Mengapa Menikah?
- Nikah termasuk salah satu di antara Sunnah para
Rasul yang paling ditekankan, Allah berfirman:
وَلَقَدْ
أَرْسَلْنَا رُسُلا مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
"Dan sesungguhnya kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu
dan kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan." (QS ar-Ra’d:
38).
وَمِن كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُونَ
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan
supaya kamu mengingat kebesaran
Allah. (QS ad-Dzariyat: 49).- Sebagai sarana penyaluran birahi manusia. Allah ciptakan manusia dengan
menyisipkan hawa nafsu dalam dirinya. Ada kalanya nafsu bereaksi positif
dan ada kalanya negatif. Manusia yang tidak bisa mengendalikan nafsu
birahi dan menempatakannya sesuai wadah yang telah ditentukan, akan sangat
mudah terjebak pada ajang baku syahwat terlarang. Pintu pernikahan adalah
sarana yang tepat nan jitu dalam mewadahi ‘aspirasi’ nulari normal seorang
anak keturunan Adam.
Karena itu, Nabi saw mengajarkan, ketika
seseorang tertarik dengan perempuan, maka hendaklah ia mendatangi istri agar
nafsunya tersalurkan.
فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ امْرَأَةً فَأَعْجَبَتْهُ
فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَاكَ يَرُدُّ مِمَّا فِي نَفْسِهِ
“Jika salah seorang di antara
kalian melihat seorang wanita yang menakjubkannya, hendaklah ia mendatangi
istrinya, karena hal itu akan
mengendalikan nafsunya.” (HR Ahmad).
- Meneguhkan akhlak terpuji. Dengan menikah, dua
anak manusia yang berlawanan jenis tengah berusaha dan selalu berupaya
membentengi serta menjaga harkat dan martabatnya sebagai hamba Allah yang
baik. Akhlak dalam Islam sangatlah penting. Lenyapnya akhlak dari diri
seseorang merupakan lonceng kebinasaan, bukan saja bagi dirinya bahkan
bagi suatu bangsa. Kenyataan yang ada selama ini menujukkkan gejala tidak
baik, ditandai merosotnya moral sebagian kawula muda dalam pergaulan.
- Membangun rumah tangga. Slogan “sakinah,
mawaddah, wa rahmah” tidak akan menjadi kenyataan jika tanpa dilalui
proses menikah. Tidak ada kisah menawan dari insan-insan terdahulu maupun
sekarang hingga mereka sukses mendidik putra-putri dan keturunan bila
tanpa menikah yang diteruskan dengan membangun biduk rumah tangga islami.
5. Memotivasi semangat ibadah. Risalah Islam tegas
memberikan keterangan pada umat manusia, bahwa tidaklah mereka diciptakan oleh
Allah kecuali untuk bersembah sujud, beribadah kepada-Nya. Dengan menikah,
diharapkan pasangan suami-istri saling mengingatkan kesalahan dan kealpaan.
Dengan menikah satu sama lain memberi nasihat untuk menunaikan hak Allah dan
Rasul-Nya.
Lebih dari itu, hubungan
biologis antara laki dan perempuan dalam ikatan suci pernikahan terhitung
sebagai sedekah. Seperti diungkap oleh rasul dalam haditsnya, “Dan
persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah sedekah.” “Wahai
Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia
mendapat pahala?” Rasulullah menjawab, “Tahukah engkau jika
seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa, demikian pula jika
ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala.”
(HR. Muslim).
6. Melahirkan
keturunan yang baik. Hikmah menikah adalah melahirkan anak-anak yang salih,
berkualitas iman dan takwanya, cerdas secara spiritual, emosional, maupun
intelektual. Dengan menikah, orangtua bertanggung jawab dalam mendidik
anak-anaknya sebagai generasi yang bertakwa dan beriman kepada Allah. Tanpa
pendidikan yang baik tentulah tak akan mampu melahikan generasi yang baik pula.
- Menjaga generasi. Tak hanya untuk memperbanyak
generasi saja, namun tujuan dari adanya kelangsungan generasi tersebut
adalah tetap tegaknya generasi yang akan membela syariat Allah,
meninggikan dienul Islam, memakmurkan alam dan memperbaiki bumi.
- Membangun jalinan kekeluargaan. Inilah di antara
hikmah kalau kita lihat hubungan antara Nabi saw dan empat Khulafaur
Rasyidun. Keempat sahabat beliau
itu adalah keluarga Nabi saw. Abu Bakar dan Umar adalah mertua Nabi saw.
Sedangka Utsman dan Ali bin Abi Thalib merupakan menantu beliau.
Hukum Menikah
- Wajib
Bagi yang mampu dan takut dirinya terjatuh ke dalam perbuatan keji,
maka nikah wajib hukumnya, karena zina dan segala sesuatu yang mendorong
seseorang kepada perbuatan tersebut adalah haram. Orang yang takut dirinya akan
terjerumus kepada perbuatan zina, maka ia harus mengantisipasinya. Dan apabila
hal itu tidak dapat tercapai kecuali dengan menikah, maka wajib baginya untuk
menikah. (As-Sailul Jarraar, Imam asy-Syaukani II/243).
- Sunnah
Adapun bagi yang nafsunya sudah bergejolak dan mampu menikah tapi masih
bisa menjaga dirinya dari perbuatan zina, maka menikah hukumnya sunnah. Ia
lebih baik menikah daripada menenggelamkan dirinya dalam ibadah. Ibnu Abbas
mengatakan, “Ibadah seseorang belum sempurna sebelum ia menikah.”
- Haram
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram
untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak
mampu melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang
sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat fisik lainnya yang secara
umum tidak akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan
dibolehkan menikah, haruslah sejak awal berterus terang atas kondisinya itu dan
harus ada persetujuan dari calon pasangannya.
Seperti orang yang terkena penyakit menular yang bila dia menikah
dengan seseorng akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka
hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya
dan siap menerima resikonya.
Selain dua hal di atas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang
mengharamkan untuk menikah. Misalnya, muslimah yang menikah dengan laki-laki
yang berlainan agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk
menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita
yang berada dalam masa iddah.
Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain seperti pernikahan yang
tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi
(menurut sebagian ulama). Atau menikah dengan niat untuk mentalak, sehingga
menjadi nikah untuk sementara waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak atau
nikah mut’ah.
- Makruh
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna
kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila
calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka
masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah.
Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami,
melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami. Maka pernikahan itu makruh
hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi bila kondisi
demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami, maka
tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.
- Mubah
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang
mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk
menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan
untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk
mengakhirkannya. Pada kondisi
tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah baginya adalah mubah.
Namun secara umum, dimakruhkan tidak menikah tanpa alasan, sebagaimana
disebutkan dalam satu hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik: “Ada tiga laki-laki datang ke rumah istri
Nabi saw dan menanyakan tentang ibadah beliau. Setelah diceritakan kepada
mereka, maka mereka merasa bahwa ibadah mereka itu sedikit. Kemudian mereka
berkata, “Di manakah posisi kami dibanding Rasulullah saw sedangkan beliau
telah diampuni segala dosanya, baik yang telah lalu maupun yang akan datang.
Maka salah seorang di antara mereka berkata, ‘Aku akan shalat malam selamanya.’
Seorang lagi berkata, ‘Aku akan berpuasa sepanjang tahun tanpa berbuka,’ dan
yang lain berkata, ‘Aku akan menghindari wanita dan tidak akan menikah
selamanya.’ Kemudian Nabi saw bersabda,
أَنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا؟ أَمَّا
وَاللهِ إِنِّى َلأَخْشَاكُمْ ِللهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، وَلَكِنِّى أَصُوْمُ
وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ
سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى
‘Kaliankah yang telah berkata begini dan begitu? Demi Allah,
sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan bertakwa kepada Allah
daripada kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur serta
menikahi wanita. Barangsiapa membenci Sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.’”
(Muttafaqun ‘alaihi).
Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar