Para ulama berbeda pendapat tentang
hukum musik dan nyanyian, baik di masa salaf maupun khalaf. Sebagian
mengharamkan secara total, sebagian lagi mengambil posisi untuk membolehkannya.
Ada juga yang mengharamkan sebagian, namun menghalalkan sebagian, serta
membubuhi berbagai macam syarat dan ketentuan.
Perbedaan pendapat di tengah para
ulama ini terjadi karena banyak faktor, yang paling utama karena tidak
disepakatinya dalil-dalil yang mengharamkan secara shahih dan sharih. Kalau ada
dalil yang shahih, sayangnya tidak sharih. Sebaliknya, begitu ada dalil yang
sharih, ternyata dari sisi sanadnya tidak shahih.
A. Pengertian
1. Musik
Musik dalam
bahasa Arab modern disebut dengan sebutan al-musiqa.
Sebenarnya istilah al-musiqa dalam bahasa Arab adalah serapan dari bahasa Yunani, yang
asalnya dari kata mousike.
The
Muses
adalah sebutan untuk sembilan dewi atau anak perempuan Dewa Zeus dengan salah
seorang istrinya, Mnemosyne. Dalam legenda mitologi Yunani, Zeus adalah rajanya
para dewa.
Namun di dalam nash-nash syar’i,
istilah yang sering digunakan untuk alat-alat musik antara lain adalah al-mi’zaf
atau al-ma’azif dalam bentuk jamak. Ma’azif kemudian didefinisikan
sebagai: Alat yang dimainkan dengan
cara memukul-mukulnya Atau terkadang juga disebut dengan : Alat musik pukul
seperti tongkat dan tambur.
Ada beberapa jenis alat musik yang
seringkali disebut-sebut di dalam nash syar’i, baik di dalam hadits atau pun di
dalam kitab-kitab fiqih yang disusun oleh para ulama. Di antara alat-alat musik itu adalah ad-duff, al-kubah, al-kabar, al-yara’, adh-dharbu bil qadhib, al-‘uud,
ash-shaffaqatan.
2. Lagu
Sedangkan lagu atau nyanyian dalam
istilah bahasa Arab sering disebut dengan al-ghina. Secara bahasa bermakna ash-shautu yaitu suara.
Kata al-ghina’ sendiri seringkali didefinisikan para ahli
bahasa dengan : Nyanyian dan lagu dengan menggunakan suara (vocal) yang
teratur, dan sering diiringi dengan alat-alat musik
C. Perbedaan Hukum dalam Pandangan Ulama
1. Shahabat
Perbedaan pendapat tentang haramnya
nyanyian dan musik bukan perbedaan yang baru terjadi hari ini. Perbedaan itu
sudah terjadi di masa lalu, bahkan sejak masa shahabat. Ada sebagian shahabat
yang menghalalkannya dan ada juga yang tegas mengharamkannya.
a. Yang Menghalalkan
Di kalangan para shahabat Nabi SAW
ada beberapa di antara mereka yang menghalalkan musik, di antaranya Abdullah
ibn Az-Zubair.
Abdullah bin
Zubair memiliki budak-budak wanita dan alat musik berupa gitar. Dan Ibnu Umar
pernah ke rumahnya ternyata disampingnya ada gitar :
Ibnu Umar
berkata:’ Apa ini wahai sahabat Rasulullah SAW? Kemudian Ibnu Zubair
mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata:’ Ini mizan Syami(
alat musik) dari Syam?’. Berkata Ibnu Zubair:’ Dengan ini akal seseorang bisa
seimbang’.
b. Yang Mengharamkan
Sementara itu setidaknya ada dua
orang shahabat Rasulullah SAW yang tercatat dengan tegas mengharamkan nyanyian
dan musik, yaitu Abdullah bin Mas'ud dan Abdullah bin Al-Abbas
radhiyallahuanhuma.
Abdullah
bin Ma'sud radhiyallahuanhu termasuk di antara shahabat yang mengharamkan
nyanyian. Beliau berfatwa :
Nyanyian itu menumbuhkan sifat munafik di dalam hati,
sebagaimana air menyebabkan tumbuhnya tanaman. (HR.Abu Daud)
Abdullah bin Al-Abbas radhiyallahuanhu mengharamkan nyanyian
dan musik, dengan dasar penafsiran beliau atas istilah lahwa hadits sebagaimana tercantum dalam ayat Al-Quran berikut:
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan
perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan
memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman : 6)
2. Ulama
Di kalangan ulama berikutnya, kita
masih menyaksikan bagaimana mereka berbeda pendapat tentang hukum halal dan
haram dari nyanyian dan musik. Berikut ini sebagian kecil dari apa yang mereka
perselisihkan.
a. Yang Menghalalkan
Adapun ulama yang menghalalkan musik
sebagaimana diantaranya diungkapkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya,
Nailul Authar, di antaranya para ulama Madinah dan lainnya, seperti ulama
Dzahiri dan jama’ah ahlu Sufi memberikan kemudahan pada nyanyian walaupun
dengan gitar dan biola’.
Termasuk juga di antara mereka yang
menghalalkan adalah Abu Bakar Al-Khallal, Abu Bakar Abdul Aziz, Al-Gazali dan
lainnya.
Juga
diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi’i dalam kitabnya bahwa
Abdullah bin Ja’far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, bahkan membolehkan
budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau sendiri mendengarkan alunan
suaranya. Dan hal itu terjadi di masa khilafah Amirul Mukminin Ali
radhiyallahuanhu.
Begitu juga
Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada Qodhi Syuraikh, Said bin Al Musayyib,
Atha bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya’bi. Dan diriwayatkan dari Ar-Rawayani
dari Al-Qafal bahwa madzhab Malik bin Anas membolehkan nyanyian dengan alat
musik.
Di antara
ulama yang menghalalkan musik adalah Ibnu Hazm, mewakili kalangan ahli Dzhahir.
Di dalam kitabnya Al-Muhalla, Ibnu Hazm memberikan banyak hujjah atas tidak
haramnya musik selama tidak melanggar ketentuan.
b. Yang Mengharamkan
Para ulama mazhab seperti madzhab
Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’i dan Al-Hanabilah termasuk kalangan yang
menolak kehalalan musik secara umum, kecuali bila memenuhi ketentuan tertentu.
Abu Hanifah berkata bahwa bernyanyi
dan main musik itu termasuk perbuatan dosa.
Al-Malikiyah berkata bahwa yang
menyanyikan lagu dan memainkan musik di antara kami adalah orang-orang fasik.
As-Syafi'iyah menyebutkan bahwa
nyanyian itu perbuatan sia-sia yang dibenci dan menyerupai batil. Orang yang
kebanyakan bernyanyi dan bermusik adalah orang bodoh yang tertolak
kesaksiannya. Pendapat ini merupakan pendapat para ulama dari mazhab ini,
seperti At-Thabari, An-Nawawi, Abu Ishaq dan lainnya.
berpendapat bahwa mendengar nyanyian
adalah makruh. Jika mendengarnya dari wanita asing maka semakin makruh. Menurut
Maliki bahwa mendengar nyanyian merusak muru’ah.
Al-Imam
Asy-Syafi’i mengatakan karena mengandung lahwu. Dan Ahmad mengomentari dengan
ungkapannya:’ Saya tidak menyukai nyanyian karena melahirkan kemunafikan dalam
hati’.
Fudhail bin Iyadh berfatwa :
Nyanyian itu merupakan mantera-mantera zina.
Adh-Dhahhak
berfatwa : Nyanyian itu merusak hati dan membuat Tuhan marah
Diriwayatkan bahwa Umar bin Abdul
Aziz menulis surat kepada guru dari anaknya berisi pesan yang melarang nyanyian
dan musik.
لِيَكُنْ أَوَّلُ مَا
تَفْعَلُ مَعَ
ابَنِي
أَنْ
تُبَغِّضَه المـَلاَهِي فَإِنَّ صَوْتَ
المـَعَازِفِ وَ
اسْتِمَاعِ الأَغَانِي وَاللهِ بِمَا
يُنْبِتُ النِّفَاقَ فيِ
القَلْبِ كَمَا
يُنْبِتُ العُشْبُ عَلىَ
الماَءِ هُوَ
حَرَاٌم
Hendaklah yang pertama kali kamu kerjakan kepada anakku
untuk menjauhkannya dari hal yang sia-sia. Karena sesungguhnya suara musik dan
mendengarkan nyanyian, demi Allah, akan menumbuhkan sifat nifak di dalam hati,
sebagaimana tumbuhnya rumput di air, dia haram hukumnya.
Demikianlah
pendapat ulama tentang mendengarkan alat musik. Dan jika diteliti dengan
cermat, maka ulama muta’akhirin yang mengharamkan alat musik karena mereka
mengambil sikap wara’ (hati-hati).
Mereka melihat kerusakan yang timbul
di masanya. Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in
menghalalkan alat musik karena mereka melihat memang tidak ada dalil baik dari
Al-Quran maupun hadits yang jelas mengharamkannya. Sehingga dikembalikan pada
hukum asalnya yaitu mubah.
Yang patut diperhatikan, musik dan
nyanyian tidak berdiri sendiri. Keduanya identik dengan tarian, hura hura dan
dunia glamor. Ini yang dikhawatirkan para ulama. Selain itu, suatu pekerjaan
harus dilihat dari manfaat dan mudharatnya. Jika mengarah kepada perbuatan
sia-sia untuk apa dikerjakan, apalagi jika menuju kemaksiatan, harus dijauhi. Wallahu a’lam.
Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar