Rabu, 24 April 2013

Menjaga Keikhlasan


Keikhlasan adalah kunci untuk menggapai kedamaian. Kita harus senantiasa menjaganya dari deraan ambisi dan  kepentingan.

Dalam sebuah peperangan, Ali bin Abi Thalib berhasil melumpuhkan lawannya. Namun, ketika ia akan mengayunkan pedang, musuh yang saat itu terkapar  tak berdaya, meludahi wajahnya. Melihat perilaku lawannya yang menjijikkan  tersebut, Ali bin Abi Thalib bukannya mempercepat tebasan senjatanya, tapi malah menariknya ke belakang. Ia urung membunuh  lantaran khawatir tindakannya itu tak lagi dilandasi keikhlasan berjuang di jalan
Allah. Tapi, karena murka atas perlakuan musuhnya.
Sikap Ali di atas menunjukkan  bahwa kedudukan niat sangatlah penting dalam semua pekerjaan. Niatlah yang akan menentukan apakah pekerjaan itu bernilai pahala, atau sebaliknya berlumur dosa. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Khathab Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya. Setiap orang hanya memperoleh menurut apa yang diniatkan. Barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang berhijrah untuk dunia yang ingin ia dapatkan, atau wanita yang hendak ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia tuju.” (HR Bukhari-Muslim)
            Karena itu, satu jenis perbuatan bisa jadi berbeda kadar pahalanya sesuai dengan perbedaan niat masing-masing. Suatu amal yang diperkirakan mempunyai dampak besar, tapi jika tidak dilandasi dengan niat yang tulus, bisa jadi sia-sia. Bahkan, boleh jadi menyebabkan dosa. Sebaliknya, suatu perbuatan yang kelihatannya sepele, bisa jadi bernilai pahala besar manakala dilandasi dengan niat yang luhur dan ikhlas.
            Kendati demikian, betapapun pentingnya, niat tak bisa mengubah sesuatu yang haram menjadi halal. Karena walau bagaimanapun, syari’at tidak bisa ditegakkan dengan niat saja. Setiap amal hanya akan diterima di sisi Allah jika memenuhi syarat lahir dan batin. Pertama, keikhlasan niat yang merupakan kebenaran batin. Kedua, mutaaba’ah (mengikuti) ajaran Rasulullah yang merupakan kebenaran lahir.
             Berkenaan dengan ini Allah SWT berfirman, “Dan siapakah orang yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan dia pun mengerjakan kebaikan dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus.” (QS al-Nisaa’: 125)
            Orang yang bekerja dengan ikhlas akan memperhatikan penilaian Khaliq semata, bukan penilaian makhluk. Seluruh aktivitasnya ditujukan hanya kepada Allah. Al-Fudhail bin Iyadh pernah berkata, “Amal yang dikerjakan karena manusia adalah syirik. Meninggalkan amal karena manusia adalah riya.”
            Bagaimana dengan amal yang pada prinsipnya diniatkan karena Allah, tapi ada kepentingan-kepentingan pribadi yang menyertainya? Misalnya, orang yang ingin melaksanakan haji, tapi sekaligus juga mau berniaga. Para mujahid yang ingin berperang di jalan Allah, tapi terbetik dalam hatinya kemauan mendapatkan ghanimah. Orang yang berpuasa untuk taqarrub kepada Allah, tapi juga dengan tujuan diet atau hemat. I’tikaf di masjid untuk beribadah, sekaligus menghemat sewa rumah. Apakah tindakan seperti ini mendapatkan pahala atau tidak?
            Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihyaa’ Uluumiddin menyebutkan, jika kepentingan pribadi dan niat ikhlas karena Allah seimbang, maka amal itu tidak mendatangkan pahala dan dosa. Jika pendorong riya’nya lebih dominan, maka amalnya tidak bermanfaat, bahkan bisa mendatangkan siksa. Namun, siksanya lebih ringan dibanding perbuatan yang semata karena riya’ dan tidak dibarengi dengan niat taqarrub kepada Allah.
            Jika tujuan taqarrub lebih dominan daripada pendorong yang lain, maka dia mendapatkan pahala selaras dengan kekuatan pendorong agama tersebut. Hal ini didasarkan pada firman Allah, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan, barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah, niscaya ia akan melihat balasannya juga.” ( QS al-Zalzalah : 7– 8 )
            Ibnu Rajab al-Hambali berpendapat lain. Menurutnya, jika suatu amal dilakukan karena Allah dan disekutukan dengan riya’, maka pahalanya gugur. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi yang di-takhrij oleh al-Nasa’i dari Abu Umamah al-Bahili, bahwa ada seorang laki-laki menemui Rasulullah saw seraya bertanya, “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu tentang seseorang yang berperang karena mencari pahala dan ketenaran?”
            Rasulullah saw menjawab, “Dia tidak memperoleh apa pun.” Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal, kecuali diikhlaskan karena-Nya dan untuk mencari keridhaan-Nya.”
            Di samping mendulang pahala, ada sejumlah hikmah yang didapatkan oleh orang yang senantiasa mampu menjaga keikhlasan. Di antaranya, ketenangan jiwa dan kedamaian hidup. Ia akan merasa hidupnya terarah lantaran hasratnya terhimpun dalam satu wadah, yaitu meniti jalan menuju mardhaatillaah. Kejelasan tujuan membuat manusia tenang menghadapi berbagai guncangan. Di samping tahan banting dan tak mudah putus asa di kala menghadapi kegagalan serta tak akan sombong ketika menuai kesuksesan.
            Hal ini berbeda dengan orang yang musyrik yang mempunyai tujuan beragam. Hasratnya terpecah dan hatinya terbelah. Makanya, Allah SWT mengibaratkan seorang mukmin seperti budak yang dimiliki oleh seorang tuan. Sedangkan seorang musyrik ibarat budak yang diperebutkan oleh beberapa tuan. Allah berfirman, “Allah membuat perumpamaan (yaitu) seperti seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang berserikat yang sedang berselisih, dan seorang budak yang menjadi milik penuh seorang laki-laki (saja). Adakah kedua budak itu sama? Segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” ( QS al-Zumar :29)
            Keikhlasan bisa memberikan kekuatan rohani. Jiwa orang yang ikhlas tidak bisa dikalahkan dengan kekuatan apa pun. Ia akan mempunyai benteng pertahanan kokoh tak terkalahkan. Apa yang dialami para sahabat saat berperang melawan musuh cukup sebagai bukti. Walaupun jumlah mereka jauh lebih sedikit dibanding lawan. Namun, kekuatan rohani yang dibentuk oleh keikhlasan, membuat mereka mampu menaklukkan musuh yang berlipat ganda.
            Dengan kekuatan tersebut, orang yang berbuat ikhlas mampu melakukan ibadah secara berkesinambungan. Orang yang beramal sebatas untuk mencukupi kebutuhan makannya, akan menghentikannya jika tidak mendapatkan apa yang mengenyangkan perutnya. Orang yang beramal karena mengharap ketenaran atau kedudukan, akan bermalas-malasan jika mengetahui harapannya kandas. Orang yang beramal lantaran mencari muka di hadapan pemimpin, akan berhenti jika atasannya dipecat atau meninggal. Sedangkan orang yang beramal karena Allah, tidak akan memutuskan amalnya sampai kapanpun. Sebab yang  mendorongnya untuk beramal tak akan pernah punah selamanya.
Orang yang selalu melandasi aktivitasnya dengan keridhaan Allah, niscaya akan mendapatkan kemudahan dan pertolongan dari-Nya. Jiwanya senantiasa merasa aman dan damai.  Tak ada yang bisa melepaskan umat ini dari kesia-siaan, kerugian dan kerusakan kecuali orang-orang ikhlas. Merekalah yang bertindak atas nama kebenaran, bukan demi hawa nafsu.
            Salah satu cara untuk menyempurnakan keikhlasan adalah banyak membaca dan menyelami kandungan al-Qur’an dan al-Sunnah. Dengan begitu kita bisa mendapatkan keyakinan tentang bahaya riya’, gila kedudukan dan dan ketenaran duniawi. Pengetahuan tentang hal itu semua yang akan memperdalam keyakinan untuk melepaskan diri dari semua kepentingan semu.
            Selain itu, pergaulan dengan orang-orang ikhlas akan mendorong seseorang berbuat yang sama. Rasulullah saw memberikan perumpamaan teman yang baik dan teman yang  buruk seperti pembawa minyak wangi dan  pandai besi. Disengaja atau tidak, orang yang berteman dengan tukang minyak wangi akan kecipratan harumnya. Sedangkan orang yang berteman dengan pandai besi, suatu saat pasti akan kena apinya.
            Berteman tidak semata berarti bergaul  dalam kehidupan nyata. Membaca kisah-kisah para mukhlisin juga termasuk cara mendapatkan keikhlasan. Pengenalan tersebut akan memberikan pengaruh positif terhadap pembacanya.
            Kini di tengah mewabahnya virus kemunafikan, maka satu-satunya jalan yang harus segera kita tempuh adalah mengembalikan kesucian jiwa. Bersihkan segala noda dan ambisi yang merusak keikhlasan dalam beramal. Sebab hati ibarat kaca. Jika tidak dibersihkan ia akan kotor berkarat. Akibatnya, benderang rahmat dan hidayah Allah pun tak bisa terlihat. Na’uudzubillaah!

Sumber : 101 Butiran Dakwah Karya Ust. Hepi Andi Bastoni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar