Suatu ketika Rasulullah saw dan para sahabatnya
duduk di masjid menunggu datangnya shalat Ashar. Tiba-tiba, beliau saw bersabda,
“Tak lama lagi akan datang calon penghuni surga.”
Mendengar sabda
Rasulullah saw tersebut, Anas bin Malik penasaran dan ingin mengetahui siapa
gerangan yang dimaksud. Tak lama kemudian masuklah seorang pria berpenampilan
sederhana. Dari janggutnya masih menetes bekas air wudhu. Sesampai di Masjid ia
shalat dua rakaat. Ketika waktu Ashar tiba, pria itu pun ikut shalat berjamaah.
Keesokkan
harinya, di waktu yang sama, Rasulullah saw mengulangi kembali sabdanya,
“Segera akan datang seorang pria calon penghuni surga.” Ternyata, sosok yang
dimaksud adalah pria itu lagi. Rasulullah saw bersabda kembali hingga tiga hari
berturut-turut. Dan, yang dimaksudnya
pria itu juga.
Peristiwa itu tak hanya
membuat penasaran Anas bin Malik, tapi juga menarik perhatian seorang pemuda
bernama Abdullah bin Umar. Ia pun tertarik untuk mengetahui rahasia dan
keistimewaan yang dimiliki laki-laki itu. Selepas Isya’, Abdullah bin Umar
sengaja membuntuti sampai ke rumahnya. Aksi Abdullah bin Umar itu pun
diketahui. “Aku lihat sejak dari masjid engkau mengikutiku. Apa maksudmu?”
tanya laki-laki itu.
Abdullah
mengutarakan keinginannya untuk menginap di rumah laki-laki itu. Kesederhanaan
tempat tinggal, dan jamuan makan tak mengundang rasa penasaran Abdullah. Ia
sengaja tak tidur semalam karena ingin menyaksikan pria itu bangun tengah malam
dan melaksanakan qiyamul lail. Usai shalat tahajjud ia tidur kembali dan bangun
menjelang Subuh. Kemudian, bersama Abdullah bin Umar, ia berangkat bekerja
sebagai tukang batu. Sorenya pria itu ke masjid dan malamnya pulang ke
rumahnya. Abdullah bin Umar mengikuti laki-laki itu hingga tiga hari lamanya.
Tak ada yang aneh.
Pada
malam terakhir menginap, Abdullah bin Umar berkata, “Aku sengaja menginap di
rumahmu karena mendengar Rasulullah saw mengatakan, Anda calon penghuni surga.
Aku ingin tahu apa keistimewaan Anda sehingga mendapat jaminan itu?”
Mulanya
laki-laki itu menjawab biasa saja. Ia pun tidak tahu. “Aku tak melakukan ibadah
apa pun lebih dari kebiasaanku,” katanya. Selanjutnya ia berkata, “Aku hanya
istiqamah melaksanakan kewajibanku tepat pada waktunya. Aku tak menyakiti
seseorang manusia pun. Aku tak pernah dengki terhadap sesuatu nikmat yang Allah
berikan pada orang lain.”
Mendengar
jawaban lelaki itu, Abdullah berkata, “Inilah yang telah mengangkat derajat
Anda menjadi penghuni surga sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw.”
Ya, kasih sayang Allah
meliputi semua makhluk-Nya, baik ketika hidup di dunia maupun di akhirat. Allah
menyiapkan surga, tak hanya bagi orang-orang tertentu yang mempunyai kedudukan
istimewa. Orang biasa yang melakukan amalan biasa-biasa juga bisa menikmati
surga. Seperti kisah yang diriwayatkan Imam Ahmad di atas. Kebersahajaan
ibadah, disempurnakan dengan akhlakul karimah.
Di
akhirat kelak, amalan yang timbangannya amat berat adalah akhlak, sebagaimana
sabda Rasulullah, “Tak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (pada hari
kiamat) dari akhlak yang baik,” (HR Abu Dawud).
Akhlak inilah yang pada hari
akhirat banyak membantu kaum Muslimin memperoleh surga. Sebaliknya karena
akhlak pula banyak orang yang ketika di dunia sangat aktif beribadah justru
tergelincir mencicipi neraka. Mereka inilah yang disebut-sebut dalam hadits
Rasulullah saw sebagai orang yang bangkrut. Nabi saw lalu berkata,
“Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku ialah yang datang pada hari
kiamat dengan membawa amalan puasa, shalat dan zakat, tetapi dia pernah mencaci
maki orang ini dan menuduh orang itu berbuat zina. Dia pernah memakan harta
orang itu lalu dia menanti orang ini menuntut dan mengambil pahalanya (sebagai
tebusan) dan orang itu mengambil pula pahalanya. Bila pahalanya habis sebelum
selesai tuntutan yang mengganti tebusan atas dosa-dosanya, maka dosa
orang-orang yang menuntut itu diletakkan di atas bahunya lalu dia dihempaskan
ke api neraka,” (HR Muslim).
Banyak
kita dapati orang-orang yang apabila diperhitungkan amalan ibadahnya sungguh
sangat mengagumkan. Namun, sayang mereka masih sering mengabaikan akhlak.
Hubungan dan interaksi sosialnya sangat buruk. Ia masih memendam rasa iri,
hasut dan dengki. Kadang-kadang tak bisa melepaskan dari dari ghibah,
fitnah, bahkan namimah (mengadu domba).
Padahal,
Rasulullah saw menegaskan, ”Orang yang paling dekat denganku kedudukannya pada
hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kamu adalah
yang paling baik terhadap keluarganya,” (HR ar-Ridha).
Berkaitan
hal ini, ath-Thabari meriwayatkan, Ummu Salamah, istri Rasulullah saw pernah
bertanya kepada beliau perihal istri yang pernah beberapa kali menikah karena
suaminya meninggal. “Ya Rasulullah, seorang perempuan dari kami ada yang nikah
dua, tiga, dan empat kali (karena suaminya meninggal), lalu dia wafat dan masuk
surga bersama suami-suaminya juga. Siapakah yang akan menjadi suaminya kelak di
surga?”
Nabi saw
menjawab, “Dia disuruh memilih. Yang dipilih adalah yang paling baik akhlaknya
dan berkata, ‘Ya Rabbku, orang ini ketika di dunia paling baik akhlaknya
kepadaku, maka kawinkanlah aku dengannya.”
Masih
dalam riwayat yang sama, Rasulullah kembali menegaskan, “Wahai Ummu Salamah,
akhlak yang baik membawa kebaikan untuk kehidupan di dunia dan akhirat.”
Jika dilihat
kisah Abdullah bin Umar dalam hadits di atas, ada akhlak yang bisa mengangkat
seseorang sampai pada posisi puncak sebagai penghuni surga walaupun ibadahnya
biasa-biasa saja. Yaitu, merasa cukup dan tidak dengki pada orang lain.
Sebaliknya, jika diabaikan sifat ini justru sangat berbahaya. Rasulullah saw
menegaskan, “Waspadalah terhadap hasud (iri dan dengki), sesungguhnya hasud
mengikis pahala-pahala sebagaimana api memakan kayu bakar,” (HR Abu Daud).
Sifat dengki adalah keinginan
seseorang agar nikmat yang ada pada orang lain hilang. Sifat ini biasanya
selalu ada pada setiap pembenci, sombong dan kikir. Bila orang lain mendapatkan
kebaikan, niscaya ia bersedih hati dan bila orang lain mendapatkan bencana ia justru
bergembira.
Umar bin al-Khaththab pernah
berkata, “Cukup sebagai bukti si pendengki terhadapmu manakala ia merasa gundah
di saat kamu bahagia.” Abu al-Laits as-Samarqandi, seorang ulama terkemuka berkata,
“Lima perkara akan sampai pada si pendengki sebelum kedengkiannya sampai pada
orang yang didengkinya. Pertama, kegundahan yang tiada henti. Kedua,
mendapat musibah yang tak berbuah pahala. Ketiga, celaan yang tak
berujung pujian. Keempat, kemurkaan Rabb. Kelima, tertutupnya
pintu taufik baginya.”
Menjaga kebersihan hati akan
membuat kita senantiasa waspada dari sifat dengki. Karenanya, hakikat dengki
menjadi penting untuk diketahui. Hasad adalah penyakit lama yang selalu
menyebabkan orang lain tersakiti dan terzalimi. Sang pendengki biasanya selalu meradang
terhadap orang yang tak berdosa.
Dunia tak berhak dihuni para
pendengki. Orang yang dengki ibarat api yang akan melalap bagiannya sendiri
jika tak ada lagi yang bisa dilalapnya. Kisah Habil dan Qabil, serta Nabi Yusuf
dan saudara-saudaranya menjadi pelajaran bagi kita. Ketika kedengkian itu
mencapai puncaknya, ia akan melahap apa saja yang ada di sekitarnya.
“Kedengkian memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar,” (HR Abu
Daud dari Abu Hurairah dan Ibnu Majah dari Anas).
Dengki adalah persoalan hati.
Dari dengki lahirlah buruk sangka. Buruk sangka akan melahirkan fitnah, tuduhan
dan dendam. Dendam akan melahirkan perpecahan dan permusuhan. Inilah yang akan
mencerai-beraikan umat Islam. "Penyakit umat sebelum kamu telah menular kepada kamu. Yaitu hasad
dengki dan permusuhan. Permusuhan tersebut ialah pengikis dan atau pencukur.
Saya tidak maksudkannya ia mencukur rambut, tetapi (yang saya maksudkan) ialah
mengikis agama," (HR Baihaqi).
Ya
Allah, hindarkanlah kami dari penyakit dengki. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar