Senin, 22 April 2013

Membina Kejujuran



Hanya mereka yang mampu berjalan di tanah datar,  yang akan sanggup mendaki bukit. Hanya mereka yang biasa berbuat jujur, yang akan mampu menghalau kemunafikan.

Kehadiran para dai yang jujur, lapang dada, berpikiran cemerlang dan terbuka senantiasa didambakan semua orang. Merekalah yang akan mampu membaur dalam masyarakat tanpa menanggalkan jati dirinya. Karena, untuk menyampaikan sebuah misi diperlukan infrastruktur yang kokoh. Dengan dilandasi kesabaran dan kematangan dalam bertindak serta jujur dalam berbuat, misi yang diemban bisa mengalir sesuai tujuan. Sikap inilah yang telah dicontohkan Rasulullah saw.
            Jauh sebelum diutus menjadi nabi, beliau sudah dikenal sebagai orang yang jujur dan terbuka, al-Amiin. Beliau merupakan sosok yang tak pernah berdusta sepanjang hidupnya. Walaupun terhadap hal-hal yang sifatnya canda sekalipun. Pernah seorang perempuan tua menemui beliau dan bertanya apakah ia akan masuk surga. Sembari tersenyum Rasulullah berkata, “Nenek-nenek tidak akan masuk surga.” Mendengar ucapan beliau, perempuan tua itu menangis. Ia merasa telah banyak melakukan amal shalih, tapi menurut Rasulullah,
nenek-nenek tidak akan masuk surga.
            Senyum Rasulullah kian mengembang melihat reaksi nenek itu. Beliau lalu menjelaskan, bahwa di surga memang tidak ada nenek-nenek. Semua penghuninya, baik yang meninggal tua atau muda, dengan izin Allah akan menjadi muda kembali. Tangis nenek itu pun berubah jadi senyum ceria.
            Pada kesempatan lain, tatkala Rasulullah tengah berdiri di sebuah tempat, tiba-tiba seorang laki-laki dengan wajah ketakutan berlari ke arahnya, lalu bersembunyi di salah satu tempat  tak jauh dari beliau. Tak lama kemudian, seorang laki-laki lain dengan wajah beringas dan senjata tajam terhunus di tangan berlari mendatanginya, lalu mengajukan petanyaan, “Apakah engkau melihat seorang laki-laki lewat?” Rasulullah tahu, orang di depannya bermaksud buruk. Dengan cepat ia menggeser kedua kakinya seraya menjawab, “Demi Allah, selama berdiri di sini, saya tidak pernah melihat siapa pun kecuali engkau.” Laki-laki itu pun berlalu. Rasulullah telah menyelamatkan orang yang bersembunyi di belakangnya tanpa harus berbohong.
            Dengan kejujuran inilah Rasulullah mengawali dakwahnya. Orang-orang dekat yang selama ini bergaul dengannya tak meragukan lagi apa yang beliau ucapkan. Karena itu, ketika Rasulullah menyatakan diri sebagai nabi, mereka langsung menerimanya. Hanya orang-orang berhati baja dan berkepala batu yang menolak ajaran beliau. Mereka sangat takut kehilangan harta dan kedudukan. 
            Tidak hanya orang dekatnya yang mengakui kejujuran Rasulullah, tapi juga musuhnya. Ketika Musailamah al-Kadzab menyatakan diri sebagai nabi, para pengikutnya tetap mengakui kejujuran Rasulullah. Hanya karena ta’ashub terhadap kelompok saja yang membuat mereka mendukung Musailamah secara membabi buta. “Saya mengakui sungguh Muhammad itu benar dan Musailamah bohong. Tetapi kebohongan orang Rabi’ah (suku Musailamah) lebih saya sukai daripada kebenaran orang Mudhar (kabilah Nabi Muhammad),” ujar salah seorang dari mereka.
            Al-Qur’an sendiri banyak mengangkat figur para nabi sebagai orang  yang layak menerima jabatan atas dasar kejujuran. Merekalah yang mestinya dijadikan teladan. Berkenaan dengan Nabi Yusuf, Allah berfirman, “Dan raja berkata, ‘Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang dekatku.’ Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia (Yusuf), raja berkata, ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi orang yang berkedududkan tinggi lagi dipercaya di sisi kami,’” (QS Yusuf: 56).
            Berkenaan dengan Nabi Musa, selain karena kemampuan, ia diterima bekerja oleh orang tua dua wanita yang ditolongnya, juga disebabkan kejujuran. Allah berfirman, “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Wahai ayahku, ambillah ia sebagai pekerja. Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi terpercaya,’” (QS al-Qashash:26)
            Secara bahasa al-Amiin berasal dari kata aamina–ya’manu–amaanatan yang berarti merasa aman atau memberi kepercayaan. Seseorang dinamakan amiinun,  karena ia bisa memberi rasa percaya atau jujur. Jadi, orang dikatakan jujur manakala bisa memberi rasa aman, baik kepada dirinya atau orang lain. Caranya, menyesuaikan segala tindakan dengan kenyataan (al-muwaafaqatu li al-waaqi’). Kata ini berdekatan dengan kata aamana–yu’minu–iimaanan yang berarti keyakinan atau keimanan.
            Dari elaborasi bahasa, dapat dilihat bahwa amaanat (kepercayaan), amiin (jujur), dan iimaan (keimanan) satu rangkaian kata yang tidak bisa dipisahkan. Pada tataran realitas, kepercayaan adalah buah dari kejujuran. Sedangkan iman tidak akan sempurna tanpa kejujuran. Karena itu, setiap sikap yang bertentangan dengan kejujuran dianggap sebagai bentuk dari kemunafikan.
            Tak heran, kalau dalam pembentukan kepribadian, sikap jujur mempunyai pengaruh yang lebih besar daripada sekadar IQ (Intellectual Quotient)-kecerdasan penalaran. Karena dalam ilmu psikologi, IQ saja tidak cukup untuk mencapai keberhasilan hidup seseorang. Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intellegence, menjelaskan mengapa mereka yang ber-IQ tinggi sering tidak berhasil. Sedangkan mereka dengan IQ sedang-sedang saja bisa dengan cepat berkembang. Berdasarkan penelitian ilmiah, kecerdasan emosilah yang membuat seseorang mampu mengarahkan dirinya untuk meraih sejumlah obsesi.
            Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah menegaskan  bahwa kejujuran mampu membimbing meraih surga. “Sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan. Dan kebaikan menunjukkan kepada surga. Seorang laki-laki benar-benar telah jujur  hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Sesungguhnya kebohongan itu menunjukkan kepada kezaliman. Kezaliman menunjukkan kepada neraka. Seorang laki-laki telah berbuat dusta hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai pendusta,” (HR Bukhari Muslim)
            Sayangnya, kian hari budaya kejujuran dalam masyarakat kita makin terkikis oleh gelombang informasi yang sering kali mendorong manusia berbohong dan memanipulasi diri. Kalau saja sifat jujur ini dimiliki para penguasa, niscaya  kepercayaan rakyat akan  menguat.
             Kita sering kali sungkan berbuat jujur kala dibenturkan untuk mengakui sebuah kesalahan. Kita kerap takut berterus terang saat diminta menyampaikan aspirasi  kepada penguasa zalim. Bahkan, tak jarang kejujuran kita tergadai oleh sebuah tuntutan pribadi yang  mesti ditebus. Kalau saja kondisi ini tidak segera diatasi, jangan harap sebuah tatanan masyarakat akan terbentuk dengan baik.
            Karenanya, kejujuran hendaklah dijadikan sebuah kebiasaan bagi masyarakat. Mereka mengaplikasikannya kapan saja dan di mana saja. Di perkantoran, kejujuran dapat disandingkan dengan kedisiplinan. Datang tepat waktu dan tidak menggunakan fasilitas kantor untuk kepentingan sendiri adalah salah satu contohnya. Di dunia perdagangan, kejujuran dapat diwujudkan melalui transparansi nilai dan harga barang.
            Di medan dakwah, kejujuran adalah modal utama bagi seorang dai. Karena kejujuran bisa  menjinakkan hati, menumbuhkan kepercayaan dalam jiwa, ketenteraman, kelapangan, dan kasih sayang. Sehingga orang yang didakwahi akan tertarik bahkan merasa terikat dengan para penyeru  dakwah. Berbeda dengan kedustaan yang akan menanamkan benih-benih keraguan, ketidakpercayaan, dan selalu was-was.
            Selagi para penyeru dakwah berdiri di atas kejujuran, masyarakat akan membuka diri untuk menerima seruannya. Mereka senantiasa akan menanti setiap ucapannya dan mengikuti segala tindakannya. Seorang dai yang lidahnya terbiasa mengeluarkan kejujuran akan terhindar untuk mengatakan kebatilan. Baik itu dusta, mencela, ghibah, namimah (menyebar isu) ataupun berkata kotor.
            Sedangkan wujud jujur dalam amal adalah menyesuaikan perkataan dengan perbuatan. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat  besar kebencian di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan,” (QS ash-Shaff: 3).
            Sikap inilah yang harus ditumbuhkan dalam setiap pribadi, sehingga terwujud keluarga-keluarga jujur. Dari kumpulan keluarga ini akan terbentuk sebuah tatanan masyarakat. Merekalah yang akan membawa bangsa ke gerbang kejayaan.

Tulisan Karya Ust. Hepi Andi Bastoni dalam "101 Butiran Dakwah"

                        Sumber:  Muqawwimaatu ad-Daa’iyah an-Naajih, Said bin Ali bin Wahf al-Qahthani, Ushuulu ad-Dakwah wa Thuruuquhaa,  Dr. Abdur Rab ibnu Nuwwab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar