Di kalangan masyarakat Muslim, khitan atau sunnat
sudah dianggap tradisi. Meski dalam hal hukum khitan para ulama berbeda
pendapat, tapi ajaran Islam yang dipelopori oleh Nabi Ibrahim ini jarang ditinggalkan.
Secara bahasa, khitan
berarti memotong. Secara terminologi artinya memotong kulit yang menutupi alat
kelamin lelaki (penis). Dalam bahasa Arab, khitan juga digunakan sebagai nama
lain alat kelamin lelaki dan perempuan seperti dalam hadits yang mengatakan,
"Apabila terjadi pertemuan dua khitan, maka telah wajib mandi," (HR
Muslim).
Dalam Islam, khitan merupakan salah
satu media penyucian diri dan bukti ketundukan kepada Islam. Dalam hadits
Rasulullah bersabda, “Kesucian (fitrah) itu ada lima: khitan, mencukur bulu
kemaluan, mencabut bulu ketiak, memendekkan kumis dan memotong kuku," (HR
Bukhari Muslim).
Menurut jumhur ulama, hukum khitan
bagi lelaki wajib. Para pendukung pendapat ini adalah Imam Syafi'i, Ahmad, dan
sebagian pengikut Imam Malik. Imam Hanafi mengatakan, khitan wajib tapi tidak
fardhu.
Menurut riwayat populer dari Imam Malik, khitan hukumnya
sunnah. Begitu juga riwayat dari Imam Hanafi dan Hasan al-Basri yang mengatakan
sunnah. Namun bagi Imam Malik, sunnah kalau ditinggalkan berdosa, karena
menurut madzhab Maliki, sunnah adalah antara fardhu dan nadb. Ibnu Abi
Musa dari ulama Hanbali juga mengatakan sunnah muakkadah.
Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni
mengatakan, khitan bagi lelaki hukumnya wajib dan kemuliaan bagi perempuan.
Andaikan seorang lelaki dewasa masuk Islam dan takut khitan maka tidak wajib
baginya, sama dengan kewajiban wudhu dan mandi, bisa gugur kalau ditakutkan
membahayakan jiwa. Khitan pun demikian.
Mereka yang menyebutkan khitan tidak
wajib mendasarkan pendapatnya pada riwayat bahwa ketika masuk Islam, Salman
al-Farisi tidak disuruh khitan. Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan
Bukhari Muslim, Rasulullah bersabda, “Kesucian (fitrah) itu ada lima: khitan,
mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memendekkan kumis dan memotong
kuku." Dalam hadits ini, khitan disamakan dengan sunnah-sunnah lainnya.
Secara logis, khitan juga sunnah.
Adapun dalil para ulama yang
mengatakan khitab wajib, di antaranya hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah
bersabda, bahwa Nabi Ibrahim melaksanakan khitan ketika berumur 80 tahun. Ia
dikhitan dengan menggunakan kapak (HR Bukhari). Nabi Ibrahim
melaksanakannya ketika diperintahkan untuk khitan walaupun sudah berumur 80
tahun. Ini menunjukkan betapa kuatnya perintah khitan.
Apapun perbedaan ulama tentang hukum
khitan, tapi banyak sekali hikmah yang bisa dipetik. Antara lain, kulit yang di
depan alat kelamin bisa terkena najis ketika kencing. Kalau tidak dikhitan maka
sama dengan orang yang menyentuh najis di badannya sehingga shalatnya tidak
sah. Shalat adalah ibadah wajib, segala sesuatu yang menjadi prasyarat shalat
hukumnya wajib.
Abu Daud dan Ahmad meriwayatkan,
Rasulullah berkata kepada Kulaib, “Buanglah rambut kekafiran dan
berkhitanlah." Perintah Rasulullah menunjukkan kewajiban.
Diperbolehkannya membuka aurat saat
khitan padahal membuka aurat sesuatu yang dilarang, ini menujukkan khitab
wajib, karena tidak diperbolehkan sesuatu yang dilarang kecuali untuk sesuatu
yang sangat kuat hukumnya. Memotong anggota tubuh yang tak bisa tumbuh kembali
dan disertai rasa sakit, tidak mungkin kecuali karena perkara wajib, seperti
hukum potong tangan bagi pencuri.
Khitan juga merupakan tradisi umat Islam sejak zaman
Rasulullah bahkan sejak Nabi Ibrahim, sampai zaman sekarang dan tidak ada yang
meninggalkannya, maka tidak ada alasan yang mengatakan itu tidak wajib.
Adapun waktu pelaksanaan khitan, tak
ada ketentuan pasti. Namun, sebagian ulama menyimpulkan, waktu wajib khitan
adalah saat baligh. Sebab, saat itulah seseorang mulai dibebankan melaksanakan
shalat. Tanpa khitan, dikhawatirkan shalat tidak sempurna sebab suci yang
merupakan syarat sah shalat, tak terpenuhi. Ibnul Qayim berkata, “Wali (orang tua) tidak boleh
membiarkan anak tidak berkhitan hingga melewati baligh,” (Tamamul Minnah hlm
68-69).
Hal ini ditunjukkan pula
oleh riwayat Ibnu Abbas, ketika Rasulullah
wafat Ibnu Abbas seusia anak masa khitan. Para sahabat tidak membiarkan seseorang hingga melewati baligh. Atsar ini dikeluarkan Imam Bukhari (11/90
dalam Fathul Bari dan Ahkamul Maulud hlm 112).
wafat Ibnu Abbas seusia anak masa khitan. Para sahabat tidak membiarkan seseorang hingga melewati baligh. Atsar ini dikeluarkan Imam Bukhari (11/90
dalam Fathul Bari dan Ahkamul Maulud hlm 112).
Adapun waktu sunnah adalah sebelum
baligh. Sedangkan waktu ikhtiar (pilihan yang baik untuk dilaksanakan)
adalah hari ketujuh setelah lahir, atau 40 hari setelah kelahiran, atau juga
dianjurkan pada umur tujuh tahun. Qadhi Husain mengatakan sebaiknya melakuan
khitan pada umur 10 tahun karena saat itu anak mulai diperintahkan shalat. Ibnu
Mundzir mengatakan, khitan pada umur tujuh hari hukumnya makruh karena itu
tradisi Yahudi, namun ada riwayat bahwa Rasulullah mengkhitan Hasan dan Husain,
cucu beliau pada umur tujuh hari—meskipun ada yang menyebut hadits ini lemah.
Begitu juga Nabi Ibrahim mengkhitan putranya Ishaq pada umur tujuh hari.
Dalam rangka mewujudkan syukur,
belakangan sebagian umat Islam banyak yang melaksanakan walimatul khitan. Imam
Ahmad meriwayatkan hadits dari Utsman bin Abi Ash bahwa walimah khitan termasuk
yang tidak dianjurkan. Namun demikian secara eksplisit Imam Nawawi menegaskan,
walimah khitan boleh dilaksanakan dan hukumnya sunnah memenuhi undangan seperti
undangan lainnya.
Sebagaimana diungkapkan para ahli
kedokteran bahwa khitan mempunyai faedah bagi kesehatan karena membuang anggota
tubuh yang yang menjadi tempat persembunyian kotoran, virus, najis dan bau yang
tidak sedap. Air kencing mengandung semua unsur tersebut. Ketika keluar
melewati kulit yang menutupi alat kelamin, maka endapan kotoran sebagian
tertahan oleh kulit tersebut.
Semakin lama endapan tersebut
semakin banyak. Bisa dibayangkan berapa lama seseorang melakukan kencing dalam
sehari dan berapa banyak endapan yang disimpan oleh kulit penutup kelamin dalam
setahun. Karenanya beberapa penelitian medis membuktikan bahwa penderita
penyakit kelamin lebih banyak dari kelangan yang tidak dikhitan. Begitu juga
penderita penyakit berbahaya, seperti AIDS, kanker kelamin dan bahkan kanker
rahim juga lebih banyak diderita oleh pasangan yang tidak dikhitan. Ini juga
yang menjadi salah satu alasan non Muslim di Eropa dan AS, belakangan melakukan
khitan.
Mengkhitan
Anak Perempuan
Hukum khitan bagi perempuan menjadi perbincangan para
ulama. Perbedaan pendapat itu disebabkan riwayat hadits seputar khitan
perempuan yang masih dipermasalahkan kekuatannya. Ibnu Mundzir mengatakan, tak ada hadits yang
bisa dijadikan rujukan dalam masalah khitan perempuan dan tak ada sunnah yang
bisa dijadikan landasan. Semua hadits yang meriwayatkan khitan perempuan sanadnya
lemah.
Riwayat paling populer tentang
khitan perempuan adalah hadits Ummi Athiyah, Rasulullah bersabda, “Wahai
Umi Athiyah, berkhitanlah dan jangan berlebihan. Sesungguhnya khitan lebih baik
bagi perempuan dan lebih menyenangkan bagi suaminya." Hadits ini
diriwayatkan Baihaqi, Hakim dari Dhahhak bin Qais. Abu Daud juga meriwayatkan
ha3.
3+6dits serupa tapi semua riwayatnya dhaif. Abu Daud sendiri meriwayatkan
hadits ini untuk menunjukkan kedhaifannya. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Hajar
dalam kitab Talkhisul Khabir.
Mengingat tak ada hadits kuat
tentang khitan perempuan ini, menurut Ibnu Hajar, sebagian ulama Syafi'iyah dan
ulama kalangan Hambali mengatakan, tak ada anjuran khitan bagi perempuan. Namun
ada juga pendapat, khitan bagi wanita disunnahkan berdasarkan keumuman sabda
Nabi saw bahwa sunnah fitrah itu ada lima, di antaranya khitan. Juga
berdasarkan riwayat Khalal dari Syaddad bin Aus berkata, Rasulullah saw bersabda,
“Khitan itu sunnah bagi para lelaki dan kehormatan bagi para wanita."
Mengkhitan anak perempuan hukumnya sunnah, bukan kebiasaan buruk, dan tidak
pula membahayakan jika tidak berlebihan. Namun apabila berlebihan, bisa saja
membahayakan baginya. (Fatwa Lanjah Daimah lil Ifta’ 5/119-120).
Imam Mawardi menambahkan, khitan
pada perempuan yang dipotong adalah kulit yang berada di atas vagina perempuan
yang mirip cengger ayam. Yang dianjurkan, memotong sebagian kulit tersebut
bukan menghilangkannya secara keseluruhan. Imam Nawawi juga menjelaskan hal
yang sama. Namun pada penerapannya banyak kesalahan, yaitu berlebih memotong
bagian alat vital perempuan.
Namun di sisi lain, ada yang mengatakan, khitan perempuan
memudahkan pertemuan antara dua khitan (laki-laki dan perempuan) sehingga
peluang kehamilan lebih tinggi. Di samping memudahkan perempuan membersihkan
kotoran-kotoran tersembunyi yang menyebabkan bakteri-bakteri hidup subur di
area tersebut.
Khitan juga membantu perempuan menjaga da n
mengontrol gairah seksnya. Jika tidak dikhitan, perempuan tak bisa merasakan
kepuasaan hubungan dengan satu laki-laki (suami), yang selanjutnya mendorongnya
berselingkuh dan melakukan perzinaan.
Namun demikian, Rasulullah saw melarang berlebih dalam
mengkhitan anak perempuan. Larangan dari Rasulullah secara hukum bisa
mengindikasikan keharaman. Apalagi bila terbukti berlebihan atau kesalahan
dalam melaksanakan khitan perempuan bisa menimbulkan dampak negatif.
Akhirnya, masalah khitan bagi perempuan, berpulang pada
kondisi masing-masing. Anak perempuan boleh dikhitan tapi tidak boleh
berlebihan. Jika khawatir akan berdampak negatif, maka khitan bagi anak
perempuan sah saja ditinggalkan. Wallahu a’lam.
Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar