Selasa, 05 April 2016

Peranan Cita-cita


Oleh : Hepi Andi Bastoni
IG : @Hepiandibastoni 

Sore itu matahari memancarkan sinarnya. Cahayanya menerpa bagian atas Ka’bah yang berdiri kokoh. Beberapa sahabat Rasulullah saw yang masih hidup dan para pembesar tabi'in kala itu, melakukan thawaf di sekeliling Ka'bah. Gema takbir dan pekik tahlil menggaung, mengharumkan suasana yang penuh kesucian.
            Tak jauh dari salah satu sudut Ka’bah, empat orang pemuda yang mempunyai nasab terhormat, duduk sambil bercengkerama. Pakaian mereka menyerbakkan wewangian bagai kepakan sayap merpati yang berterbangan di sekitar Ka’bah. Keempat pemuda itu adalah Abdullah, Mush'ab, Urwah (ketiganya putra Zubair bin Awwam) dan Abdul Malik bin Marwan.


            Terjadi perbincangan ringan di antara pemuda-pemuda ini. Salah seorang di antara mereka berkata, "Hendaklah masing-masing dari kita mohon pada Allah apa yang ingin dia cita-citakan."
            Khayalan mereka pun terbang bebas di alam nan luas. Angan-angan mereka berputar-putar di taman-taman harapan nan hijau. Abdullah bin Zubair berkata, "Aku ingin menguasai Hijaz dan memegang khilafah."    
Mush'ab berkata, "Kalau aku, ingin menguasai dua Irak (Kufah dan Bashrah) sehingga tak ada orang yang menyaingiku."
Sedangkan Abdul Malik bin Marwan berkata, "Jika Anda berdua hanya puas dengan hal itu, maka aku takkan puas kecuali menguasai dunia dan memegang kekhilafahan setelah Muawiyah bin Abi Sufyan."
Sementara itu, Urwah bin Zubair terdiam. Ia tak berbicara satu kalimat pun. Saudara-saudaranya menoleh ke arahnya dan berkata, "Apa yang kamu cita-citakan, wahai Urwah?"     
            Dia menjawab, "Mudah-mudahan Allah memberkahi kalian terhadap yang kalian cita-citakan dalam urusan dunia. Sedangkan aku hanya ingin menjadi seorang alim yang amil (berilmu dan mengamalkan ilmunya). Orang-orang belajar Kitab Allah, Sunnah Nabi dan hukum-hukum agama kepadaku. Aku mendapatkan pahala di akhirat dengan ridha Allah dan mendapatkan surga-Nya."
            Waktu pun berjalan begitu cepat. Allah mengabulkan permohonan hamba-Nya. Abdullah bin Zubair dibai'at menjadi khalifah setelah kematian Yazid bin Muawiyah (Khalifah Kedua Bani Umayyah). Dia pun menguasai kawasan Hijaz, Mesir, Yaman, Khurasan dan Irak, seperti cita-citanya. Kemudian dia dibunuh di sisi Ka'bah tak jauh dari tempat dia pernah bercita-cita tentang hal itu.
            Mush'ab bin Zubair pun menguasai pemerintahan Irak sepeninggal saudaranya, Abdullah. Namun dia juga dibunuh dalam mempertahankan kekuasaannya tersebut.
            Demikian pula Abdul Malik bin Marwan. Ia memangku jabatan khalifah setelah ayahnya wafat, dan di tangannya kaum Muslimin bersatu setelah Abdullah bin Zubair dan saudaranya, Mush'ab, terbunuh. Abdul Malik menjadi penguasa terbesar di masanya.
            Urwah bin Zubair yang dilahirkan setahun sebelum berakhirnya kekhilafahan Umar al-Faruq, pun mencapai cita-citanya. Dia menjadi ulama besar dan termasuk tujuh di antara fuqaha Madinah di masanya. Seperti yang dia cita-citakan, orang-orang berduyun-duyun datang menemuinya. Ada yang ingin belajar al-Qur’an, hadits dan bertanya tentang hukum Islam. Bahkan, yang mendatanginya bukan hanya rakyat biasa, tapi juga pejabat.
            Umar bin Abdul Aziz pernah mendatanginya. Di hadapan Urwah dan tokoh Madinah kala itu, Umar berkata, “Aku tak ingin memutuskan sesuatu tanpa pendapat kalian, atau pendapat orang yang hadir dari kalian di sini. Jika kalian melihat seseorang menyakiti orang lain, atau mendengar suatu kezaliman dilakukan oleh pegawaiku, demi Allah, aku meminta agar kalian melaporkannya padaku.”
            Urwah bin Zubair benar-benar menyatukan ilmu dan amal. Dia sering berpuasa di kala hari demikian teriknya, dan shalat di kala malam gelap gulita. Ia selalu membasahi lisannya dengan dzikir kepada Allah. Dia juga selalu tekun membaca al-Qur’an. Diceritakan, setiap hari, dia membaca seperempat al-Qur'an dengan melihat ke mushaf. Kemudian membacanya dalam shalat malam hari dengan hapalan. Kebiasannya itu tak pernah dia tinggalkan hingga wafat kecuali satu hari saat ia pingsan.
            Urwah bin Zubair seorang dermawan, pema'af dan pemurah. Di antara contoh kedermawanannya, dia mempunyai sebuah kebun yang paling luas di seantero Madinah. Airnya nikmat, pohon-pohonnya rindang dan kurma-kurmanya tinggi. Dia memagari kebunnya selama setahun untuk menjaga agar terhindar dari gangguan binatang dan keusilan anak-anak. Dan, jika sudah datang waktu panen, buah-buahnya siap dipetik, dia menghancurkan kembali pagar kebunnya supaya orang-orang mudah memasukinya dan mengambil buah-buahan di dalamnya.
            Di antara pelajaran menarik dari kisah Urwah bin Zubair dan saudara-saudaranya tersebut adalah peranan cita-cita. Cita-cita ibarat kompas yang mengarahkan laju perjalanan hidup seseorang. Usaha, motivasi dan semangat kerja seseorang turut dipengaruhi oleh cita-citanya. Semangat hidup seorang anak yang sejak kecil bercita-cita ingin meneruskan pendidikan sampai ke bangku kuliah, berbeda dengan anak yang cita-citanya hanya ingin tamat SMU.
            Ibarat perlombaan lari, cita-cita adalah garis finish. Semakin jauh garis finish yang ditentukan, semakin besar juga motivasi dan usaha yang disiapkan. Semangat seorang pelari yang menargetkan garis finishnya 40 km, berbeda dengan yang hanya menargetkan 20 km. Ketika keduanya sama-sama mencapai km ke-15, pelari yang menargetkan 20 km tentu sudah merasa kepayahan. Motivasi dan semangat yang disiapkan tak sebesar pelari yang menargetkan 40 km. Untuk mencapai cita-citanya ia hanya membutuhkan perjalanan 5 km lagi. Sedangkan pelari yang menargetkan 40 km masih harus mempersiapkan semangat dan motivasi besar. Ia masih menyisakan lebih dari separuh perjalanan lagi yang mesti ia tempuh.
Begitulah cita-cita. Karenanya, Islam menganjurkan kita untuk bercita-cita setinggi mungkin. “Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit,” demikian nasihat yang sering kita terima dari orang tua. Bahkan, cita-cita itu boleh lebih dari satu dan bersifat “abstrak”. Kalau boleh dibedakan, cita-cita Abdullah bin Zubair, Mush’ab bin Zubair dan Abdul Malik bin Marwan bersifat nyata, yaitu jabatan. Berbeda dengan cita-cita Urwah yang sedikit bersifat “abstrak”: ada tapi seolah tak tersentuh. Cita-cita Urwah tak berbatas. Ia ingin menjadi orang berilmu yang mengamalkan ilmunya. Ia ingin surga.
Begitulah hendaknya kita bercita-cita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar