Memberi Pinjaman pada Allah

Oleh : Hepi Andi Bastoni
IG : @HepiAndiBastoni

Wajah Abu Darda’ tampak serius. Sahabat Rasulullah saw yang bernama asli Umair bin Malik dari suku Khazraj ini bergegas ke rumah Rasulullah saw. Gejolak pertanyaan menggemuruh di dadanya. Ia tak mau menunggu waktu lama dan ingin segera ‘mengklarifikasi’ ayat yang baru saja turun. Ayat itu berbunyi, “Jika kamu meminjamkan pada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan (pembalasannya) kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa Lagi Maha Penyantun,” (QS ath-Thagabun: 17).

 Di hadapan Rasulullah saw, Abu Darda’ bertanya. Bukan karena keraguan atas kemahapengasihan Allah, tapi untuk memantapkan keyakinannya. Hal ini pernah dilakukan Nabi Ibrahim ketika ia meminta agar Allah memperlihatkan padanya bagaimana menghidupkan sesuatu yang sudah mati.

“Wahai Rasulullah, benarkah Allah akan melipat gandakan pahala pemberian hamba-Nya?” tanya Abu Darda’.

Rasululullah saw pun membenarkan. Seketika itu juga, Abu Darda’ bergegas kembali ke rumahnya, dan menginfakkan kebun yang ia miliki.

Kedermawanan para sahabat Rasululllah saw tak mungkin disangsikan. Merekalah teladan dalam memberi. Mereka terdepan dalam berinfak.

Dalam perang Tabuk, Utsman bin Affan yang tengah bersiap dengan kafilah dagangnya menuju Syam dan membawa 200 unta lengkap dengan barang dagangan, diserahkan untuk biaya perang. Setelah itu ia juga menambahkan 100 unta dengan pelana dan perlengkapannya serta 1000 dinar uang. Bahkan, dalam ar-Rahiqul Makhtum-nya, Syaikh Shafiyur Rahman al-Mubarakfuri menyebutkan jumlah dana yang diinfakkan Utsman dalam perang Tabuk mencapai 900 unta dan 100 kuda. Jumlah itu belum termasuk uang.

Para sahabat memang benar-benar berlomba. Abdurahman bin Auf menyerahkan 200 uqiyah perak untuk membiayai perang Tabuk. Umar menyerahkan setengah hartanya. Bahkan, Abu Bakar ash-Shiddiq menyerahkan seluruh hartanya. Para wanita pun tak mau ketinggalan. Mereka bersedia melepaskan perhiasan yang mereka kenakan.

Semua itu dilakukan karena mereka tahu apa yang diberikan takkan sia-sia. Para sahabat itu benar-benar memahami, apa pun yang mereka berikan takkan hilang. Mereka mengetahui pahala yang akan diterima.

Allah SWT memberikan sarana duniawi ini secara gratis. Kita bisa menghirup udara dengan bebas tanpa harus membayar sepeser pun. Kita bisa menikmati alam ini semau kita. Beragam tumbuhan dan hewan tunduk di bawah tidak manusia. Semua fasilitas itu diberikan pada kita, hamba-Nya tanpa pamrih. Benar-benar gratis.

Surah ath-Thagabun ayat 17 di atas kembali menunjukkan kemahapemurahan Allah. Dalam ayat tersebut Allah menyebut segala hal yang diinfakkan hamba-Nya sebagai qardhan (pinjaman). Jadi, ketika kita berinfak sebenarnya kita sedang memberikan pinjaman pada Allah. Dan pinjaman itu akan dikembalikan dengan pengembalian yang berlipat ganda. Allah mengibaratkan pemberian hamba-Nya itu seperti biji tanaman yang tumbuh, berbunga, dan menghasilkan buah yang banyak. Ia ibarat tabungan dengan bagi hasil berlipat ganda.

Allah berfirman, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunian-Nya) lagi Maha Mengetahui,” (QS al-Baqarah: 261).

 Dalam redaksi lain Allah menyebut pemberian hamba-Nya itu dengan penjualan. Kita penjual dan Allah yang membeli. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga bagi mereka,” (QS at-Taubah: 111).

Tentu saja, segala bentuk pemberian kita akan disebut barang layak jual  atau pinjaman layak untuk dikembalikan, jika memenuhi syarat. Ibarat harta perdagangan, ia akan bisa dijual kalau keadaannya baik, tidak rusak dan tak ada cacat. Ia harus utuh. Syarat agar perniagaan itu tetap utuh, tidak sesulit menjaga harta dagangan yang sebenarnya. Syarat itu adalah keikhlasan.

Karenanya, ketika menjelaskan tentang besarnya ganjaran pahala yang akan diberikan pada hamba-Nya yang berinfak, Allah mengiringi firman-Nya dengan penggambaran yang begitu indah tentang pemberian yang tidak ikhlas. Allah mengibaratkan orang-orang yang memberikan hartanya dengan riya’ seperti batu licin yang di atasnya ada tanah. Batu itu ditimpah hujan lebat sehingga tak tersisa sedikit pun tanah di atasnya. Begitulah perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya dengan tidak ikhlas.

Sedangkan perumpamaan orang yang membelanjakan hartanya karena mencari ridha Allah seperti kebun di atas dataran tinggi yang disirami hujan lebat. Kebun itu akan menghasilkan buah-buahan yang dua kali lipat dari asalnya. Seandainya tak ada hujan lebat, gerimis pun sudah cukup untuk menyirami kebun itu (QS al-Baqarah: 264-265).

Musibah tsunami yang melanda Aceh dan sekitarnya, memberikan hikmah tersendiri. Kita diberikan peluang untuk menabung pahala sebanyak-banyaknya. Tabungan kita itu akan dikembalikan bersama dengan “bagi hasil” yang berlipat ganda.

Musibah di Aceh menyadarkan kita untuk segera melakukan perniagaan. Hari-hari ini Allah sedang membuka dirinya untuk “memborong” harta hamba-Nya untuk dibeli dengan harga yang tak mungkin satu orang pun menyamainya.

Utsman bin Affan pernah melelangkan hartanya. Meski sudah banyak yang menawar dengan harga mahal, tapi Utsman tetap tidak menjualnya. Ia menjualnya pada Allah dengan harga yang tak mungkin dikalah seorang pun. Ia menginfakkan hartanya itu di jalan Allah.

Kita membantu rakyat Aceh, bukan hanya karena leluhur Tanah Rencong ini telah memberikan sumbangannya untuk Indonesia. Bukan karena rakyat negeri ini pernah menyirami buminya dengan darah syuhada untuk mengusir penjajah. Bukan juga karena rakyat Aceh pernah memberikan dua pesawat terbang dan 500.000 dolar AS. Bukan juga karena kita bersaudara seiman dengan rakyat Aceh. Karena hal itu memang sudah kewajiban bagi kita.

Kita membantu mereka untuk menyelamatkan sebuah generasi yang terancam identitasnya. Kita sedang berlomba. Bukan hanya berlomba dengan sesama Muslim untuk mengumpulkan pahala. Tapi berlomba melawan orang-orang kafir yang sedang mengarahkan cengkeramannya pada generasi Aceh.