Keutamaannya sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya al-Qur’an
yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan
mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi. Ummat Islam yang mengikuti
sunnah Rasulnya tidak memasang tanda-tanda tertentu dan tidak pula menancapkan
anak-anak panah untuk memperingati malam ini (malam Lailatul Qodar/Nuzul
Qur’an, red), akan tetapi mereka bangun di malam harinya dengan penuh iman dan
mengharap pahala dari Allah.
1. Keutamaan
Malam Lailatul Qadar
Cukuplah
untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadar dengan mengetahui
bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan, Allah berfirman: [1] Sesungguhnya Kami telah menurunkannya
(Al Qur’an) pada malam kemuliaan. [2] Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan
itu? [3] Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. [4] Pada malam itu
turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur
segala urusan. [5] Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. [QS
Al Qadar: 1 - 5]
Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan
nan penuh hikmah,
Allah berfirman:
[3]Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu
malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. [4]
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, [5] (yaitu) urusan
yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul,
[6] sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui. [QS Ad
Dukhoon: 3 - 6]
2. Waktunya
Diriwayatkan
dari Nabi saw bahwa malam tersebut terjadi pada malam
tanggal 21, 23, 25, 27, 29 dan akhir malam bulan Ramadhan. (Pendapat-pendapat
yang ada dalam masalah ini berbeda-beda, Imam Al Iraqi telah mengarang satu
risalah khusus diberi judul Syarh Shadr bidzkri Lailatul Qadar, membawakan
perkatan para ulama dalam masalah ini).
Imam Syafi’i
berkata, “Menurut pemahamanku, wallahu a’lam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab sesuai yang ditanyakan, ketika ditanyakan kepada beliau,
“Apakah kami mencarinya di malam hari?”, beliau menjawab, “Carilah di malam
tersebut.”. (Sebagaimana dinukil al Baghawi dalam Syarhus Sunnah 6/388).
Pendapat
yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadr itu pada malam terakhir bulan
Ramadhan, berdasarkan hadits ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, dia berkata: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan dan beliau bersabda, (yang artinya) “Carilah malam Lailatur Qadar di
(malam ganjil) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR Bukhari 4/255
dan Muslim 1169)
Jika
seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari tujuh
hari terakhir, karena riwayat Ibnu Umar (dia berkata): Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Carilah di sepuluh hari terakhir,
jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya.” (HR Bukhari
4/221 dan Muslim 1165).
Ini
menafsirkan sabdanya (yang artinya), “Aku melihat mimpi kalian telah terjadi,
maka barangsiapa ingin mencarinya, carilah pada tujuh hari yang terakhir.”
(Lihat maraji’ diatas).
Telah
diketahui dalam sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para sahabat.
Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam keluar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat
berdebat, beliau bersabda, “Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian
tentang malam Laitul Qadar, tetapi fulan dan fulan (dua orang) berdebat hingga
diangkat tidak bisa lagi diketahui kapan lailatul qadar terjadi), semoga ini
lebih baik bagi kalian, maka carilah pada malam 29, 27, 25 (dan dalam riwayat
lain: tujuh, sembilan, lima).” (HR Bukhari 4/232).
Telah banyak
hadits yang mengisyaratkan bahwa malam Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari
terakhir, yang lainnya menegaskan di malam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits
yang pertama sifatnya umum, sedang hadits kedua adalah khusus, maka riwayat
yang khusus lebih diutamakan daripada yang umum, dan telah banyak hadits yang
lebih menerangkan bahwa malam Lailatul Qadar itu ada pada tujuh hari terakhir
bulan Ramadhan, tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah, tidak ada
masalah. Maka dengan ini, cocoklah hadits-hadits tersebut, tidak saling
bertentangan, bahkan bersatu tidak terpisahkan.
Kesimpulannya,
jika seseorang muslim mencari malam Lailatul Qadar, carilah pada malam ganjil
sepuluh hari terakhir, 21, 23, 25, 27 dan 29. Kalau lemah dan tidak mampu
mencari ppada sepuluh hari terakhir, maka carilah pada malam ganjil tujuh hari
terakhir yaitu 25, 27 dan 29.
Paling
benarnya pendapat lailatul qadr adalah pada tanggal ganjil 10 hari terakhir
pada bulan Ramadhan, yang menunjukkan hal ini adalah hadits Aisyah, ia berkata:
Adalah Rasulullah beri’tikaf pada 10 terakhir pada bulan Ramadhan dan berkata,
“Selidikilah malam lailatul qadr pada tanggal ganjil 10 terakhir bulan
Ramadhan.”
3. Bagaimana
Mencari Malam Lailatul Qadar
Sesungguhnya
malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya,
maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Dan tidaklah
diharamkan kebaikan itu, melainkan (bagi) orang yang diharamkan (untuk
mendapatkannya). Oleh karena itu, dianjurkan bagi muslimin (agar) bersemangat
dalam berbuat ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar
dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahalaNya yang besar, jika (telah)
berbuat demikian (maka) akan diampuni Allah dosa-dosanya yang telah lalu. (HR
Bukhari 4/217 dan Muslim 759).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Barangsiapa berdiri
(shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala
dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari 4/217 dan
Muslim 759)
Disunnahkan
untuk memperbanyak do’a pada malam tersebut. Telah diriwayatkan dari sayyidah
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, (dia) berkata, “Aku bertanya, Ya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam
Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan?” Beliau menjawab,
“Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annii. Ya Allah, Engkau Maha
Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku.” (HR
Tirmidzi (3760), Ibnu Majah (3850), dari Aisyah, sanadnya shahih. Lihat syarahnya
Bughyatul Insan fi Wadhaifi Ramadhan, halaman 55-57, karya ibnu Rajab al
Hanbali).
Keutamaan 10 Akhir Ramadhan
Dari ‘Aisyah
radhiallahu anha dia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bila memasuki sepuluh akhir (dari bulan Ramadhan), beliau mengencangkan
sarung, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya “. (HR. Al-Bukhari
no. 1884 dan Muslim no. 2008)
Dalam lafazh
yang lain:
“Pada sepuluh terakhir bulan Ramadlan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam lebih giat beribadah melebihi hari-hari selainnya.” (HR. Muslim no.
2009)
Ada dua
penafsiran di kalangan ulama mengenai makna ‘mengencangkan sarung’:
a. Ini adalah kiasan dari memperbanyak ibadah,
fokus untuk menjalankannya, dan bersungguh-sungguh di dalamnya.
b. Ini adalah kiasan dari menjauhi berhubungan
dengan wanita. Ini adalah pendapat Sufyan Ats-Tsauri dan yang dirajihkan oleh
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahumallah.
Makna
‘menghidupkan malam’ adalah mengisinya dengan ibadah dibandingkan tidur yang
merupakan saudara dari kematian.
Makna
‘membangunkan keluarga’ adalah mendorong dan memerintah keluarga untuk mengisi
malam-malam itu dengan ibadah.
Pada
dasarnya, membangunkan keluarga untuk shalat malam adalah hal yang disunnahkan.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
“Allah merahmati seseorang
yang bangun malam kemudian shalat lalu membangunkan isterinya, apabila
isterinya menolak, dia akan memercikkan air ke mukanya. Dan Allah merahmati
seorang isteri yang bangun malam lalu shalat, kemudian dia membangunkan
suaminya, apabila suaminya enggan, maka isterinya akan memercikkan air ke muka
suaminya.” (HR. Abu Daud no. 1113, An-Nasai no. 1592, dan Ibnu Majah no. 1326)
Akan tetapi
hal ini lebih disunnahkan lagi di 10 terakhir ramadhan. Karena shalat lail
mengandung banyak keutamaan sehingga tidak pantas bagi seorang muslim atau
keluarganya untuk luput darinya. 10 hari terakhir juga adalah penutup bulan
ramadhan, sementara setiap amalan itu tergantung dengan penutupnya. Sebagaimana
dalam hadits Sahl bin Sa’ad radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi
wasallam bersabda:
“Dan sungguh amalan itu
ditentukan dengan penutupannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6117)
Kemudian,
ibadah yang dianjurkan untuk dilakukan pada 10 hari ini tidak terbatas pada
shalat lail saja, akan tetapi mencakup semua jenis ibadah seperti membaca
Al-Qur`an, berdzikir, berdoa, bersedekah, dan selainnya.
Di antara
keistimewaan 10 hari ini adalah di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik
dari 1000 bulan atau yang dikenal dengan malam al-qadr. Pada malam ini
Al-Qur`an diturunkan, pada malam ini ditetapkan takdir untuk setahun
berikutnya, dan pada malam ini terdapat banyak pengampunan. Allah Ta’ala
berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang
diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu
dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi
kami. Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul.” (QS. Ad-Dukhan: 3-5)
Dari Abu Hurairah
radhiallahu anhu dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadlan
dengan penuh keimanan dan mengharap (pahala dari Allah), maka dosa-dosanya yang
telah lalu akan diampuni. Dan siapa yang menegakkan (shalat pada malam) pada
lailatul Qadr dengan keimanan dan mengharap (pahala dari Allah), maka
dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Al-Bukhari no. 34 dan Muslim
no. 1268)
Karena semua keutamaan inilah, sebagian ulama
berpendapat bahwa 10 terakhir ramadhan itu lebih utama dibandingkan 10 hari
pertama dzulhijjah.
Oleh: Hepi Andi Bastoni
0817-1945-60
@andibastoni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar