Banyak pendapat mengenai shalat dalam perjalanan yang biasa disebut
dengan Shalat Safar. Untuk itu, perlu pembahasan detil agar tidak menimbulkan
salah paham dan perdebatan yang berujung pada perpecahan di kalangan umat.
Pemahaman yang baik ini diharapkan bisa membuka pintu 'toleransi' dalam
menjalankan ibadah sesuai dengan pemahaman masing-masing, dengan dalil shahih
dari al-Qur'an dan hadits.
1. Batasan Jarak untuk Sahnya Shalat Musafir/Safar
Menurut
Imam Ibnu Mundzir, ada sekitar 20 pendapat yang memperselisihkan jarak shalat
safar. Berikut sebagian rinciannya:
a. Minimal tiga mil atau farsakh, berdasarkan hadits,
Artinya : Syau'bah dari Yayah bin Yazid Hanafi
memberitakan, saya bertanya kepada Anas bin Malik mengenai shalat qashar. Anas
menjawab, "Rasullullah saw bila bepergian sejauh 3 mil atau farsakh, maka
Rasulullah saw shalat dua rakaat," (HR Ahmad dan Muslim).
Kata-kata 3 mil atau farsakh di atas dianggap tidak
jelas karena perawi (Syau'bah) ragu-ragu meriwayatkannya, antara mil atau
farsakh. Padahal 1 farsakh = 3 mil atau 3 farsakh = 9 mil. Namun kekaburan ini
diperjelas dengan riwayat dari Abu Sa'id al-Khudri sebagai berikut :
Ia memberitakan Rasulullah saw bila bepergian sejauh satu farsakh, maka
mengqashar shalat menjadi dua raka'at (diberitakan oleh Said bin Mansur dan
Al-Hafidz, yang menyebutkannya dalam Kitab at-Talkhis dan ia mendiamkan hadits
ini sebagai tanda pengakuannya).
Jadi, dua hadits ini bisa dikompromikan. Satu mil= 1 farsakh. Ukuran 1 mil
= 1748 meter. (3 mil = 5244 m). Sedangkan 1 farsakh adalah 5541 meter. Jadi, 3
mil atau 1 farsakh sekitar 5 atau 6 km.Mengenai satuan Farsakh (menurut sejarah dan stadart baku)
berasal dari satuan Persia Kuno, yaitu perjalanan dengan kuda selama 1 jam menempuh
jarak 3 mil.
b. Minimal 4 barid (sekitar 77.520 m atau ± 80 Km)
atau sejauh Makkah ke Usfan. Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas, Rasulullah
saw bersabda, "Jangan kamu meng-qashar shalat dalam perjalanan
kurang dari 4 barid, yaitu dari Makkah hingga Usfan," (HR Daraquthni
dengan isnad dhaif). Hadits ini dianggap mempunyai cacat karena dalam
penyampaiannya ada musnad (orang yang menyampaikan hadits ini) yaitu Abdul
Wahad bin Mujahid yang dituduh pendusta/tukang karang hadits (Lihat Nailul
Authar Juz III).
Namun pendapat
ini dikuatkan oelh Imam Malik dalam kitabnya al-Muwattha'. Ia
meriwayatkan dari Salim bin Abdullah bahwa Abdullah bin Umar berkendara menuju
Dzatin Nushub. Lalu ia
mengqashar shalat dalam perjalanan tersebut." Malik berkata, "Jarak
Dzatin Nushub dan Madinah sekitar empat Burud."
Tak adanya
kepastian ini karena dalam al-Qur'an hanya disebutkan, "Dan apabila kamu bepergian di muka
bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu),” (QS an-Nisaa: 101).
Ketentuan ini
diberlakukan sama, baik di zaman Nabi saw atau sekarang. Perbedaan sarana
transportasi, tidak mempengaruhi hukum tersebut. Sebab, yang disebutkan dalam
riwayat bukan masalah sarana transportasi tapi jarak.
2. Shalat-shalat yang di-Qashar
Adapun shalat
yang di-qashar adalah yang berjumlah empat rakaat saja sehingga menjadi
2 rakaat, sedangkan yang 2 atau 3 rakaat tidak boleh. Jadi, yang bisa di-ashar
adalah Zhuhur, Ashar dan Isya'.
3. Batas Waktu Shalat Musafir yang Boleh Di-qashar
Seorang musafir
boleh terus meng-qashar shalatnya selagi ia bepergian. Ketika ia berhenti di
suatu tempat untuk suatu keperluan, ia tetap boleh meng-qashar shalatnya.
Sebab, ia masih terhitung musafir meskipun bertahun-tahun.
·
Ibnu Qayyim al-Jauziyah sebagaimana dikutip Sayyid Sabiq
dalam Fiqhus Sunnah-nya menjelaskan, Nabi saw bermukim di Tabuk selama 20 hari
dan terus meng-qashar shalatnya. Dalam Shahih Buhkari dari Ibnu Abbas
dijelaskan bahwa Nabi saw bermukim dalam suatu perjalanan selama 20 hari dan
selalu meringkas shalatnya. Kami pun melakukan hal itu. Jika lebih dari 20
hari, kami menyempurnakannya.
·
Miswar bin Makhramah mengatakan, "Kami bermukim
bersama Saad bin Abi Waqqash di salah satu wilayah Syam selama 40 hari. Selama
itu Saad tetap meng-qashar shalat tapi kami shalat seperti biasa."
·
Nafi' mengatakan, Abdullah bin Umar bermukim di
Azerbeijan selama 6 bulan dan tetap meng-qashar shalat selagi turun
salju."
·
Hafash bin Ubaidillah mengatakan, "Anas bin Malik
bermukim di Syam selama 2 tahun dan terus melaksanakan shalat sebagaimana
musafir.
·
Menurut Anas, para sahabat Nabi saw bermukim di
Ramahurmuz selama 7 bulan dan tetap meng-qashar shalat.
·
Menurut Hasan, ia bermukim bersama Abdurahman bin Samurah
selama 2 tahun di Kabul dan terus meng-qashar shalatnya dan tidak menjama'.
·
Ibrahin mengatakan, para sahabat Nabi saw bermukim di Ray
selama 1 tahun atau lebih dan di Sajistan selama 2 tahun, mereka meng-qashar
shalat.
Berdasarkan
banyak riwayat itu, para ulama berijithad. Menurut Malik dan Syafii, jika
seseorang berniat muqim selama lebih dari empat hari, maka ia menyempurnakan
shalatnya. Kalau kurang dari itu, ia boleh meng-qashar shalatnya. Menurut Imam
Abu Hanifah, kalau lebih dari 15 hari, harus menyempurnakan shalat. Jika tidak,
boleh diqashar. Namun menurut Ibnu Mundzir, para ulama sepakat, seorang musafir
boleh meng-qashar shalat selagi ia tidak berniat mukim meskipun sudah
bertahun-tahun.
Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyah juga berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan
mengqashar shalatnya selama dirinya tidak berniat menetap secara mutlak karena
Nabi saw dan para sahabatnya menetap di Makkah kurang lebih 20 hari dan selama
itu mereka mengqashar shalat. Mereka
juga menetap di Makkah selama 10 hari dan selama itu mereka tidak berpuasa
Ramadhan.
4. Tentang Menyempurnakan Shalat bagi Musafir
Meng-qashar
shalat dalam perjalanan memang rukhshah (keringan) bukan wajib. Namun, sebagian
ulama lebih mengutamaan mengambil keringanan ini meskipun saat dalam perjalanan
kita sanggup menyempurnakan shalat.
Berkenaan
dengan hal ini, para ulama sependapat bahwa musafir dianjurkan untuk
meng-qashar shalatnya. Mereka berbeda pendapat tentang hukum meng-qashar shalat
ketika musafir. Mazhab Hanafi berpendapat, musafir yang tidak meringkas
shalatnya yang empat rekaat, jika duduk tasyahud awal, maka sah shalatnya tapi
makruh karena ia mengundur salam. Sedangkan dua rekaat selanjutnya dianggap
sunnah. Namun bila ia tidak duduk pada tasyahud awal, maka shalatnya tidak sah.
Menurut Mazhab
Maliki, meringkas shalat ketika safar, hukumnnya sunnah muakkadah, bahkan
melebih shalat berjamaah. Jika seorang musafir tidak menemukan teman untuk
berjamaah, maka lebih baik dia shalat sendirian dengan meng-qashar shalat. Ia
makruh menyempurnakan empat rekaat atau bermakmum kepada jamaah yang shalat
empat rekaat.
Menurut Mazhab
Hanbali dan Syafii, meringkas shalat hukumnya boleh, hanya saja meringkas lebih
utama jika memang sudah mencapai jarak yang dibolehkan. (Lihat Fiqhus Sunnah
Jili I/307).
Dalam sebuah
hadits, dari Ibnu Umar berkata, "Saya menyertai Rasulullah saw (dalam
bepergian), dan Rasulullah saw TIDAK PERNAH lebih dari 2 rakaat (shalatnya) hingga
nyawa Rasulullah saw dicabut Allah. Saya menyertai Abu Bakar, Abu Bakar TIDAK
PERNAH lebih 2 rakaat hingga nyawa Abu Bakar
dicabut oleh Allah. Aku menyertai Umar, ia TIDAK PERNAH lebih 2 rakaat
(menambah) hingga nyawa Umar dicabut oleh Allah. Saya menyertai Utsman, TIDAK
PERNAH lebih 2 rakaat hingga nyawa Utsman dicabut oleh Allah."
Hadits ini
diperkuat dengan hadits lainnya. Mislanya,
lbnu Abbas berkata, "Allah memfardhukan shalat pada lisan Nabimu
atas orang bepergian 2 rakaat, atas orang muqim 4 rakaat dan Khauf 1 rakaat,"
(HR Muslim.
5. Shalat Sunnah dalam Perjalanan
Hal ini
boleh dilakukan boleh juga ditinggalkan. Para sahabat Nabi saw pernah
melaksanakannya tapi Ibnu Umar juga pernah menuturkan bahwa tidak pernah
menjumpai Nabi saw serta khulafaur rasyidin, shalat lebih dari 2 rakaat saat
dalam perjalanan.
6. Bepergian di Hari Jumat
Tak ada larang bepergian di hari Jumat.
Umar pernah mengatakan, "Hari Jumat tidak menghalangi seseorang untuk
bepergian." Abu Ubaidah juga bepergian di Hari Jumat. Imam az-Zuhri juga
menegaskan bahwa Nabi saw juga pernah bermusafir di hari Jumat.
Oleh: Hepi
Andi Bastoni, MA
(Ketua
Yayasan Tahfizh Qur’an Az-Zumar Bogor)
0817-1945-60
Tidak ada komentar:
Posting Komentar