Sebagian kaum Muslimin mengganggap Rajab sebagai bulan “keramat” yang mengandung banyak berkah. Benarkah?
Laki-laki itu menemui Rasulullah saw lalu pergi. Setelah setahun berlalu,
ia datang lagi dengan penampilan berbeda. “Wahai Rasulullah, engkau
mengenalku?” tanyanya.
“Siapa kamu?”tanya Rasulullah.
“Saya al-Bahili yang pernah datang
tahun lalu.”
“Apa yang mengubah dirimu, padahal dulu engkau berpenampilan bagus?”
“Saya tidak makan selain pada waktu malam sejak berpisah denganmu.”
“Mengapa engkau menyiksa diri?” tanya Rasul. Beliau lalu meneruskan,
“Puasalah sehari setiap bulan.”
Ia berkata, “Tambahkanlah karena aku kuat melakukannya.”
“Puasalah dua hari,” jawab Rasul.
“Tambahkanlah,” tawarnya.
“Berpuasalah tiga hari,” jawab Rasul.
“Tambahkanlah,”pintanya lagi.
Beliau menjawab, “Puasalah di Bulan Haram lalu tinggalkanlah. Puasalah di Bulan
Haram lalu tinggalkanlah. Puasalah di Bulan Haram lalu tinggalkanlah.” Beliau
berkata sambil menunjukkan tiga jarinya, menggenggam lalu melepaskannya.
Kisah yang diriwayatkan oleh Abu Daud ini sering menjadi landasan
dianjurkannya berpuasa di Bulan Haram. Bulan Haram itu adalah Dzulqa’dah,
Dzulhijjah, Muharram dan Rajab sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat Bulan Haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam
bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa,” (QS at-Taubah: 36).
Namun demikian, tak ada riwayat yang
menyebutkan bahwa Rasulullah saw berpuasa sebulan penuh pada bulan Rajab.
Ditambah lagi, hadits-hadits yang menceritakan bahwa kalau mengkhususkan suatu
ibadah tertentu pada bulan Rajab, kebanyakan hadits dhaif dan munkar.
Misalnya hadits, “Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku (Rasulullah
saw), dan Ramadhan adalah bulan umatku.” Hadits ini oleh para ahli hadits
dimasukkan sebagai hadits palsu dan munkar. Meski demikian, tidak berarti kita
tidak boleh shalat, puasa atau pun istighfar pada bulan Rajab ini.
Jika pernah mendengar puasa di tanggal 27 Rajab, maka Dr Yusuf al-Qaradhawi
dalam buku Fiqh Shiyam-nya memasukkan puasa ini sebagai puasa bid’ah.
Orang-orang yang berpuasa pada tanggal ini, biasanya melakukannya karena malam
27 Rajab adalah malam Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw. Padahal, dalam hal
ini, Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak dikenal oleh seorang pun dari kalangan kaum
Muslimin yang menjadikan malam Isra’ sebagai malam istimewa, berbeda dengan
yang lain. Para sahabat dan tabi'in tak pernah mengkhususkan malam Isra’ dengan
amalan-amalan tertentu, tidak juga mengenangnya dengan acara-acara tertentu.
Karena itu, tidak ada malam–termasuk malam Isra’, yang dianggap sebagai malam
yang paling utama bagi Rasulullah saw. Tidak ada dalil yang diketahui tentang
bulannya, tentang 10 harinya, apalagi tentang hari H, bahkan nukilan tentang
itu, semua terputus riwayatnya dan saling berselisih. Tidak ada yang qath’i tentang
itu dan tidak ada syariat bagi kaum Muslimin yang mengistimewakan malam itu
dengan shalat atau lainnya.”
Dengan demikian, yang paling baik bagi kita untuk bulan Rajab adalah
memperbanyak amal shalih dan puasa karena keutamaan Bulan Haram, serta tidak
berpuasa sebulan penuh layaknya bulan Ramadhan. Ibadah ini dilakukan bukan
karena ganjaran yang keshahihan syariatnya tak bisa dipertanggungjawabkan, tapi
dalam rangka mempersiapkan diri menjelang pertemuan dengan Ramadhan.
Bagaimana mungkin bisa beribadah khusus pada malam ke-27, sedangkan tentang
malam Isra' dan Mi'raj tak terdapat hadits shahih yang menetapkan waktunya.
Riwayat yang menunjukkan waktunya menurut para pakar hadits bukan berasal dari
Rasulullah saw. Sekiranya ada ketetapan waktu sekalipun, tidak dibolehkan bagi
kaum Muslimin untuk mengkhususkan padanya ibadah tertentu. Begitu pula tidak
dibolehkan bagi mereka untuk mengadakan peringatan dan tidak pula
mengkhususkannya dengan amalan apapun.
Aktivitas lainnya yang sering dilaksanakan oleh sebagian kaum Muslimin
adalah shalat sunnah yang lazim disebut dengan shalat raghaaib. Ibnu Rajab berkata, “Maka shalat semacam ini yang dikhususkan
pelaksanaannya pada bulan Rajab, tidak benar. Hadits-hadits yang menunjukkan
keutamaan shalat raghaaib pada malam Jumat pertama bulan Rajab adalah
dusta dan batil (tidak shahih). Shalat ini bid'ah menurut mayoritas ulama.”
Fenomena ini pertama muncul setelah abad keempat. Sangatlah logis jika umat
Islam pada generasi awal belum mengetahuinya dan belum membicarakannya.
Ibadah lainnya yang sering dikerjakan pada bulan ini adalah umrah. Tak ada riwayat dari
Rasulullah bahwa beliau melaksanakannya pada bulan ini. Karena itu, tak ada
keutamaan umrah pada bulan Rajab dibandingkan dengan pada bulan-bulan lain
sebagaimana yang dipahami sebagian kaum Muslimin. Riwayat yang benar adalah
beliau melaksanakan umrah empat kali dan seluruhnya dilakukan pada bulan Dzulqa'dah
kecuali umrah yang dilakukannya bersamaan dengan pelaksanaan bulan Dzulhijjah.
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan, “Tak terdapat riwayat shahih yang bisa
dijadikan dalil tentang keutamaan bulan Rajab, baik puasa sempurna di dalamnya
maupun sebagiannya. Begitu pula mengkhususkan malam tertentu untuk melaksanakan
qiyamul-lail.”
Ibnu Hajar dalam kitabnya Tabyinun Ujb
menegaskan, tak ada hadits shahih, hasan dan dha'if yang menerangkan
keutamaan puasa di bulan Rajab. Bahkan beliau meriwayatkan tindakan Umar yang
melarang mengkhususkan bulan Rajab dengan puasa.
Asy-Syaukani menceritakan dalam Nailul Authar,
bahwa Ibnu Subki meriwayatkan dari Muhamad bin Manshur as-Sam'ani yang
mengatakan, tak ada hadits kuat yang menunjukkan sunnahnya puasa Rajab secara khusus.
Disebutkan juga bahwa Ibnu Umar memakruhkan puasa Rajab, sebagaimana Abu Bakar
at-Tarthusi yang mengatakan, puasa Rajab makruh, karena tak ada dalil yang
kuat.
Adapun keutamaan Rajab, dalam masalah shalat dan puasa, hampir semua
haditsnya lemah dan palsu. Antara lain:
Pertama
“Barangsiapa shalat Maghrib di malam pertama bulan Rajab, kemudian shalat
sesudahnya dua puluh rakaat, setiap rakaat membaca al-Fatihah dan al-Ikhlash
serta salam sepuluh kali. Kalian tahu ganjarannya? Sesungguhnya Jibril mengajarkan
kepadaku demikian.” Kami berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.”
Rasulullah saw bersabda, “Allah akan pelihara dirinya, hartanya, keluarga dan
anaknya serta diselamatkan dari azab kubur dan ia akan melewati as-shirath
seperti kilat tanpa dihisab, dan tidak disiksa.”
Hadits ini maudhu’. Ibnul Jauzi mengatakan, “Hadits ini palsu dan
kebanyakan rawinya majhul.” (Lihat:
al-Maudhu’at Ibnul Jauzy, II/123; al-Fawaaidul Majmu’ah fil
Ahaadits Maudhu’ah oleh
as-Syaukany, No 144 dan Tanziihus Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Akhbaaris
Syanii’ah al-Maudhu’at, II/89, oleh Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Araaq
al-Kinani)
Kedua
“Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab dan shalat empat rakaat, di rakaat
pertama membaca ‘ayat Kursi’ 100 kali dan di rakaat kedua baca ’surah
al-Ikhlas’ 100 kali, maka dia tidak mati hingga melihat tempatnya di surga atau
diperlihatkan kepadanya (sebelum ia mati).”
Hadits ini maudhu’. Ibnul
Jauzy menerangkan, “Hadits ini palsu, dan rawi-rawinya majhul (tidak dikenal) serta seorang perawi yang bernama Utsman bin
Atha’ adalah perawi matruk (perawinya
diduga berdusta, atau fasik, atau pelaku bid'ah, red) menurut
para ahli hadits,” (Al-Maudhu’at (II/123-124).
Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany, Utsman bin Atha’ adalah rawi yang
lemah (Lihat: Taqriibut Tahdziib
I/663 No 4518).
Ketiga
“Rajab bulan Allah, Sya’ban bulanku dan Ramadhan adalah bulan umatku.”
Hadits ini maudhu’ (palsu). Syaikh
ash-Shaghani (wafat 650 H) mengatakan, “Hadits ini maudhu’,” (Lihat Maudhu’atush Shaghani (I/61 No 129).
Matan hadits ini panjang, lanjutan hadits itu ada lafaz, “Janganlah kalian
lalai dari (beribadah) pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab, karena malam
itu malaikat menamakannya raghaaib…”. Hadits ini maudhu’. Ibnul
Jauzi mengatakan, “Hadits ini palsu dan yang tertuduh memalsukannya adalah Ibnu
Jahdham. Mereka menuduhnya sebagai pendusta. Aku telah mendengar Syaikh Abdul
Wahhab al-Hafizh berkata, ‘Rawi-rawi hadits tersebut majhul (tidak dikenal). Aku sudah periksa semua kitab, tapi tidak dapati
biografi mereka,” (Al-Maudhu’at (II/125).
Imam adz-Dzahaby menambahkan, Ali bin Abdullah bin Jahdham az-Zahudi, Abul
Hasan Syaikhush Shufiyyah pengarang kitab Bahjatul Asraar dituduh
memalsukan hadits.” Para ulama lain mengatakan, “Dia dituduh membuat hadits
palsu tentang shalat ar-raghaa’ib,” (Mizaan al-I’tidal, III/142-143,
No 5879).
Keempat
“Keutamaan bulan Rajab atas bulan-bulan lainnya seperti
keutamaan al-Qur’an atas semua perkataan. Keutamaan bulan Sya’ban seperti
keutamaanku atas para Nabi, dan keutamaan bulan Ramadhan seperti keutamaan
Allah atas semua hamba.” Hadits ini maudhu’. Al-Hafizh Ibnu Hajar
al-’Asqalany mengatakan, “Hadits ini palsu.” (Lihat al-Mashnu’ fii
Ma’rifatil Haditsil Maudhu’ No 206 hlm 128, oleh Syaikh Ali al-Qary al-Makky).
Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar