Meski mengetahui kebenaran yang dibawa Rasulullah
saw, bangsa Yahudi tetap tak bisa dipisahkan dari ciri khasnya. Menjadi
pengkhianat sepanjang sejarah.
Begitu menjadi bangsa jajahan dari satu kerajaan ke
kerajaan lain, orang-orang Yahudi hidup tak bertanah. Mereka terlantar menjadi
bangsa pengung
si yang hidupnya terlunta-lunta. Di antara bangsa Yahudi yang paling beruntung, ada tiga kelompok yang melarikan diri ke Semenanjung Arab dan menetap di Yatsrib (Madinah). Ketiga kelompok itu adalah Bani Nadhir, Bani Quraizhah dan Bani Qainuqa’. Mereka berhasil menguasai Yatsrib terutama di bidang ekonomi.
Agar tetap eksis, mereka selalu mengadu domba antara Aus dan Khazraj,
dua kelompok penduduk asli Yatsrib. Bertahun-tahun terjadi peperangan antara
dua suku besar itu. Karenanya, di antara agenda Rasulullah saw ketika
menjejakkan kakinya di bumi Madinah adalah menyatukan Aus dan Khazraj dalam
ikatan ukhuwah Islamiyah. Sedangkan untuk “menjinakkan” orang-orang Yahudi,
Rasulullah saw membuat perjanjian yang dalam sejarah dikenal dengan Mitsaqul
Madinah, Piagam Madinah.
Melalui perjanjian ini, Rasulullah saw mendapatkan
kebebasan untuk berdakwah. Piagam Madinah bukan semata wujud toleransi
Rasulullah saw terhadap keberadaan non-Muslim di negeri Islam. Namun, merupakan
bentuk kepiawaian berpolitik Rasulullah saw. Dengan adanya perjanjian ini,
Rasulullah saw bebas melakukan dakwah tanpa dihalangi oleh orang-orang Yahudi.
Perjanjian ini adalah bentuk dominasi Rasulullah saw atas orang-orang Yahudi,
bukan sebaliknya.
Piagam
Madinah adalah wujud politik Rasulullah saw untuk menundukkan Madinah dan
mempertahankan diri dari serbuan luar. Di antara poin terpenting dalam Piagam
Madinah itu adalah “Orang-orang Yahudi wajib mengeluarkan belanja bersama
orang-orang mukmin ketika mereka
memerangi musuh.”
Dengan adanya perjanjian itu,
Madinah dan wilayah di sekitarnya menjadi negara kompromistis: ibu kotanya
Madinah, pemimpinnya Rasulullah saw, dan kekuasaan yang berpengaruh dipegang
kaum Muslimin. Dengan demikian, Madinah benar-benar menjadi ibu kota bagi umat
Islam.
Namun, agaknya Yahudi tak bisa dipisahkan dengan ciri
khasnya sebagai bangsa pengkhianat. Pengkhianatan Yahudi di masa Rasulullah saw
diawali oleh seorang Yahudi bernama Syas bin Qais. Ia tokoh Yahudi yang sangat
membenci kaum Muslimin. Suatu ketika ia melewati beberapa sahabat Nabi saw dari
kabilah Aus dan Khazraj yang sedang berbincang-bincang dalam sebuah majelis.
Nampak keceriaan di wajah mereka.
Pemandangan indah penuh ceria
itu menimbulkan iri hati sang Yahudi. Dengan segala tipu dayanya, ia melakukan tindakan politik adu domba dengan mengisahkan kembali
peperangan-peperangan yang sering
terjadi antara dua kelompok kaum Muslimin
itu. Ia menyebut-nyebut kejantanan dan keperwiraan serta kemuliaan masing-masing suku sehingga hati
kedua belah pihak menjadi panas. Bahkan, mereka mulai mengambil senjata dan
siap berperang.
Sebelum terjadi perkelahian, peristiwa itu sampai ke telinga Rasullah saw. Beliau bersama para sahabat
mendatangi mereka seraya bersabda, “Wahai kaum kaum Muslimin, Allah, Allah!
Apakah kalian menyerukan seruan jahiliyah sementara aku masih berada di
tengah-tengah kalian, setelah Allah menunjukkan kalian kepada Islam dan
memuliakan kalian dengannya, memutuskan kalian dari perkara jahiliyah, menyelamatkan
kalian dari kekufuran, dan menyatukan hati kalian?”
Kaum Muslimin pun sadar bahwa apa
yang terjadi itu merupakan tipu daya syaitan dan musuh. Mereka kemudian
menangis dan saling berangkulan. Mereka pergi dari tempat itu meninggalkan Syas
bin Qais, musuh Allah.
Diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan yang lain dari jalur Ibnu Abbas, ia berkata, ”Setelah Rasulullah saw
berhasil menundukkan orang-orang Quraisy dalam perang Badar, beliau
mengumpulkan orang-orang Yahudi di pasar Bani Qainuqa’. Beliau berkata, “Masuklah ke dalam Islam sebelum kalian ditimpa oleh
apa yang telah menimpa kaum Quraisy.”
Mendengar seruan itu, mereka menjawab dengan congkak, “Wahai Muhammad,
janganlah Anda membanggakan kemenangan terhadap kaum Quraisy. Mereka itu tidak
mengerti ilmu peperangan. Seandainya kami yang Anda hadapi dalam peperangan,
niscaya Anda akan mengetahui siapa sebenarnya kami ini.”
Jawaban Bani Qainuqa’
itu merupakan pernyataan terbuka untuk berperang. Tetapi Nabi saw menahan
amarahnya dan bersabar. Demikian pula kaum
Muslimin. Mereka menunggu sampai orang-orang Yahudi berbuat kejahatan
yang bisa disebut melanggar perjanjian.
Kenyataannya memang
demikian. Yahudi Bani Qainuqa’ bertambah berani. Tak lama kemudian, mereka
berbuat kerusuhan di Madinah. Di antara tindakan Yahudi Bani Qainuqa’ yang
benar-benar melampaui batas adalah apa yang diriwayatkan Ibnu Hisyam dari Abu
‘Aun. Seorang wanita Arab datang ke pasar Bani Qainuqa’ untuk menjual barang
dagangannya. Dia mendatangi tukang sepuh dan duduk di sana. Tiba-tiba beberapa
orang Yahudi meminta wanita itu untuk
membuka penutup mukanya, tetapi wanita itu menolak. Tanpa diketahui, secara
diam-diam tukang sepuh itu menyangkutkan ujung pakaian yang menutup seluruh
tubuhnya pada bagian punggungnya. Ketika wanita itu berdiri, terbukalah aurat
bagian belakangnya. Orang-orang Yahudi yang melihatnya tertawa terbahak-bahak.
Wanita itu kemudian berteriak
meminta pertolongan. Mendengar teriakan itu, salah seorang dari kaum
Muslimin menyerang Yahudi tukang sepuh
itu dan membunuhnya.
Orang-orang Yahudi yang
berada di tempat itu kemudian mengeroyoknya. Peristiwa itulah yang menyebabkan
terjadinya peperangan antara kaum Muslimin
dan orang-orang Yahudi dari Bani Qainuqa’.
Bersama pasukannya, Rasulullah saw berangkat menuju Bani Qainuqa’. Ketika
melihat kedatangan kaum Muslimin, orang Yahudi segera berlindung dalam
benteng-benteng mereka. Kaum Muslimin
mengepung mereka secara ketat. Pengepungan itu berlangsung selama lima
belas hari.
Allah menimpakan rasa takut dalam hati orang Yahudi. Akhirnya mereka
menyerahkan dan bersedia menerima hukuman yang akan diputuskan oleh Rasulullah
saw menyangkut budak, harta istri dan anak keturunan mereka.
Untuk mengusir mereka ini,
Rasulullah saw menyuruh Ubadah bin Shamit yang segera memberikan waktu tiga
hari untuk berkemas. Orang-orang Yahudi itu hanya diperkenankan membawa anak
dan istri serta pakaian yang melekat di tubuh mereka. Rasulullah saw menerima
harta kekayaaan mereka. Dari harta tersebut, beliau mengambil tiga keping uang,
dua baju besi, tiga pedang, tiga tombak, dan seperlima ghanimah. Berkenaan
dengan peristiwa Ubadah bin Shamit dan Abdullah bin Ubay, Allah menurunkan
firman-Nya pada surah al-Maidah ayat 51-56.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar