Senin, 08 April 2013

Ibarat Makan Daging Saudara Sendiri




Buruk sangka tidak hanya menjerumuskan si pelaku ke kubangan maksiat, tapi juga menyeret komunitas masyarakat ke gerbang perpecahan. Jalinan ukhuwah terancam putus, persatuan pun akan terberai.

Suatu ketika, dua orang wanita yang sedang menjalankan ibadah puasa menghadap Rasulullah saw. Begitu tiba di hadapan beliau, sambil memegangi perut menahan sakit, keduanya memohon kepada Rasulullah saw agar dibolehkan berbuka. Menanggapi permintaan dua wanita itu, Rasulullah menyodorkan sebuah ember kecil di hadapan keduanya seraya bersabda, "Muntahkan apa yang ada dalam perut kalian!"
            Seketika, dua wanita itu memuntahkan darah segar! Para sahabat yang menyaksikan kejadian itu tersentak kaget. "Wahai Rasulullah, apa yang sebenarnya terjadi terhadap dua
wanita ini?" tanya salah seorang dari mereka.
            "Memang,  mereka sedang berpuasa, menahan diri dari segala hal yang dihalalkan saat tidak berpuasa. Tapi, mereka membatalkannya dengan hal-hal yang diharamkan.  Keduanya sering menggunjingkan aib orang lain. Mereka ibarat memakan daging saudaranya sendiri yang sudah meninggal," jawab Rasulullah.
            Puasa berarti menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Namun, maksud menahan diri di sini, bukan semata berarti menahan diri dari hal-hal yang dihalalkan ketika tidak berpuasa, seperti makan, minum dan melakukan hubungan seksual. Tapi juga, menahan diri dari segala hal yang diharamkan, seperti ghibah, mengadu domba, mengejek dan berbagai macam perbuatan buruk lainnya, (Ahkaam ash-Shyiaam wa Falsafatuhu fii Dhau'i al-Qur'an wa as-Sunnah, Dr. Mustafa as-Siba'i).
            Bahkan, menahan diri dari segala hal yang diharamkan ini harus lebih diutamakan, dan dihindari sejauh mungkin. Karena, di antara tujuan puasa adalah melatih diri untuk selalu mengerjakan perbuatan baik dan menghindari tindakan jahat. Hanya saja, begitu banyak orang yang lalai sehingga mereka tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan dahaga saja.
            Di antara perbuatan buruk yang sering merusak nilai ibadah para shaaimiin adalah ghibah. Menurut istilah, pengertian ghibah adalah menceritakan perihal saudara muslimnya ketika dia tidak ada tentang hal-hal yang tidak ia sukai.

            Bentuk ghibah
            Ghibah tidak terbatas pada ucapan semata, tapi juga setiap gerakan, isyarat, sindiran, umpatan, tulisan dan segala hal yang bisa dikatagorikan hinaan.
o   Fisik, seperti menceritakan kekurangan saudaranya yang Muslim dengan mengatakan dia buta, pincang, pendek dll. Suatu ketika Aisyah mengatakan kepada Rasulullah, bahwa Shafiyyah itu tubuhnya pendek. Rasulullah bersabda, "Engkau telah mengatakan satu kalimat yang bila dicampur dengan air laut, pasti laut itu akan keruh," (HR Tirmidzi).
o   Cacat agama, seperti pengkhianat, fasik dll
o   Meniru gerakan dan cara berbicara
o   Ikut mendengarkan orang yang mengghibah sama dengan pelakunya, (Ihyaa' Ulumiddin, al-Ghazali).
           
Ghibah yang dibolehkan
o   Pengaduan terhadap kezaliman. Orang yang dizalimi boleh mengadukan kepada penguasa, hakim atau orang yang mempunyai kekuasaan untuk menyadarkan orang yang zalim. Hal ini didasarkan kepada firman-Nya, "Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan terus terang) kecuali orang yang dianiaya. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui," (QS al-Nisaa: 148).
o   Meminta pertolongan untuk mengubah kemunkaran dengan menceritakan kepada orang yang mampu mengubahnya menjadi kebenaran. Misalnya, orang yang melihat pemabuk. Ia boleh menceritakannya kepada wali pemabuk tersebut untuk dinasihati agar sadar.
o   Meminta fatwa kepada mufti tentang penzaliman seseorang terhadapnya.  Sebagaimana yang dilakukan Hindun ketika ia mengadukan perihal kekikiran suaminya kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda, "Ambillah sesuatu sekadar untuk memenuhi kebutuhanmu dan anakmu dengan cara yang makruf," (HR Bukhari Muslim).
o   Untuk menjaga kaum muslimin agar tidak terjerumus ke dalam jurang kesesatan. Misalnya, mengungkapkan kelemahan perawi hadits palsu atau saksi palsu. Hal ini dibolehkan berdasarkan ijma', bahkan menjadi wajib ketika dibutuhkan. Pun dibolehkan menceritakan perihal seseorang yang ingin melamar seorang wanita. Fatimah binti Qais pernah mendatangi Rasulullah saw dan menanyakan tentang Muawiyah dan Abu Jahm. Rasulullah saw menjawab, "Adapun Muawiyah adalah orang yang tidak punya. Sedangkan Abu Jahm adalah orang yang ringan tangan," (HR Muslim).
o   Dibolehkan juga mengungkapkan kelemahan budak kepada orang yang ingin membelinya, dengan mengatakan, "Budak saya ini suka mencuri dan sering melakukan perbuatan haram lainnya."
o   Dibolehkan juga menceritakan tentang keburukan seorang penguasa kepada atasannya. Dengan tujuan, sang atasan menasihatinya agar tidak menyimpang dari kebenaran. Tentu saja tindakan ini tidak disampaikan di khalayak ramai dan benar-benar dengan tujuan untuk mengembalikannya kepada kebenaran. Bukan lantaran iri atau tidak senang dengan orang yang bersangkutan. Namun, hal ini tidak berlaku bagi para sahabat Nabi, ulama atau da'i. Mereka tidak boleh dicela dan dijuluki yang bukan-bukan.
o   Jika seseorang melakukan tindakan kejahatan secara terang-terangan, seperti minum khamar, berbuat bid'ah, boleh menceritakan perbuatannya kepada orang lain agar berhati-hati terhadap mereka. Kalau tidak, bisa menyebabkan umat tersesat lantaran mengikuti kejahatannya.

Faktor penyebab ghibah
            Tidak mengadakan konfirmasi dan penjelasan. Memutuskan suatu persoalan itu buruk atau menghakimi seorang individu itu jahat tanpa mencari fakta yang kuat merupakan cela berbuat ghibah. Karenanya, al-Qur'an mengajarkan agar tidak menerima begitu saja berita yang didengar. Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui kadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu," (QS al-Hujuraat: 6).
            Kemarahan seringkali membuat orang melakukan ghibah. Apalagi jika orang tersebut tidak mempunyai landasan agama dan moral yang kokoh. Dengan mudah lidahnya bergerak, mengumpat dan mencela orang yang menyebabkan kemarahannya. Karenanya Islam mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa berusaha meredam amarah. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang meredam kemarahannya sedangkan ia mampu melampiaskannya, maka kelak Allah akan memanggilnya di hadapan para pemuka makhluk. Bahkam, Dia memilihkan untuknya bidadari, kemudian mengawinkan dengannya sebanyak yang dia kehendaki," (HR Abu Daud).
            Seringkali ketika marah, seseroang tidak melampiaskannya begitu saja. Namun mengendapkannya ke dalam batin sehingga berubah menjadi gumpalan dengki, iri, hasud dan berbagai macam penyakit  hati lainnya. Penyakit inilah yang lambat laun akan mendorongnya mencela, dan menceritakan aib saudaranya. Dan, inilah bentuk ghibah yang sesungguhnya.
            Sifat serakah lantaran ingin meraih jabatan, iri karena kelebihan nikmat yang dimiliki orang lain, dan hasud, berharap kenikmatan saudaranya hilang lalu beralih ke tangannya, merupakan cela terperosoklnya seseorang ke perbuatan ghibah. Berbagai macam sifat buruk itu akan menghabiskan kebaikan seperti api melahap kayu bakar, (HR Abu Daud).
            Orang yang merasa dirinya mempunyai kedudukan tinggi dan menganggap dirinya lebih dari orang lain dalam segala hal akan mudah terseret kepada tindakan meremehkan dan mencela orang lain. Dengan mudah ia akan mengatakan, "Si Fulan tidak bisa berbuat apa-apa. Si Fulan bisanya hanya duduk dan memakan gaji buta saja!" Dan berbagai macam umpatan lain yang  keluar dari lidahnya. Padahal, ia sendiri tidak berbuat apa-apa untuk memperbaiki saudaranya tersebut, (Aafaatun 'alath Tariiq, Dr Sayyid Muh. Nuh).
            Hal lain yang bisa menjerumuskan orang ke lembah peng-ghibah-an adalah humor dan senda gurau. Disadari atau tidak, ketika bergurau orang sering kali membicarkan aib saudaranya. Mereka menghabiskan waktu hanya untuk membicarakan kelemahan orang lain. Dia lupa, tindakan tersebut sama artinya dengan memakan daging saudaranya sendiri yang sudah meninggal. Dan tindakan itu jelas akan menggiringkan ke jurang neraka yang dalamnya tak terkirakan. Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya orang yang mengatakan sesuatu yang menurutnya tidak ada apa-apa (bergurau), dan tidak mengakibatkan apa-apa, ternyata menyebabkannya tergelincir ke neraka sejauh perjalanan tujuh musim," (HR Bukhari Muslim).Wal 'iadzu billah.

sumber : 101 Butiran Dakwah karya ustadz hepi Andi Bastoni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar