iklan Buku Fiqih Demokrasi |
KATA
PENGANTAR
Kajian dan
diskursus seputar islam dan politik bukanlah barang baru. Imam Al Mawardi misalnya menulis Al Ahkam
Al Sulthoniyah, buku politik klasik legendaris yang jadi rujukan
dari masa ke masa. Di masa kontemporer, muncul kitab Khilafah walmulk karangan
Allamah Syeikh Abul A’la Al Maududi, seorang pemikir islam Pakistan. Diantara bahasan yang disorot Maududi maupun
para ulama lain yang hidup sezaman maupun sesudahnya adalah tentang
demokrasi. Hal ini wajar mengingat
mereka hidup di dua fase sejarah umat islam yang paling dramatis.
Pertama fase negeri-negeri islam
memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan barat dari awal abad 20 hingga pertengahan . Kedua,
fase dimana negeri-negeri islam memilih sistem politik dan kekuasaan yang akan
diterapkan setelah lepas dari penjajahan
barat usai Perang Dunia kedua hingga
tahun 60-an.
Buku karangan
ustadz Rapung Samudin yang berjudul “Fiqih Demokrasi: Menguak Kekeliruan
Pandangan Haramnya Umat Terlibat Pemilu dan Politik” juga hadir dari situasi
aktual, ketika umat islam Indonesia dihadapkan pada realitas dimana kekuasaan
politik baik ditingkat nasional maupun
lokal dicapai melalui jalan demokrasi. Lebih jelasnya pemilu. Dari pemilu legislatif maupun
atas pemilihan presiden yang berjalan serentak secara nasional sampai
Pilkada(Pemilihan Kepala Daerah) di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Situasi ini
memunculkan perdebatan tajam di sejumlah kalangan umat. Mayoritas umat islam memandang jalan
demokrasi – baca pemilu- betapapun secara finansial teramat boros dan secara kualitatif tidak jelas hasilnya,
sebagai peluang dan kesempatan untuk
menapaki jalan kekuasaan. Dengan kekuasaan yang mungkin diiraih, maka
pelaksanaan agenda umat islam diharapkan menjadi lebih mudah dan nyata.
Sementara di
sisi lain ada sekelompok orang yang menolak
demokrasi. Khususnya pemilu. Penolakan
itu ada yang bersifat situasional dan
temporal lantaran melihat praktik
politik yang sarat kecurangan, money politik
maupun korupsi yang semakin menggurita. Namun ada juga penolakan ekstrim yang mengharamkan sama sekali umat islam terlibat dalam politik dan
demokrasi (pemilu). Bahkan walau sekadar melaksanakan hak pilih. Kelompok ini
secara atraktif dengan lantang menyatakan penolakannya dengan pendekatan hitam putih sembari menggunakan dalil-dalil agama yang sakral. Akibatnya, masyarakat awam menjadi
bingung dan khawatir salah langkah.
Di titik inilah
buku karya Ustadz Rapung Samudin ini menjadi penting. Buku ini menerangkan dengan sangat jelas dan rinci tentang boleh tidaknya umat islam terlibat politik dan demokrasi
(baca pemilu) berdasarkan nash al qurán , hadits shahih, sirah nabawiyah, sirah
sahabat serta qaidah-qaidah ushul fiqih. Membaca buku ini kita jadi memahami betapa
fiqih islam itu amat luwes dan
fleksibel namun tetap terjaga kejelasan dan ketegasannya. Dengan begitu,
umat islam dapat bersikap dengan benar
dan tetap menghadapi realitas sosial politik yang terjadi.
Namun demikian,
tidak berarti buku ini sepi dari kritik. Menurut saya, kekurangan yang paling kentara dari buku ini adalah
miskinnya uraian dan analisis situasi politik demokrasi terkini, baik dalam
skala global maupun nasional. Misalnya, pertanyaan jika demokrasi merupakan jalan terbaik membangun Civil Society
(masyarakat madani), mengapa Bangladesh, yang berpuluh tahun melaksanakan
demokrasi tak kunjung maju. Yang kerap muncul justru laporan kemiskinan serta
bencana yang tak kunjung henti. Belum lagi konflik horizontal bersifat sektarian yang terjadi silih berganti. Keadaan yang
lebih kurang sama juga terjadi di banyak negara di dunia, khususnya di Asia,
Afrika dan Amerika Selatan/Tengah. yang memilih jalan demokrasi.
Sementara di
sisi laIn, banyak negara yang memilih jalan non demokrasi- untuk tidak menyebut
otoriter –seperti Singapura, Brunai,
Emirat, China dan lain-lain justru sebaliknya. China misalnya, tumbuh sebagai
negara kuat yang merangsek naik ke peringkat
lima besar ekonomi dunia. Sementara Singapura, Emirat, Brunai sedikit diantara sejumlah negara yang kaya
raya dan berpendapatan tinggi.
Pertanyaan yang
sama juga bisa ditolehkan kepada kita di
Indonesia. Mengapa negeri gemah ripah
loh jinawi ratna mutu manikam ini tak kunjung bergerak naik, meski telah mengadopsi total jalan demokrasi . Malahan sebaliknya, jalan demokrasi habis-habisan
yang ditempuh paska reformasi 15 tahun
lalu itu justru membawa Indonesia kepada
gurita korupsi yang tak jelas ujung
pangkalnya dan kesenjangan kaya miskin yang semakin lebar.
Menurut hemat
saya, demokrasi sebagai anak kandung
peradaban barat yang berdasarkan
liberalisme materialisme, memang tidak bisa dicomot mentah-mentah. Demokrasi dengan mantra utamanya One Man One Vote membutuhkan beberapa prasyarat agar menjadi jalan membangun Civil
Society. Yaitu sistem sosial politik yang stabil, tingkat pendidikan masyarakat
cukup tinggi dan pendapatan ekonomi penduduknya yang lumayan tinggi.
Dengan begitu pembodohan rakyat yang
kerap mewarnai kampanye dan money politic tak punya tempat leluasa. Tanpa ketiga pilar terebut, jalan demokrasi yang diambil banyak negara di dunia cenderung
membawa pada merebaknya korupsi,
maraknya konflik horizontal dan berkecambahnya oligarki kekuasaan yang biasa disebut politik dinasti.
Jika saja
penulis buku ini mengurai dan menganalisis hal hal tersebut diatas, niscaya
buku ini menjadi lebih menarik dan kaya
gagasan dan solusi. Namun demikian, buku ini tetap menarik dan penting dibaca
oleh umat islam untuk menyikapi perkembangan sosial politik yang terjadi.
Terlebih lagi para aktivis dan penggiat
dakwah.
M.Zainal
Muttaqin
(Penggiat
dakwah, aktivis sosial, mantan pemimpin redaksi majalah Sabili dan Gozian).
dimana belli bukunyaaa
BalasHapusSilakan hubungi 08170194560
Hapus