Dakwah ibarat tangga. Jika terputus,
tak mungkin tujuan tercapai. Bahkan, jika jenjang terputusnya lama, tak
mustahil menyebabkan kejatuhan.
Di
tengah kesibukan kuliahnya, Tika (bukan nama sebenarnya) sempat memberikan
privat membaca al-Qur’an pada sebuah keluarga cukup kaya. Karena kegigihan
dakwahnya yang luar biasa, Tika tak hanya berhasil membuat seisi keluarga itu
mampu baca tulis al-Qur’an, tapi juga memberikan pencerahan wawasan keislaman yang
baik. Ibu dan seorang putrinya dari keluarga itu berhasil dia jilbabkan.
Tika
menganggap tugasnya selesai. Ia ‘tinggalkan’ keluarga tersebut tanpa
meninggalkan jalinan hubungan sama sekali. Beberapa tahun kemudian, ia mendapat
berita. Gadis kecil yang dulu masih
duduk di bangku SD dan berhasil ia jilbabi, kini sudah menapaki bangku kuliah.
Yang mengejutkan, gadis itu tak layak lagi menyandang predikat muslimah. Jilbab
yang dulu membungkus rapi rambutnya, kini sudah melayang dihembus angin
kebebasan. Keteduhan yang dulu menjadi ciri khasnya, kini berubah.
Si akhwat baru ngeh. Sebuah
kesalahan besar telah ia lalaikan. Dakwahnya yang ia jalin betahun-tahun burai.
Penyebabnya, kelalaiannya sendiri yang meninggalkan kelaurga itu tanpa ada
ikatan hubungan setelahnya. Dakwahnya terputus!
Fenomena seperti dialami seorang akhwat
di pengujung 1990-an ini, tak sedikit menjangkiti juru dakwah. Sebagian
mereka beranggapan, ketika sang mad’u sudah tertarik dengan dakwahnya,
tugasnya selesai. Ia mengira keimanan seseorang itu stabil. Padahal, seperti
diisyaratkan Rasulullah saw bahwa iman itu bisa
bertambah dan berkurang. Ketika keimanan sedang berkurang, dan bujukan
kejahatan datang menerpa, tak sedikit yang tidak mampu bertahan. Bahkan,
fenomena melemahnya iman ini, juga dialami para sahabat, generasi terbaik
alumnus madrasah Rasulullah saw.
Kasus “tertinggalnya” tiga sahabat
yang tidak ikut perang Tabuk, merupakan salah satu contohnya. Begitupun
peristiwa Hathib bin Abi Balthaah yang “membocorkan” rahasia rencana kedatangan
Rasulullah saw ke Makkah. Namun, kadar melemahnya iman para sahabat, tentu tak
bisa disamakan dengan tingkat keimanan kaum muslimin saat ini. Ketika
mengetahui kekeliruannya, Kaab bin Malik dan kedua temannya yang tidak ikut
perang Tabuk, langsung mendapat “hukuman” tidak diajak bicara selama lima puluh
hari. Mereka pun langsung bertaubat. Begitu pun Hathib bin Abi Balthaah. Begitu
menyadari kekeliruannya, dengan penuh penyesalan ia langsung bertaubat dan
berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya.
Karenanya, kalau kita buka lembaran
sejarah, dakwah yang disampaikan Rasulullah saw selalu berkesinambungan. Beliau
tak pernah membiarkan para sahabatnya “terlantar” tak mengenyam nikmatnya
dakwah. Ketika ada yang baru masuk Islam, Rasulullah saw langsung menyuruh para
sahabatnya untuk mengajarkan Islam.
Ada beberapa hal yang menyebabkan
terputusnya dakwah. Di antaranya, futur (lemahnya iman). Seperti kaum muslimin
lainnya, dai pun tak luput dari fenomena lemah iman. Dai yang tadinya selalu
mengisi hari-harinya dengan aktivitas dakwah, tiba-tiba melemah. Kediamannya
yang biasanya diramaikan oleh kajian-kajian dakwah tiba-tiba sepi. Yang
terdengat justru alunan musik dan acara-acara televisi yang jauh dari
nilai-nilai Islam. Kesibukan kerja dan rutinitas harian, turut melalaikan
dakwahnya. Semua gejala melemahnya iman ini merupakan faktor utama terputusnya
dakwah. Tak jarang, karena faktor tersebut, umat yang semula mulai tersentuh
dakwah, kembali ke era jahiliyahnya. Jilbab yang semula mulai menutup auratnya
kembali melayang akibat kurangnya pemantauan dan mutabaah.
Selain itu, kesalahan dalam memahami
makna uzlah, juga menjadi faktor terputusnya dakwah. Melihat hancurnya
masyarakat dan rusaknya mora mereka, tak sedikit di antara dai yang justru pata
semangat. Karena merasa tak sanggup memperbaikan keadaan, mereka memilihi
mengasingkan diri dan menjauhi hiruk pikuk “dunia”. Memang ada hadits yang
menegaskan tentang anujuran uzlah. Di antaranya seperti yang
diriwayatkan oleh Muslim, “Akan datang suatu saat, sebaik-baik harta seseorang
adalah kambing yang dibawa ke puncak gunung dan tempat-tempat turunnya hujan.
Ia menghindar dari fitnah dan membawa agamanya,” (HR Muslim).
Namun, anjuran untuk mengasingkan diri
ini tidak boleh ditelan mentah-mentah. Sebab, sangat banyak ayat al-Qur’an yang
justru memerintahkan untuk melebur dan bergabung membentuk kelompok bersama
kaum muslimin. Allah SW berfirman, “Dan berpegang teguhlah kamu kepada tali
(agama) Allah, dan janganlah bercerai-berai,” (QS Ali Imran: 103).
Dalam ayat lain Allah menyatakan, “Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan Allah, seolah-olah mereka
itu adalah sebuah bangunan yang kokoh,” (QS ash-Shaf: 4). Lebih tegas lagi
Rasulullah saw menyatakan, “Jauhilah bercerai-berai, hendaklah kalian
berjamaah. Sesungguhnya setan akan menyertai orang yang sendirian dan akan
menjauh dari dua orang. Siapa yang ingin masuk ke taman surga, hendaklah ia
berjamaah,” (HR Turmudzi).
Jadi, hakikat uzlah harus dipahami
secara benar. Sehingga, tidak kontraproduktif dan menjadi penyebab terputusnya
dakwah. Kita dapat bayangkan, jika para dai menganggap uzlah adalah solusi
mengatasi masalah, tak ada lagi yang akan berdakwah. Masing-masing sibuk dengan
dirinya sendiri.
Selanjutnya, larut dalam pencarian
harta dan perburuan jabatan bisa juga menyebabkan terputusnya dakwah. Harta dan
jabatan adalah dua sejoli yang selalu menjadi perburuan. Bagi juru dakwah yang
sudah terjebak pada perburuan ini, sering tak bisa membagi waktu. Hari-harinya
dipenuhi dengan kesibukan duniawi sedangkan dakwahnya terabaikan. Cinta dunia
merupakan salah satu penyebab timbulnya perlombaan mencari harta. Jika cinta
dunia sudah bersarang di hati manusia, akan mendorongnya untuk merengkuh harta
dan jabatan sebanyak-banyaknya tanpa merasa kenyang. Rasulullah saw bersabda,
“Jika manusia memiliki dua lembah harta kekayaan, dia akan menginginkan lembah
ketiga. Perut manusia tidak akan pernah merasa penuh kecuali dengan tanah. Allah akan menerima taubat
orang yang ingin bertaubat,” (HR Bukhari dan Muslim).
Kesibukan memburu harta dan singgasana
menyebabkan tersitanya waktu mengkaji agama. Pentingnya mengikuti kajian
keagamaan bukan semata untuk menambah ilmu, tapi untuk saling mengingatkan.
Selain itu, rendah diri dan merasa
tidak mampu bisa juga menjadi sebab terputusnya dakwah. Tidak sedikit para dai
yang meninggalkan panggung dakwah lantaran merasa dirinya rendah dan tak mampu
berbuat apa-apa. Ia khawatir ketika mengikuti kajian-kajian keagamaan, dirinya
akan dihina dan tidak dihormati. Akibatnya, ia juga takut mengatakan yang hak
itu benar dan yang batil itu salah. Rasulullah saw bersabda, “Janganlah salah
seorang di antara kamu menghinakan dirinya.” Para sahabat bertanya, “Wahai
Rasulullah saw, apa yang dimaksud dengan seseorang menghinakan dirinya?” Beliau
bersabda, “Dia melihat suatu urusan Allah yang wajib dikatakan, tapi tidak ia
sampaikan. Pada hari kiamat, Allah akan bertanya pada orang itu, ‘Apa yang
menghalangimu untuk mengatakan itu?’ Dia menjawab, ‘Karena takut kepada manusia.’
Allah berfirman, ‘Akulah yang paling berhak kamu takuti,’” (HR Ibnu Majah).
Namun demikian, bukan berarti dakwah
bisa dilaksanakan begitu juga. Dakwah tak hanya butuh semangat. Semangat saja
tidak cukup. Kalau semangat diibaratkan bahan bakar, maka ilmu adalah
kendalinya. Dengan ilmulah segalanya diarahkan. Dakwah tanpa ilmu ibarat
kendaraan tanpa setir. Dakwah tanpa semangat ibarat mobil tanpa bensin.
Semangat dan ilmu adalah dua hal yang mesti dimiliki seorang ilmu.
Jika tidak hati-hati, semangat tanpa
ilmu bisa berdampak negatif. Fenomena yang akhir-akhir ini menyudutkan umat
Islam, tak lepas dari kesalahan mengelola semangat. Tak sedikit di antara
aktivis Islam yang mempunyai semangat luar biasa, dimanfaatkan musuh untuk
mencemarkan nama baik umat Islam sendiri. Strategi “tiup balon” yang dulu
dimainkan oleh Ali Mortopo, kini dipraktikkan lagi.
Dengan memperhatikan faktor-faktor
penyebab terputusnya dakwah itu, para dai akan memiliki kesadaran. Bahwa,
dakwah tak mengenal istilah “istirahat” apalagi “henti”. Ia harus terus
berjalan, berputar dan bergerak seiring hembusan napas. Ia tak boleh berhenti
sedetik pun sampai maut menjemput ajal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar