Proses mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli
kucing dalam karung” sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh
perkara yang penuh adab. Bukan “Coba dulu baru beli” kemudian “habis manis
sepah dibuang”,
sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang.
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang
tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan
As-Sunnah yang shahih. Berikut ini kami bawakan perinciannya:
1. Mengenal calon pasangan hidup
Sebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi
seorang wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang
hendak dinikahinya, begitu pula sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang
berhasrat menikahinya. Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang
dijalani orang-orang yang tidak paham agama, sehingga mereka menghalalkan
pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon pasangan hidup, kata
mereka. Pacaran dan pertunangan haram hukumnya tanpa kita sangsikan.
Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini
maksudnya adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya,
akhlaknya, agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa
ditempuh dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si
lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si
wanita.
Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang
bisa menjatuhkan kepada fitnah (godaan setan) dihindari kedua belah pihak
seperti bermudah-mudahan melakukan hubungan telepon, sms, surat-menyurat,
dengan alasan ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri.
Jangankan baru ta’aruf, yang sudah resmi meminang pun harus menjaga dirinya
dari fitnah. Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan
hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui telepon antara seorang pria
dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, beliau menjawab, “Tidak
apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah
dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang
dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya
fitnah. Namun bila
hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita maka lebih baik lagi dan lebih
jauh dari keraguan/fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki
dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di
antara mereka, namun tujuannya untuk saling mengenal, sebagaimana yang mereka
istilahkan, maka ini mungkar, haram, bisa mengarah kepada fitnah serta
menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ
فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا
“Maka janganlah kalian tunduk (lembut
mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di
hatinya ada penyakit dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)
Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan
laki-laki ajnabi kecuali bila ada kebutuhan dengan mengucapkan perkataan yang
ma’ruf, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya
dituduh macam-macam).” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin
Fauzan 3/163-164)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan
Ada beberapa hal yang disenangi bagi laki-laki untuk
memerhatikannya:
- Wanita itu shalihah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا
وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا،
فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu (menurut kebiasaan yang ada, pent.)
dinikahi karena empat perkara, bisa jadi karena hartanya, karena keturunannya,
karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang
memiliki agama. Bila tidak, engkau celaka.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim
no. 3620 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
-Wanita itu subur rahimnya. Tentunya bisa diketahui
dengan melihat ibu atau saudara perempuannya yang telah menikah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ
الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ
“Nikahilah oleh kalian wanita yang
penyayang lagi subur, karena aku berbangga-bangga di hadapan umat yang lain
pada kiamat dengan banyaknya jumlah kalian.” (HR. An-Nasa`i no. 3227, Abu
Dawud no. 1789, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul
Ghalil no. 1784)
-Wanita tersebut masih gadis, yang dengannya akan
dicapai kedekatan yang sempurna.
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika
memberitakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia telah
menikah dengan seorang janda, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَهَلاَّ جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا
وَتُلاَعِبُكَ؟
“Mengapa engkau tidak menikah dengan
gadis hingga engkau bisa mengajaknya bermain dan dia bisa mengajakmu bermain?!”
Namun ketika Jabir mengemukakan alasannya, bahwa ia
memiliki banyak saudara perempuan yang masih belia, sehingga ia enggan
mendatangkan di tengah mereka perempuan yang sama mudanya dengan mereka
sehingga tak bisa mengurusi mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memujinya, “Benar apa yang engkau lakukan.” (HR. Al-Bukhari no. 5080, 4052 dan
Muslim no. 3622, 3624)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالْأَبْكَارِ،
فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ
“Hendaklah kalian menikah dengan para gadis karena
mereka lebih segar mulutnya, lebih banyak anaknya, dan lebih ridha dengan yang
sedikit.” (HR.
Ibnu Majah no. 1861, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam
Ash-Shahihah no. 623)To Be Continued / Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar