Rabu, 29 Mei 2013
Jadilah Wanita Apa Adanya
Para sahabiyat
itu adalah mujahidah. Mereka tak hanya menjadi asisten para “nakhoda” kapal dakwah, tapi kadang menjadi “nakhoda”nya itu sendiri. Mereka tak hanya menjadi pejuang yang merawat anak para
mujahid yang tinggal di rumah. Tapi, mereka juga terjun ke medan laga. Tak
hanya menyiapkan makanan, merawat orang yang terluka tapi juga memanggul
senjata.
Islam menempatkan wanita pada posisinya.
Derajatnya tidak di bawah laki-laki, tapi sama. Allah berfirman, “Barangsiapa yang mengerjakan
amal shalih, baik laki-laki maupun wanita sedangkan ia orang yang beriman, maka
mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun,” (QS an-Nisaa’: 124).
Bahkan dalam keadaan tertentu derajat wanita bisa
melebihi laki-laki. Buktinya, orang yang pertama kali menyambut seruan Islam
adalah wanita, istri Rasulullah saw, Khadijah. Orang yang pertama kali
dinyatakan gugur di jalan Allah adalah wanita, yaitu Sumayyah binti Khubath.
Dalam sebuah hadits, ketika seorang laki-laki bertanya tentang siapa yang
paling berhak mendapatkan perlakukan baik, Rasulullah shalallahu ‘alaih wasallam menjawab, “Ibumu, ibumu, ibumu lalu ayahmu.” (HR Muslim IV/1974).
Seandainya ada perlakuan syariat Islam yang
sekilas seperti membedakan kaum wanita, itu disebabkan karena dua jenis kelamin
itu memang berbeda. Laki-laki dan wanita diciptakan Allah dengan keistimewaan
masing-masing, baik secara struktur fisik maupun kejiwaan. Perbedaan itulah
yang menyebabkan tugas mereka berbeda. Seperti anggota tubuh. Struktur telinga
berbeda dengan mata karena fungsi keduanya memang beda. Bahkan, seandainya nama
dan strukturnya sama, tapi karena letaknya berbeda, makan tugasnya pun berbeda.
Tangan kanan dan tangan kiri sama secara struktur tapi tugas mereka berbeda.
Begitulah perbedaan antara laki-laki dan wanita.
Secara fisik, postur tubuh laki-laki lebih kasar
dan kokoh. Sebaliknya, wanita lebih halus dan lembut. Secara kejiwaan juga
demikian. Wanita lebih sulit mengendalikan emosi dan perasaannya lebih halus.
Dalam keadaan tertentu wanita mengalami kondisi yang tidak dialami laki-laki.
Wanita menyusui. Ia melahirkan. Ia haidh. Semua itu tak terjadi pada
laki-laki. Ini yang membuat sebagian syariat Islam membedakan keduanya.
Seandainya ada perlakuan syariat Islam yang
sekilas seperti tak adil terhadap wanita, hal itu bisa dijelaskan. Islam tak
pernah menzalimi wanita. Misalnya, masalah warisan. Pembagian harta warisan
dalam Islam dilakukan dengan cara yang adil dan proporsional sesuai keadaan.
Dalam surah an-Nisa’ ayat 11 Allah menyatakan, bahwa bagian anak laki-laki dua kali dari bagian
anak wanita.
Apa hikmah di balik itu? Ada perbedaan beban dan
tanggungan antara anak laki-laki dan anak wanita. Dalam pandangan Islam, beban
mereka tidak sama. Anak laki-laki harus memberikan mahar kepada wanita yang
akan dinikahinya dan berkewajiban memberikan nafkah kepada keluarganya.
Sedangkan wanita ketika menikah tidak berkewajiban membayar apa pun, bahkan ia
mendapat mahar. Ketika menikah pun ia tidak harus mencari nafkah untuk
keluarganya.
Nah, seandainya beban mereka sama, sama-sama tidak
ada beban atau tanggung jawab, maka bagian mereka sama. Ini berlaku bagi kedua
orang tua (ayah dan ibu) yang ditinggal oleh anaknya yang mempunyai keturunan.
Dalam hal ini jatah laki-laki dan wanita (ibu dan ayah) sama. Mereka sama-sama
mendapatkan seperenam dari harta yang ditinggalkan (QS an-Nisaa’: 11).
Begitu juga bagi kalalah (tidak mempunyai
anak dan orangtua) yang hanya meninggalkan seorang saudara laki-laki seibu atau
seorang saudara wanita seibu. Keduanya sama-sama mendapatkan seperenam. Mereka
(laki-laki dan wanita) mendapatkan jatah yang sama. (QS an-Nisa’: 12) (Qardhawi Bicara Soal Wanita, hlm 18).
Hepi Andi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar