (HR Abu Daud).
Dalam banyak
haditsnya, Rasulullah saw memberikan peringatan keras bagi yang mengabaikan
perintah ini. Rasulullah bersabda, “Ada dua golongan dari ahli neraka yang
siksanya belum pernah saya lihat sebelumnya. (Pertama), kaum yang membawa
cambuk seperti seekor sapi yang digunakan untuk memukul orang (dialah penguasa
zalim). (Kedua), wanita yang berpakaian tapi telanjang, yang selalu
berbuat maksiat dan menarik (perhatian)
orang lain untuk berbuat maksiat. Rambutnya sebesar punuk unta. Mereka takkan
masuk surga, bahkan takkan mencium wanginya. Padahal, bau surga itu tercium
sejauh perjalanan yang amat panjang,” (HR Muslim).
Mereka yang
menegakkan shalat, puasa, haji dan melaksanakan ibadah lainnya, tapi tidak
berhijab, berarti meragukan perintah Allah. Dia mengambil setengah-setengah
dari ajaran Islam. Allah memberikan ancaman keras dengan firman-Nya, “Apakah
kamu beriman kepada sebagian aI-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian
yang lain? Tidaklah balasan bagi orang-orang yang berbuat demikian daripadamu,
melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka
dikembalikan pada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang
kamu perbuat,” (QS al-Baqarah: 85).
Rasulullah
bersabda, “Sesungguhnya penghuni neraka yang paling ringan adzabnya pada hari
Kiamat ialah orang yang diletakkan di tengah kedua telapak kakinya dua bara
api. Dari dua bara api ini otaknya mendidih, sebagaimana periuk yang mendidih
dalam bejana besar yang dipanggang dalam kobaran api,” (HR al-Bukhari,
Kitabur Riqaaq, 11/376).
Jika seperti ini adzab yang paling
ringan pada hari Kiamat, lalu bagaimana bagi orang yang diancam Allah dengan
adzab yang amat pedih, sebagaimana disebutkan dalam ayat ini? Apakah hanya demi
penampilan dan kebanggaan kita rela menjual akhirat dan siap menerima adzab
yang menyiksa?
Sebagaimana
ibadah lainnya, pelaksanaan hijab ini memerlukan ‘pembiasaan’. Ia harus
dibiasakan sejak dini. Orang tua yang tak mengerti urgensi hijab ini, sering
melarang anaknya yang sebenarnya sudah mau menutup aurat. Padahal, seharusnya
pembiasaan ini dilakukan jauh hari sebelum sang anak dewasa. Dengan demikian,
ketika masa balighnya tiba, ia tak sungkan lagi menutup aurat.
Bagi seorang Muslimah yang menjelang
atau sudah memasuki usia dewasa harus memiliki sikap tegas. Ketaatan pada orang
tua hanya berlaku pada masalah-masalah yang tidak bertentangan dengan Islam.
Ketaatan pada Allah harus didahulukan daripada ketaatan kepada makhluk, siapa
pun dia. Setelah ketaatan kepada Allah, kedua orang tua lebih berhak untuk
ditaati dari yang lainnya, selama keduanya tidak memerintahkan pada
kemaksiatan.
Hal yang sama
berlaku juga pada suami, saudara, peraturan lembaga, tempat bekerja atau lainnya.
Tak sedikit di antara Muslimah yang mendapatkan penentangan dari suaminya untuk
menutup aurat. Menghadapi masalah ini, seorang istri harus tegas mempertahankan
prinsipnya, tapi juga bijak. Permasalahannya bisa dijelaskan dengan komunikasi
yang baik.
Begitu juga bagi
mereka yang mendapatkan tentangan dari lembaga pendidikan atau tempat bekerja.
Menghadapi masalah ini, para Muslimah harus berani memegang prinsip. Biasanya,
lembaga atau instansi yang ‘alergi’ dengan hijab, mempunyai dua kemungkinan: mereka
tidak mengerti hukum,atau memang dia berkiblat ke Barat yang menuhankan
demokrasi. Kemungkinan pertama, bisa dihadapi dengan penjelasan arif tentang
hukum berhijab. Kemungkinan kedua, harus dihadapi dengan sikap tegas. Jika
mereka menganut prinsip demokrasi, berarti mereka harus menghormati hak orang
lain, termasuk masalah menutup aurat.
Masalah berhijab,
terutama bagi Muslimah begitu penting. Ia tak hanya berkaitan dengan akidah,
tapi juga fiqih dan akhlak. Secara akidah, orang yang menolak syariat hijab
berarti meragukan ketuhanan Allah. Dari sisi fiqih, beberapa ibadah
mengharuskan seseorang untuk menutup aurat. Di antaranya, shalat dan thawaf
yang mengharuskan menutup aurat sebagai syarat sahnya. Dari sisi akhlak pun
demikian. Mereka yang menutup aurat cenderung lebih terjaga dan memiliki akhlak
baik. Ini disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya, “'Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka'. Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu ....." (QS
al-Ahzab: 59).
Written by Hepi Andi Bastoni, MA
Menepis Keraguan Berhijab
BalasHapusHandsok Muslimah