Percaya
pada yang gaib merupakan salah satu ciri ketakwaan seorang Mukmin. Tapi
bagaimana mengimani sesuatu yang tak terlihat oleh mata?
Indonesia
pernah mengalami ‘kejayaan’ dalam masalah mistik. Yaitu, saat bangsa kita
dikuasai para raja yang mempunyai ilmu kedigdayaan, ajian ampuh dan senjata
sakti. Ironisnya, di tengah tingginya kesaktian para raja itu, mereka tak
berkutik menghadapi penjajah. Buktinya, selama 350 tahun, bangsa kita dibuat
takluk di bawah ketiak penjajah Belanda. Kesaktian Keris Empu Gandring milik
Ken Arok, Pedang Nagapuspa punya Arya Kamandanu dan Ajian Lampah Lumpuh milik
Brama Kumbara, nyatanya tak bisa diandalkan untuk menghalau penjajah. Ini
menunjukkan bahwa kisah-kisah mistik itu hanya catatan sejarah yang sulit
dibuktikan kenyataannya.
Kini alam
sudah berubah. Namun, kisah-kisah mistik berbau klenik itu tetap saja
mencengkeramkan kukunya. Dalam beragam kegiatan, sebagian masyarakat tak bisa
melepaskan diri dari jeratan mistik. Para orang tua masih banyak yang tak mau
menikahkan anaknya kecuali setelah menghitung hari baik dan buruk. Pembangunan
jembatan, rumah dan gedung, selalu diwarnai sesajian. Kultus individu terhadap
tokoh tertentu—dengan dalih takut kualat—tetap menjadi ciri khas sebagian
masyarakat Muslim Indonesia.
Di tengah berkembangnya
ilmu pengetahuan yang bersifat rasional, tayangan-tayangan mistik di beberapa
televisi justru diminati. Ini menunjukkan bahwa masyarakat kita masih belum
bisa melepaskan diri dari jeratan mistik.
Kita tentu mengkhawatirkan fenomena ini. Sebab,
akibat kebiasaan yang dibarengi dengan keyakinan yang tak ada sama sekali
tuntunannya dalam syariat, bisa jatuh pada kemusyrikan. Sedangkan syirik
sendiri dalam Islam termasuk dosa besar yang tak terampunkan. Allah berfirman,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Allah akan
mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang dikehendaki," (QS
an-Nisa' : 116).
Bicara masalah mistik, kita tak bisa melepaskannya
begitu saja dengan masalah gaib. Keduanya ibarat laut dengan garam yang tak
mungkin dipisahkan. Terkait dengan masalah gaib, ada beberapa kelompok manusia
yang bisa dicermati.
Pertama, mereka yang sama sekali tak
percaya dengan hal gaib. Umumnya, orang-orang seperti ini selalu mengandalkan
akal dan memuja-muja logika. Karenanya, mereka tak mau percaya dengan
keberadaan jin, surga, neraka, malaikat dan hal-hal gaib lainnya. Menurut
mereka, segala sesuatu bisa dinilai dengan akal. Karenanya, tak heran kalau
sebagian dari mereka banyak yang tidak mengakui keberadaan Tuhan lantaran tak
pernah melihat-Nya.
Namun, keyakinan kelompok ini bisa berbalik seratus
delapan puluh derajat ketika akalnya tak mampu mencerna. Sekali saja
mendapatkan sesuatu yang tak bisa
diterima akalnya, ia akan percaya begitu saja dengan hal-hal yang berbau
mistik.
Kedua, mereka yang mempercayai
masalah gaib tanpa batas. Berbeda dengan kelompok pertama, golongan ini justru
selalu mengaitkan segala sesuatu dengan hal-hal gaib. Peristiwa apa pun selalu
dihubungkan dengan mistik. Bahkan, dunia politik yang benar-benar mengedepankan
unsur kemanusiaan dan akal sehat, dikaitkan dengan masalah gaib. Turun dan
naiknya presiden dihubungkan dengan mistik.
Karenanya, dalam melakukan kegiatan, mereka selalu
menghitung hari baik, menggelar sesajian, dan meyakini pantangan-pantangan
tertentu. Kelompok ini terbagi dua. Ada yang melakukannya dengan sadar, seperti
para dukun, peramal, tukang santet dan tukang sihir. Orang-orang seperti ini
benar-benar sadar bahwa mereka sudah diperbudak oleh makhluk gaib atau paling
tidak melakukan kerja sama.
Namun, ada juga yang melakukannya secara tidak
sadar. Misalnya, pada hari-hari tertentu mendatangi makam-makam keramat. Mereka
tidak sadar sudah melakukan tindakan syirik. Atau, mandi air tujuh kembang agar
jabatannya naik. Menyembelih kambing dan menggantungkannya di atap rumah yang
baru dibangun. Semua tindakan ini bisa menjerumus pada perbuatan syirik yang
kadang tak disadari oleh pelakunya.
Ketiga,
mereka yang mempercayai hal gaib sebatas yang diberitahukan Allah melalui
al-Qur’an dan diisyaratkan Rasulullah saw dengan hadits. Kelompok inilah yang
mestinya diikuti kaum Muslimin. Sebagai seorang Muslim, kita harus mempercayai
masalah gaib. Bahkan, Allah SWT menjadikan kepercayaan terhadap hal yang gaib
ini sebagai salah satu dari tanda orang bertakwa. Allah berfirman, “Alim Lam
Mim. Kitab al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang
bertakwa, yaitu mereka yang beriman pada yang gaib,” (QS al-Baqarah: 1-3).
Ibnu Katsir
dalam kitabnya Tafsir al-Qur’an al-Azhim mengutip
ucapan Qatadah bahwa yang dimaksud dengan hal yang gaib dalam ayat di atas
adalah segala hal yang tak dapat dilihat atau dirasakan oleh manusia.
Karenanya, hakikat gaib tak ada yang tahu kecuali Allah SWT. Bahkan, Rasulullah
saw sendiri pun tak mengetahui apa-apa tentang hal gaib kecuali yang
diberitahukan Allah SWT. Dia berfirman, “Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci
semua yang gaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri,” (QS
al-An’am: 59).
Karenanya, jika
ada yang mengaku bisa meramal apa yang akan terjadi di masa mendatang, atau
mengetahui hal-hal gaib, jelas tak bisa dipercaya. Seandainya pun benar, tetap
tak bisa dibenarkan. Aisyah meriwayatkan bahwa suatu ketika para sahabat
bertanya pada Rasulullah saw tentang para dukun. Rasulullah saw bersabda,
“Mereka tidak bisa berbuat apa pun.” Para sahabat bertanya lagi, “Wahai
Rasulullah, mereka kadang-kadang bisa menceritakan sesuatu yang benar kepada
kami?” Rasulullah saw menjawab, “Ucapan mereka itu berasal dari kebenaran yang
dicuri oleh jin, kemudian dibisikkan ke telinga para walinya (dukun). Para
dukun itu mencampurkan kalimat yang benar dengan seratus kedustaan,” (HR
Bukhari Muslim).
Islam
sangat mengecam orang-orang yang suka mendatangi dukun. Dalam sebuah haditsnya
Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mendatangi tukang ramal atau dukun, lalu
mempercayai apa yang dikatakannya, maka sesungguhnya ia telah kafir (ingkar)
dengan wahyu yang diturunkan kepada Muhammad saw,” (HR Bukhari Muslim).
Dalam hadits lain,
Rasulullah saw mempertegas balasan orang yang mendatangi dukun, “Barangsiapa
mendatangi tukang ramal, lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu dan dia
mempercayainya, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari,” (HR
Muslim).
Mungkin
sudah banyak yang meyakini bahwa mendatangi dukun atau peramal, dilarang agama.
Masalahnya, setan selalu punya cara untuk menggelincirkan manusia. Ia bisa
datang lalu membisiki sang dukun untuk berpenampilan seperti kiai, syaikh atau
orang biasa. Dengan demikian, banyak yang terkecoh karena menganggap orang yang
dia datangi bukan dukun. Karenanya, dalam menghadapi beragam pengobatan
alternatif yang kian semarak, umat Islam harus waspada. Kaum Muslimin mesti
bisa membedakan mana dukun dan orang alim.
Sebenarnya,
tak terlalu sulit untuk membedakannya. Lihat saja kehidupan dirinya dan
keluarganya. Jika dalam kesehariannya jauh dari nilai-nilai keislaman, seperti
tidak shalat, terisolir dari masyarakat, sering melakukan hal-hal aneh, maka
orang seperti ini tidak boleh didatangi.
Sebaliknya,
sosok yang hafal al-Qur’an, alumni sebuah lembaga Islam yang bisa
dipertanggungjawabkan, dan hidup dalam lingkungan Islami serta bisa diterima
oleh lingkungannya, layak dijadikan referensi.
Jadi, untuk melihat hal gaib kita tak boleh
menggunakan kaca mata biasa. Kita harus menggunakan kaca mata syariat yang bisa
menembus sekaligus menyaring hal-hal yang melenceng dari Islam.
Oleh : Ust. Hepi
Andi Bastoni
permisi, mantap blognya, sekilas info jika sedang mencari dan ingin memaharkan pusaka dan mustika gaib berkhodam dan bertuah dasyat, silahkan cari dan lihat disini www.mustikapengasih.blogspot.com pin BB 2B2779DF / hp 081 236 015 379 terima kasih
BalasHapus