Seperti biasanya, di rumah yang kecil dan sederhana,
Rasulullah saw menerima salah seorang sahabatnya dalam suatu mejelis ilmu. Dari
hari ke hari mereka yang hadir semakin bertambah. Mulai dari anak-anak hingga
orang tua. Mereka sangat senang dan antusias mempelajari ilmu keislaman. Tidak
sedikit dari mereka yang datang membawa sanak saudara atau teman karibnya.
Selain
keingintahuan terhadap ajaran Islam, mereka juga merasakan kepuasan tersendiri
dalam batinnya, karena keramahan dan kelembutan perangai beliau kepada siapa
pun yang dijumpainya. Senyuman yang ikhlas tampak dari raut wajahnya.
Keakrababan muamalah mereka seolah menggambarkan kerinduan yang dalam.
Suatu
ketika, mejelis ilmu yang biasa diadakan di rumah Rasul dipadati jamaah. Rasul
menunggu barang sejenak kalau-kalau ada jamaahnya yang dalam perjalanan. Ketika
dirasa tidak ada lagi yang datang, beliau langsung memulai pengajiannya. Tak
lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara derap langkah kaki di luar rumah dan
sahutan, “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” “Wa’alaikumusalam
Warahmatullahi Wabarakatuh,” jawab Rasul dan para jamaah yang hadir. Ternyata
yang datang adalah sahabat Jarir bin Abdullah Al-Bajlil.
Dikarenakan
tempat yang tersedia bagi para jamaah telah penuh, Jarir bin Abdullah Al-Bajlil
mengambil tempat di serambi dengan tanpa alas. Berbeda dengan para jamaah yang
lain, mereka berada di dalam ruangan dan duduk dengan menggunakan alas.
Melihat
Jarir bin Abdullah Al-Bajlil duduk tanpa alas, Rasulullah langsung
menghampirinya seraya berkata “Hai Jarir, duduklah di atas Syalku ini.” Jarir
langsung mengambil syal itu dan ia menciumnya sambil menangis terharu. Kemudian
ia melipat dan mengembalikan kepada Rasul sambil berkata “Mana mungkin aku akan
duduk di atas pakaianmu, wahai Nabi Allah sehingga Allah memuliakanmu sebagaimana
kau memuliakan aku.” Rasulullah tersenyum haru melihat sikap Jarir. Kemudian ia
bersabda, “Apabila datang kepada kalian seorang tamu yang mulia, muliakanlah
dia. Dan apabila datang kepada kalian seorang yang mempunyai hajat terhadap
kalian, muliakanlah dia”.
Diriwayatkan
oleh Ibnu Umar r.a. Rasulullah saw
pernah mengingatkan, “Manusia yang paling dicintai Allah adalah orang yang
bermanfaat bagi mereka. Sedangkan amal yang paling dicintai Allah adalah
kebahagiaan yang kamu berikan kepada seorang mukmin, menghilangkan
kesusahannya, membayar hutangnya, dan menjauhkannya dari kelaparan.
Sesungguhnya, aku berjalan bersama saudaraku seiman dalam suatu urusan lebih
aku senangi, dari pada aku melakukan i’tikaf di masjid selama dua bulan. Barang
siapa yang mau mencegah amarahnya (saudaranya), maka Allah akan menutup celanya.
Barang siapa yang mau menahan amarahnya, padahal ia mampu meluapkannya kalau ia
menghendaki, maka Allah akan memenuhi hatinya dengan sebuah keridhaan-Nya. Dan
barang siapa yang mau berjalan bersama saudara-saudara muslimnya dalam suatu
urusan, sehingga ia mengukuhkan urusan itu, maka Allah akan mengukuhkan telapak
kakinya yang terpeleset didalamnya. Sesungguhnya, seburuk-buruk makhluk ialah
orang yang merusak amal seperti halnya cuka merusak madu,” (HR Abi ad-Dunya).
Aris Sabthazi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar