Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
Jika seseorang telah memenuhi syarat kemampuan untuk
berangkat haji, tentu sangat diutamakan agar menyegerakan berangkat haji. Namun
muncul perbedaan pendapat di kalangan para ulama, apakah hukum menyegerakan
berangkat haji ini wajib atau dibolehkan baginya menunda keberangkatannya
sampai tahun-tahun mendatang? Para ulama berbeda pandangan dalam hal ini.
1. Harus Segera
Jumhur
ulama di antaranya Mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan A-Hanabilah menegaskan
bahwa ibadah haji langsung wajib dikerjakan begitu seseorang dianggap telah
memenuhi syarat wajib, tidak boleh ditunda-tunda.[1]
Dalam
istilah yang sering dipakai oleh para ulama, kewajiban yang sifatnya seperti
ini disebut dengan al-wujubu ‘ala al- fauri (الوجوب على الفور).
Menunda berangkat haji padahal sudah mampu termasuk
dosa yang harus dihindari menurut pendapat mereka. Jika akhirnya dilaksanakan,
maka hukumnya menjadi haji qadha', namun dosanya menjadi terangkat.
Ada
banyak dalil yang dikemukakan oleh mereka yang mewajibkan, antara lain :
a. Diancam Mati
Sebagai Yahudi atau Nasrani
Orang
yang punya harta dan mampu pergi haji, kalau dia menunda-nunda
keberangkatannya, maka diancam kalau mati bisa mati sebagai Yahudi atau
Nasrani. Hal itu didasarkan pada hadits berikut ini :
مَنْ مَلَكَ زَادًا وَرَاحِلَةً
تُبَلِّغُهُ إِلَى بَيْتِ اللَّهِ وَلَمْ يَحُجَّ فَلاَ عَلَيْهِ أَنْ يَمُوتَ
يَهُودِيًّا أَوْ نَصْرَانِيًّا
Orang
yang punya bekal dan kendaraan yang bisa membawanya melaksanakan ibadah haji ke
Baitullah tapi dia tidak melaksanakannya, maka jangan menyesal kalau mati dalam
keadaan yahudi atau nasrani. (HR. Tirmizy).[2]
b. Berhajilah
Sebelum Tidak Bisa Haji
Ada
sebuah hadits yang dijadikan dasar oleh banyak ulama tentang kewajiban untuk
menyegerakan ibadah haji begitu seseorang sudah mampu, dalam arti sudah
memiliki harta yang cukup, yaitu :
حَجُّوا قَبْلَ أَنْ لاَ تَحُجُّوا
Laksanakan
ibadah haji sebelum kamu tidak bisa haji. (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
Keadaan tidak bisa haji bisa saja dengan sakit,
kematian atau tidak ada keamanan dalam perjalanan haji. Maka mumpung ada jalan,
diwajibkan segera mengerjakannya.
c. Tidak Tahu Apa
Yang Akan Terjadi
Seorang yang sudah mampu dan punya kesempatan, wajib
segera mengerjakan ibadah haji. Alasannya karena kita tidak pernah tahu apa
yang terjadi kemudian, sebagaimana bunyi hadits berikut ini :
تَعَجَّلُوا إِلىَ الحّجِّ يَعْنيِ الفَرِيْضَةِ فَإِنَّ
أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِي مَا يَعْرِضُ لَهُ
Bersegeralah kamu mengerjakan haji yang fardhu, karena
kamu tidak tahu apa yang akan terjadi. (HR. Ahmad)
Banyak orang yang kurang pandai memelihara kekayaan.
Kecenderungan banyak orang akan segera menghabiskan hartanya, kalau tidak
segera dipakai untuk sesuatu yang berarti. Ada orang yang kalau punya harta di
tangannya, terasa amat panas, jadi rasanya ingin segera membelanjakan. Dan
kalau tidak segera berangkat haji, hartanya cepat menguap entah kemana.
Selain itu menurut pendapat ini, menunda pekerjaan
yang memang sudah sanggup dilakukan adalah perbuatan terlarang, sebab khawatir
nanti malah tidak mampu dikerjakan.
2. Boleh Ditunda
Namun sebagian ulama lain menyebutkan bahwa kewajiban
melaksanakan ibadah haji boleh diakhirkan atau ditunda pelaksanaannya sampai
waktu tertentu, meski sesungguhnya telah terpenuhi semua syarat wajib. Istilah
lainnya yang juga sering dipakai untuk menyebutkan hal ini adalah al-wujubu’ala
at-tarakhi (الوجوب
على التراخي).
Kalau segera dikerjakan hukumnya sunnah dan lebih
utama, sedangkan mengakhirkannya asalkan dengan azam (tekad kuat) untuk
melaksanakan haji pada saat tertentu nanti, hukumnya boleh dan tidak berdosa.
Jika sangat tidak yakin apakah nanti masih bisa berangkat
haji, entah karena takut hartanya hilang atau takut nanti terlanjur sakit dan
sebagainya, maka menundanya haram.
Di antara yang berpendapat demikian adalah Mazhab
As-Syafi'iyah serta Imam Muhammad bin al-Hasan.[3]
Dalil yang digunakan oleh pendapat ini bukan dalil
sembarang dalil, namun sebuah dalil yang sulit untuk ditolak.
a. Semua Hadits
di Atas Lemah
Meski hadits-hadits yang disodorkan para ulama
pendukung kewajiban menyegerakan haji itu kelihatan sangat mengancam, namun
jawaban para ulama yang mendukung mazhab ini tidak kalah kuatnya. Mereka bilang
bahwa semua hadits di atas itu tidak ada satu pun yang shahih. Semua hadits itu
bermasalah, sebagiannya ada yang lemah dan sebagian lagi malah hadits palsu.
Maka kita tidak perlu repot dengan dalil-dalil yang
nilai derajat haditsnya masih bermasalah. Karena hadits lemah apalagi palsu,
jelas tidak bisa dijadikan sandaran dalam berdalil.
b. Praktek
Rasulullah saw & 124 ribu Shahabat
Sementara di sisi lain justru Rasulullah saw sendiri yang mencontohkan dan juga diikuti oleh 124
ribu shahabat untuk menunda pelaksanan ibadah haji.
Ayat tentang kewajiban melaksanakan ibadah sudah turun
sejak tahun keenam Hijriyah. Sedangkan beliau saw bersama 124 ribu shahabat baru melakukannya di tahun
kesepuluh Hijriyah.
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ
إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Mengerjakan ibadah haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
Siapa mengingkari, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari semesta alam.(QS. Ali
Imran : 97)
Itu berarti telah terjadi penundaan selama empat
tahun, dan empat tahun itu bukan waktu yang pendek. Padahal Rasulullah saw sejak
peristiwa Fathu Makkah di tahun kedelapan hijriyah
sudah sangat mampu untuk melaksanakannya.
Seandainya orang yang menunda ibadah
haji itu berdosa bahkan diancam akan mati menjadi Yahudi atau Nasrani, tentu
Rasulullah saw dan 124 ribu shahabat beliau adalah orang yang paling berdosa
dan harusnya mati menjadi Yahudi atau Nasrani. Sebab mereka itu menjadi panutan
umat Islam sepanjang zaman.
Namun karena haji bukan ibadah yang sifat kewajibannya
fauri (harus segera dikerjakan), maka beliau SAW mencontohkan langsung
bagaimana haji memang boleh ditunda pelaksanaannya, bahkan sampai empat tahun
lamanya.[4]
Meskipun
demikian penundaan tersebut juga ada alasannya. Misalnya, kesibukan berperang
melawan Yahudi di Khaibar dan Romawi di Mu’tah. Ini berarti, jika ada halangan,
meskipun sudah mampu tidak apa-apa menunda haji.
Namun, halangan yang dimaksud
bukan halangan yang dibuat-buat. Misalnya, tidak mau melaksanakan haji karena
merasa belum shalih. Justru dengan pelaksanaan haji itu, diharapkan keshalihan
seseorang bertambah.
Selain itu, bagi yang
merasa belum mampu, seharusnya tidak boleh putus asa. Ia harus tetap berazzam
untuk melaksanakan haji. Mereka yang melaksanakan haji adalah tamu Allah.
Mereka diundang Allah. Kita berharap termasuk orang yang diundang Allah ke
Tanah Suci.
[2]
Al-Imam At-Tirmizy mengatakan hadits ini gharib dimana beliau tidak mengetahui
hadits ini kecual lewat wajh ini saja. Dalam sanadnya ada kritik. Salah seorang
perawinya, yaitu Hilal bin Abdullah adalah majhul.
[3]
Al-Umm jilid 2 hal. 117-118, Raudhatut-talib jilid 2 hal. 456, Mughni Al-Muhtaj
jilid 1 hal. 460
masalahnya adalah sekarang ini siapa saja yang mau melaksanakan ibadah haji harus menunda / menunggu sampai belasan tahun..karena adanya daftar tunggu,
BalasHapusmaka alangkah baiknya bila yang tidak ditunda-tunda itu adalah bersegera mendaftarkan diri untuk bisa berhaji....Kemampuan itu musti diupayakan....
www.mampuberhaji.com