Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
Hukum puasa
Asyura mulanya wajib.
Setelah
turun perintah puasa Ramadhan,
hukumnya
sunnah muakkadah.
Fajar 1435 H segera menyingsing. Tahun baru kembali
menyapa kita. Satu tahun berlalu. Satu tahun usia kehidupan kita bertambah.
Satu tahun juga jatah hidup kita berkurang.
Betapa indahnya kalau kita bisa mengawali tahun baru
Hijriyah ini dengan serangkaian amal shalih. Bulan Muharam yang menandai awal
tahun hijriyah disebut sebagai syahrullah (bulan Allah). Ibnu Rajab
al-Hanbali mengatakan, Muharam disebut dengan syahrullah lantaran memiliki
dua hikmah. Pertama, untuk menunjukkan keutamaan dan kemuliaan bulan
Muharam. Kedua, untuk menunjukkan otoritas Allah dalam mengharamkan
bulan Muharam. Pengharaman bulan ini untuk perang adalah mutlak hak Allah, tak
seorang pun selain-Nya berhak mengubah keharaman dan kemuliaan bulan Muharam.
Di samping itu, bulan Muharam juga memiliki banyak
keutamaan. Salah satunya sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Puasa yang paling
utama setelah puasa Ramadan adalah puasa pada bulan Muharam, sedangkan shalat
yang paling afdhal sesudah shalat fardhu adalah shalat malam," (HR
Muslim II/2611).
Berpuasa
pada bulan Muharam yang sangat dianjurkan adalah pada hari kesepuluh, yang
lebih dikenal dengan istilah Asyura. Ketika ditanya tentang puasa
Asyura, Aisyah menjawab, "Aku tak pernah melihat Rasulullah saw berpuasa
pada suatu hari yang beliau betul-betul mengharapkan keutamaan pada hari itu
atas hari-hari lainnya, kecuali puasa pada hari kesepuluh Muharam," (HR
Muslim).
Begitu
besar keutamaan berpuasa di hari Asyura, sehingga pada zaman Rasulullah, orang-orang
Yahudi juga mengerjakan puasa ini. Mereka mewarisi kebiasaan itu dari Nabi
Musa. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ketika tiba di Madinah, Rasulullah saw melihat
orang-orang Yahudi berpuasa. Rasulullah saw bertanya, "Hari apa ini?
Mengapa kalian berpuasa?" Mereka menjawab, "Ini hari Nabi Shalih,
hari ini Allah menyelamatkan Musa dan Bani Israil dari kejaran musuhnya (Fir'aun).
Maka, Nabi Musa pun berpuasa.” Lalu Nabi saw bersabda, “Saya di antara kalian
jauh lebih berhak daripada Musa.” Maka, beliau pun berpuasa Asyura. (HR
Muttafaqqun ‘alaih).
Tidak hanya berpuasa, orang-orang Yahudi juga
menjadikan Asyura sebagai hari besar yang mereka rayakan. Abu Musa al-Asy’ari
juga meriwayatkan, Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi.
Mereka menjadikannya sebagai Hari Raya. Maka, Nabi saw bersabda, “Hendaklah
kalian berpuasa (Asyura),” (HR Muttafaqqun ‘alaih).
Keutamaan puasa Asyura juga diriwayatkan oleh Abu
Qatadah. Ia berkata, Rasulullah saw bersabda, "Puasa Asyura menghapus dosa
satu tahun, sedangkan puasa Arafah menghapus dosa dua tahun," (HR
Muslim, Tirmidzi dan Abu Daud).
Abu Qatadah juga meriwayatkan bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Aku berdoa pada Allah bahwa puasa pada hari Asyura dapat menebus
dosa tahun yang lalu," (HR Imam Muslim, al-Jami'-Us-Sahih II/2602).
Dalam riwayat lain disebutkan, ketika ditanya tentang puasa Asyura, beliau
menjawab, “Ia menghapuskan dosa tahun yang lalu," (HR Muslim 1162,
Ahmad 5/296, 297).
Begitu besar keutamaan puasa ini, sehingga Ibnu Abbas
menyatakan, "Saya tak pernah melihat Rasulullah saw berpuasa pada suatu
hari karena ingin mengejar keutamaannya selain hari ini (Asyura) dan tidak pada
suatu bulan selain bulan ini (Ramadhan)," (HR al-Bukhari 2006, Muslim
1132).
Bahkan,
awalnya hukum berpuasa Asyura itu wajib. Namun, setelah turun perintah puasa
Ramadhan, hukumnya sunnah muakkadah. Aisyah berkata, "Rasulullah saw
memerintahkan untuk puasa Asyura sebelum turunnya perintah puasa Ramadan.
Ketika puasa Ramadan diperintahkan, Nabi saw bersabda, ‘Siapa yang ingin, boleh
puasa Asyura dan yang tidak ingin boleh tidak berpuasa Asyura," (HR
Bukhari, Muslim, Tirmidzi).
Selain pada tanggal 10 Muharam, keutamaan bulan
ini ada juga pada sehari sebelum dan setelahnya. Ibnu Abbas menyebutkan,
Rasulullah saw melakukan puasa Asyura dan beliau memerintahkan para sahabat
untuk berpuasa. Para sahabat berkata, “Ini adalah hari yang dimuliakan orang
Yahudi dan Nasrani.” Maka Rasulullah saw
bersabda, "Tahun depan insya Allah kita juga akan berpuasa pada
tanggal sembilan Muharam," (HR Muslim 1134). Namun, pada tahun
berikutnya Rasulullah saw wafat.
Dalam lafazh hadits sejenis, Nabi saw bersabda, “Kalau
usiaku sampai tahun depan, insya Allah saya akan berpuasa juga pada tanggal
sembilan (Muharam),” (HR Muslim dan Ahmad). Tanggal sembilan Muharam ini
disebut dengan Tasu’a.
Berdasarkan hadits ini, disunahkan bagi umat Islam
untuk berpuasa juga pada sembilan dan atau sebelas Muharam. Sebagian ulama
mengatakan, sebaiknya puasa selama tiga hari: 9, 10 dan 11 Muharam. Dari Ibnu
Abbas, Rasulullah saw bersabda,
"Puasalah pada hari Asyura dan berbedalah dengan orang Yahudi. Puasalah
sehari sebelum Asyura dan sehari sesudahnya,” (HR Ahmad).
Para ulama sebagaimana dikutip Sayyid Sabiq dalam Fiqhus
Sunnah-nya (Juz I/595) menyebutkan tiga tingkatan bagi puasa Asyura.
Tingkatan pertama, berpuasa tiga hari, yakni tanggal 9, 10 dan 11 Muharam.
Tingkatan kedua, berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharam. Tingkatan ketiga,
berpuasa pada tanggal 10 Muharam saja.
Muhammad bin Sirin, seorang tabiin, melaksanakan
hal ini dengan alasan kehati-hatian. Sebab, boleh jadi manusia salah dalam
menetapkan awal Muharam. Boleh jadi yang kita kira tanggal sembilan, namun
sebenarnya sudah tanggal sepuluh (Majmuu' Syarhul Muhadzdzab VI/406).
Selain itu, pada tanggal 10 Muharam kita juga
dianjurkan untuk saling berbagi dan melapangkan rezeki. Dari Jabir bin Abdillah
bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang melapangkan untuk dirinya dan
keluarganya pada hari Asyura, niscaya Allah akan melapangkan baginya sepanjang
tahun,” (HR al-Baihaqi dan Ibnu Abdil Barr).
Memang, hadits semakna dengan ini diriwayatkan
dari banyak jalur, tapi semuanya dhaif. Hanya saja jika digabungkan satu
sama lain, kedudukannya menjadi kuat. Demikian menurut pendapat Imam
asy-Syakhawi (Fiqih Sunnah I/596).
Dengan demikian, sah-sah saja kita memanfaatkan hari
Asyura sebagai momentum hari berbagi satu sama lain, khususnya sesama anggota
keluarga. Seorang ayah, misalnya bisa memberikan hadiah kepada istri dan
anaknya, atau sebaliknya. Anggota keluarga juga bisa saling memberi kado, makan
bersama di luar rumah atau aktivitas lainnya yang bisa menambah manfaat bagi
keutuhan rumah tangga. Wallahu a’lam. || @andibastoni || 0817-1945-60
sumber : http://mujtamaonline.com/seputar-puasa-asyura/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar