Rabu, 03 April 2013

Saatnya Introspeksi Diri




Kita lemah. Rentan dari godaan setan. Kita harus memuhasabah diri lalu merancang hari esok agar lebih baik dari sekarang.

           
Bagi seorang Muslim, berlalunya waktu hendaknya tak lewat begitu saja. Ia harus menjadi momen untuk mengoreksi diri. “Hisablah diri kamu sebelum dihisab pada hari kiamat,” pesan Umar bin Khaththab suatu ketika.
Muhasabah (introspeksi diri) perlu dilakukan bukan semata untuk mengingat dosa-dosa yang sudah dilakukan. Tapi juga untuk merancang masa depan agar menjadi lebih baik dan bermakna. Inilah yang Allah maksudkan dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (QS al-Hasyr: 18).

            Ayat tersebut merupakan peringatan sekaligus bimbingan Allah SWT agar kita melakukan muhasabah atau introspeksi diri. Kita diminta untuk merenungi apa yang telah kita perbuat dan menilai sejauh mana amal yang telah kita kerjakan untuk persiapan sebagai bekal di akhirat.
            Setiap Muslim seharusnya selalu mengingat ayat tersebut dan merenunginya dengan sepenuh hati, untuk memahami realitas diri. Bagaimanapun, kehidupan akhirat bagi seorang Muslim lebih penting ketimbang kehidupan dunia. Dunia ini bersifat fana, sedangkan kehidupan akhirat abadi. Allah SWT mengingatkan, "Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal,” (QS al-A’la: 17).
            Dengan atau tanpa sadar, kita harus senantiasa mawas dan menjaga diri. Mungkin selama ini kita sering terbuai dengan kehidupan dunia. Waktu kita habiskan untuk memikirkan dan mengejar kesenangan dunia sehingga mengabaikan persiapan dan bekal kehidupan akhirat.
            Surat al-Hasyr ayat 18 merupakan perintah agar kita sering mengevaluasi amal kita: sejauh mana kemusliman telah ditunjukkan, sejauh mana keimanan telah dibuktikan di hadapan Allah SWT, dan sejauh mana bekal berupa amal shalih telah kita kumpulkan untuk kehidupan akhirat kelak.
            Kehidupan dunia merupakan ujian dari Allah SWT bagi manusia. Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya,” (QS al-Kahfi: 7).
Dalam ayat lain Allah berfirman, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani. Kemudian tanaman itu menjad kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu,” (QS al-Hadid: 20).
            Dalam menjalani kehidupan di dunia ini kita bergelut dan berpacu dengan waktu. Bagi seorang Muslim, waktu sangat penting berarti. Dalam surat a-'Ashr Allah SWT bersumpah dengan waktu. Hal itu menunjukkan betapa kita harus mempergunakan waktu hidup di dunia ini untuk beriman dan beramal shalih. Dalam ayat tersebut dinyatakan, semua manusia akan merugi kecuali mereka yang beriman dan beramal shalih, serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.
Surah al-Hasyr ayat 18 di atas termasuk salah satu ayat yang sangat populer dalam kaitannya dengan waktu. Dalam ayat tersebut terkandung tiga dimensi waktu sekaligus, yaitu masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Selain itu, ada beberapa hal yang Allah SWT perintahkan. Pertama, seruan kepada orang beriman agar bertakwa. Orang yang mengaku beriman kepada Allah tapi tidak melaksanakan kewajibannya, ia tak termasuk golongan orang bertakwa. Dari sini para ulama mendefinisikan takwa sebagai kemampuan dalam melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi semua yang dilarangnya.
Melalui ayat ini, Allah SWT mengingatkan kita agar mampu mengaplikasikan nilai-nilai keimanan tersebut dalam kehidupan, sehingga kita termasuk orang bertakwa.
            Kedua, perintah untuk mengingat, mengevaluasi, dan menghitung amal yang telah kita lakukan untuk hari esok. Kenyataannya, melihat dan mengoreksi kekurangan diri jauh lebih sulit daripada melihat dan mengoreksi kekurangan orang lain. Inilah yang seringkali menggelincirkan manusia pada jurang kehancuran dan permusuhan. Tak heran bila Allah SWT memerintahkan kita untuk terus menghisab diri dan melarang kita untuk menghisab kesalahan orang lain. Semakin intens menghisab diri, maka kita akan semakin tahu kekurangan diri. Dengan semakin tahu kekurangan diri, maka akan semakin mudah pula kita memperbaikinya.
Di luar kemampuan dalam menghisab diri ada hal lain yang lebih penting, yaitu kemampuan menjaga konsistensi aktivitas muhasabah tersebut. Karena itu, dalam akhir ayat di atas diungkapkan bahwa bila kita melakukan kesalahan setelah menghisab diri, maka ingatlah bahwa Allah Mengetahui semua yang kita kerjakan.
Rasulullah SAW mengingatkan betapa pentingnya muhasabah ini. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, beliau mengibaratkan orang yang konsisten menghisab diri sebagai orang yang paling pandai. Rasulullah saw bersabda, ''Orang yang pandai itu adalah orang yang mampu mengendalikan nafsunya, dan ia senantiasa beramal untuk kelak setelah kematiannya.'' Selanjutnya, Rasulullah mengatakan bahwa orang yang bodoh adalah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya, dan ia selalu berharap kepada Allah tanpa banyak berbuat, tanpa menyadari, dan bertaubat atas dosa-dosanya.
Sungguh tak terbayangkan, betapa sulitnya bila kita harus menghadapi proses hisab di hadapan Allah. Saat itu kita tak bisa mengelak sedikit pun dari kesalahan. Karena itu, momen pergantian tahun hendaknya tak kita rayakan dengan hura-hura glamor dunia. Saatnya kita introspeksi diri dan menghitung kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan. Allah berfirman, “(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu masih berupa janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa,” (QS 53:32)
Ayat tersebut benar-benar menyadarkan kita akan kelemahan dan kenistaan kita sebagai manusia yang sering kali berbuat khilaf. Bahwa seandainya pun kita terhindar dari dosa-dosa besar, kita pasti takkan luput dari dosa-dosa kecil. Allah menegaskan, jangan merasa dan mengklaim diri suci, karena Allah sajalah yang paling mengetahui siapa yang bertakwa dan yang tidak. Sementara Allah juga tahu siapa diri kita sejak dari awal penciptaan, ketika masih berupa janin di rahim ibu kita, hingga kita dewasa. Namun, Allah juga mengingatkan kita tentang ampunan-Nya yang luas.
            Selain kelemahan itu, manusia juga mudah tergelincir ke lembah kemaksiatan lantaran godaan setan. Allah SWT berfirman, “Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (al-Qur'an), Kami adakan baginya syaithan (yang menyesatkan). Maka syaithan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya syaithan-syaithan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk,” (QS az-Zukhruf: 36-37).
            Kita lemah. Gampang tergoda. Mungkin kita bisa menghindari dosa-dosa besar. Tapi tak mungkin sanggup kita berkelit dari dosa-dosa kecil. Menyadari betapa lemahnya kita dan begitu rentannya kita dari godaan setan, maka saatnya kita memuhasabah diri seraya memandang ke depan untuk merangkai ibadah lebih baik lagi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar