Shalat
merupakan ibadah yang sangat penting. Begitu pentingnya hingga dalam kondisi
apa pun seseorang harus melaksanakan shalat. Meski dalam keadaan sakit, seorang
Muslim harus wajib melaksanakan shalat dengan cara sesuai kemampuannya. Jika
mampu berdiri, maka ia shalat dengan berdiri. Jika tak mampu berdiri, ia duduk.
Jika tidak mampu duduk, shalat dengan berbaring, dan seterusnya.
Lalu,
bagaimana kalau suatu saat seseorang tertinggal melaksanakan shalat, baik
sengaja maupun tidak. Dalam kondisi ini, sebagian ulama mewajibkan ia mengganti
atau meng-qadha' shalatnya. Yang dimaksud dengan meng-qadha'
shalat adalah melaksanakan shalat di luar waktunya. Hal ini bisa disebabkan
karena beberapa hal. Antara lain: lupa atau tertidur, pingsan dan hilang
ingatan, malas dan sengaja mengundur atau meninggalkan shalat.
A.
Karena Lupa atau Tertidur
Para
ulama sepakat bagi orang yang lupa atau tertidur, wajib meng-qadha'
shalatnya. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah saw, "Apabila seseorang
lupa shalat atau tertidur, maka shalatlah ketika ia ingat (sadar)."
B.
Meninggalkan Shalat dengan Sengaja
Adapun
orang yang meninggalkan dengan sengaja, para ulama berbeda pendapat dengan
rincian sebagai berikut:
1. Menurut
jumhur ulama, ia berdosa dan wajib meng-qadha' shalatnya.
2. Menurut
Imam Ibnu Taimiyah, "Orang yang sengaja meninggalkan shalat, tidak
diperintahkan syara' untuk meng-qadha' shalatnya. Jika ia meng-qadha'nya,
tetap sah namun harus memperbanyak shalat sunnah.
3. Ibnu
Hazm sependapat dengan Ibnu Taimiyah, bahwa orang yang meninggalkan shalat
dengan sengaja tidak perlu meng-qadha' shalatnya. Ia cukup memperbanyak
shalat sunnah dan berbuat kebaikan serta bertaubat kepada Allah. Ibnu Hazm
melandasi pendapatnya dengan firman Allah, "Maka neraka Wail-lah bagi
orang yang meninggalkan shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,"
(QS al-Maun: 4-5). Mereka yang berpendapat seperti ini antara lain: Umar bin
Khaththab, Sa'ad bin Abi Waqqash, Ibnu Umar, Salman al-Farisi, Abdullah bin Mas'u
dan sejumlah shahabat Nabi saw lainnya (Fiqih Sunnah II/299).
4. Imam
Abu Hanifah, Malik dan Syafii berpendapat, ia harus meng-qadha shalatnya
bila waktunya habis. Bahkan, Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat, ia harus
meng-qadha'nya sebelum melaksanakan shalat yang waktunya tiba.
Dalam kitab Fiqih Empat Madzhab karya Imam al-Jaziri
bab 25 Shalat Qadha’ disebutkan: para ulama sepakat (termasuk Imam Hanafi, Imam
Malik, Imam Syafi’i dan lainnya) bahwa barangsiapa ketinggalan shalat fardhu
maka ia wajib menggantinya/meng-qadha'nya. Baik shalat itu
ditinggalkannya dengan sengaja, lupa, tidak tahu maupun karena ketiduran. Rincian
pendapat mazhab tersebut adalah:
Mazhab Syafii berpendapat, meninggalkan shalat
dengan sengaja tanpa uzur, wajib di-qadha' dengan segera,tidak boleh ditunda
kecuali sedang melakukan kewajiban yang lain, seperti mendengarkan khutbah
Jum’at, maka boleh ditunda sampai menyelesaikan kewajiban. Adapun shalat yang
ditinggalkan karena uzur seperti sakit, wajib di-qadha' walaupun tidak
dikerjakan dengan segera.
Mazhab Hanafi berpendapat, shalat yang
ditinggalkan wajib di-qadha' dengan segera, bahkan lebik baik meng-qadha'
shalat daripada menyibukkan diri dengan pekerjaan yang sunah, kecuali
shalat-shalat sunah Rawatib, shalat Dhuha, shalat Tasbih, Tahiyatul Masjid,
boleh dikerjakan namun tidak dapat dijadikan pengganti shalat-shalat wajib yang
ditinggalkan. Hanya saja dengan sebab mengerjakan shalat-shalat sunah yang
disebutkan boleh menunda untuk meng-qadha' shalat yang ditinggalkan.
Mazhab Maliki berpendapat, haram
melakukan shalat-shalat sunat bagi orang yang masih ada shalat wajibnya yang
belum diqadha, terkecuali shalat Tahajjud dan shalat Witir. Adapun shalat
Tarawih bagi orang yang belum meng-qadha' shalatnya yang tinggal, di
satu sisi tetap berpahala dan di sisi lain dia berdosa disebabkan melambatkan qadha'
shalat wajib yang ditinggalkan.
Mazhab Hambali berpendapat bahwa haram hukumnya
melaksanakan shalat sunah sebelum meng-qadha' shalat wajib yang
ditinggalkan. Jika dikerjakan shalat sunah seperti shalat sunah mutlaq maka
hukumnya haram. Adapun shalat sunah Rawatib, Witir boleh dia kerjakan, namun
sebaiknya diutamakan shalat qadha'.
Jadi, dapat disimpulkan, apabila jumlah shalat
yang ditinggalkannya masih memungkinkan bagi dirinya untuk meng-qadha'nya,
maka hendaklah di-qadha'. Namun jika jumlahnya sudah terlalu banyak,
misalnya bertahun-tahun dirinya tidak melaksanakan shalat, sehingga memberatkan
baginya untuk meng-qadha'nya maka cukup baginya untuk bertaubat kepada
Allah dengan taubat nashuha dan tidak mengulangi perbuatannya meninggalkan
shalat di waktu-waktu berikutnya.
C.
Wanita Haidh dan Nifas
Wanita
haid dan nifas tidak wajib meng-qadha' shalatnya walaupun waktunya luas.
Sebab, kewajiban shalat gugur dari
mereka. Jika tidak wajib mengerjakan secara tepat waktu maka tidak wajib pula
mengerjakan secara qadha'. Mereka hanya wajib meng-qadha' puasa.
D.
Orang Gila, Pingsan atau Mabuk
Terdapat
perselisihan pendapat tentang kewajiban qadha' atas orang gila, pingsan
dan orang mabuk.
1. Mazhab
Hanafi: wajib qadha' atas orang yang hilang akalnya karena
benda memabukkan yang diharamkan seperti arak dan lainnya. Sedangkan orang yang
hilang akal karena pingsan atau gila, kewajiban qadha' itu gugur dengan
dua syarat: a). Pingsan atau gilanya itu berlangsung terus sampai lebih lima
kali waktu shalat. Kalau hanya lima kali shalat atau kurang dari itu, maka
wajib qadha'. b). Tidak sadar selama masa pingsan atau gilanya itu pada
waktu shalat. Kalau ia sadar dan belum shalat, maka wajib qadha'
atasnya.
2. Mazhab Maliki:
orang gila dan pingsan wajib qadha'. Sedangkan orang mabuk, apabila
disebabkan barang haram, wajib qadha'. Jika disebabkan barang halal,
seperti minum susu asam lalu mabuk, tidak wajib qadha.
3. Imam
Hambali: orang yang pingsan dan mabuk karena benda haram wajib qadha,
sedangkan orang gila, tidak.
4. Imam
Syafi'i: orang gila tidak wajib qadha apabila gilanya itu
menghabiskan seluruh waktu shalat (dalam satu hari), begitu pula orang pingsan
dan orang mabuk jika pingsan dan mabuknya bukan disebabkan minuman keras yang
diharamkan. Kalau tidak demikian, wajib qadha.
Mereka yang berpendapat bahwa orang pingsan tak perlu meng-qadha'
shalatnya berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar. Suatu saat ia jatuh pingsan dan
ketika sadar ia tidak meng-qadha' shalatnya. Pendapat ini dianut juga
oleh Ibnu Thawus, Imam az-Zuhri, Hasan al-Bashri, dan Muhammad bin Sirin (Lihat:
Fiqih Sunnah I/297-298).
E. Cara Meng-qadha' Shalat
Imam Hanafi
berpendapat, orang yang ketinggalan shalat fardhu, wajib meng-qadha'
sesuai yang ditinggalkannya tanpa mengubah dan menggantinya. Misalnya, seseorang
terhutang shalat sempurna dan hendak meng-qadha'nya padahal ia dalam
perjalanan. Maka, ia meng-qadha'nya dengan sempurna pula. Orang yang
terhutang shalat qashar, dan hendak meng-qadha'nya, padahal ia tidak
dalam perjalanan, maka meng-qadha'nya dengan qashar. Begitu pula dengan
shalat jahr (yang disuarakan dengan keras) atau shalat sirr (yang
disuarakan pelan). Jika ia meng-qadha' shalat Isya’ dan Maghrib di waktu
siang, hendaklah dilakukannya dengan suara jahr, kalau ia meng-qadha'
shalat Zhuhur dan Ashar di waktu malam, maka hendaklah dilakukannya dengan
suara pelan.
Imam Hambali
dan Syafi’i berpendapat, barangsiapa hendak meng-qadha' Shalat
Qashar yang terhutang, kalau berada dalam perjalanan di-qadha' dengan
qashar sebagaimana yang ditinggalkannya. Sedangkan kalau ia tidak dalam
perjalanan, maka shalat qashar itu wajib di qadha dengan sempurna. Ini
berkaitan dengan jumlah rakaat.
Sedangkan
yang berkaitan dengan sirr (suara pelan) dan jahr (suara keras), maka
Imam Syafi’i mengatakan, orang yang meng-qadha' shalat Zhuhur di waktu
malam, ia wajib melakukannya dengan suara jahr (keras), dan orang yang meng-qadha'
shalat Maghrib di waktu siang, ia wajib melakukannya dengan suara pelan.
Adapun
menurut Imam Hambali, bacaan dalam shalat qadha' harus dengan
suara pelan secara mutlak, baik shalat sirr atau jahr, baik di-qadha'nya
pada waktu malam maupun siang, kecuali jika ia imam dan shalat itu jahr,
dan di-qadha nya di waktu malam.
Para
ulama sepakat selain para ulama Syafi’iyah atas wajibnya tertib dalam melakukan
qadha' shalat-shalat yang tertinggal. Shalat yang terdahulu harus di-qadha'
lebih dulu daripada yang belakangan. Kalau ia tertinggal shalat Magrib dan
Isya’, maka ia harus meng-qadha' shalat Maghrib lebih dulu, baru Isya’,
seperti halnya dalam shalat pada waktunya.
Imam Syafi’i
mengatakan: tertib antara shalat yang tertinggal itu hukumnya sunnah,
bukan wajib. Orang yang meng-qadha' shalat Isya lebih dulu, kemudian
baru melakukan shalat Maghrib, shalatnya tetap sah. Wallahu a'lam.
Oleh: Hepi
Andi Bastoni, MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar