Selasa, 26 April 2016

Memimpin untuk Rakyat


Oleh : Hepi Andi Bastoni
IG : @HepiAndiBastoni

"Kami telah memilihmu, wahai Amirul Mukminin.
Kami ridha terhadapmu."

Aturlah urusan kami dengan karunia dan berkah Allah.”Suara itu terus menggema. Dukungan atas diangkatnya Umar bin Abdul Aziz sebagai kha­lifah menggantikan Sulaiman bin Abdul Malik, terus mengalir. Rakyat secara aklamasi meng­angkat laki-laki sederhana itu sebagai khalifah. Ketika suara dukungan itu mulai se­nyap dan suasana agak tenang, Umar bin Abdul Aziz memuji Allah. Ia ber­shalawat pada Nabi Muhammad saw, hamba dan utusan Allah.


Khalifah Kedelapan Bani Umay­­yah itu mulai mengeluarkan kata-kata bernasnya. Ia mengan­jurkan orang-orang supaya ber­tak­wa, me­ngajak supaya berzu­hud dari ke­hidupan dunia, men­sugesti mereka kepada kehidup­an akhirat dan meng­ingatkan pada kemati­an. In­tonasi suaranya mampu me­lunak­kan hati yang keras, menja­dikan air mata durha­ka bercucuran deras keluar dari lubuk hati pe­mi­lik­nya sehingga terpateri  dalam lubuk hati pendengarnya.

“Wahai manusia, barangsiapa yang taat kepada Allah, dia wajib ditaati. Barangsiapa yang bermaksiat pada Allah, tak seorang pun yang boleh taat padanya. Wahai manusia, taatilah aku selama menaati Allah dalam menangani urusan kalian. Jika aku bermaksiat pada Allah, kalian tidak usah taat kepadaku,” ujar Umar.

Kemudian ia turun dari mimbar untuk me-nuju rumahnya dan masuk ke kamarnya. Ia be­nar-benar ingin beristirahat dari kelelahan yang amat sangat, usai “mengepalai” proses pema­kaman khalifah sebelumnya, Sulaiman bin Abdul Malik. Ia ingin sedikit menghela napas dan melemaskan otot dan pikirannya. Benar-benar sejenak. Tidak lama.

Namun baru saja Umar bin Abdul Aziz mele­takkan punggungnya di tempat tidur, putranya, Abdul Malik yang waktu itu baru menginjak usia tujuh belas tahun, datang dan berkata, “Apa yang ingin ayah lakukan?”

Umar menjawab, “Wahai anakku, aku ingin ti­dur sejenak. Sungguh tak tersisa lagi tenagaku ini.”
“Apakah ayah masih ingin tidur sejenak se­belum mengem­­balikan hak-hak orang yang dizalimi?” kata put­ranya lagi.

“Aku tidak tidur semalaman ka­rena mengurus pamanmu, Su­laiman. Nanti kalau datang wak­tu Zuhur, aku akan shalat bersama orang-orang dan akan mengem­balikan hak-hak mere­ka yang dizalimi, insya Allah.”

Sang putra berkata lagi, “Sia­pa yang menjaminmu, wahai Ami­rul Mukminin kalau usiamu bi­sa sampai Zuhur?”

Ucapan ini membakar sema­ngat Umar dan melenyapkan rasa kantuk kedua matanya. Kekuatan dan kesegaran badannya yang sebe­lumnya lelah, bangkit. Ia pun berkata pada putranya, “Mendekatlah kemari, wahai putraku!”

Sang putra pun mendekat dan Umar lang­sung memeluk dan menciumi keningnya sera­ya berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah melahirkan dari keturunanku orang yang meno­longku dalam menjalankan agama.”

Umar berdiri dan memerintahkan penga­wal­nya supaya mengumumkan pada orang-orang, “Barangsiapa yang merasa teraniaya, maka hendaklah dia mengajukan perkaranya.”

Potongan kisah di atas hanyalah salah satu dari penggalan kehidupan Umar bin Abdul Aziz. Mungkin banyak orang yang mampu hidup se­derhana di masanya, tapi sedikit yang mau merasakan penderitaan rakyat. Banyak yang bisa hidup zuhud, menghindari gemerlap dunia yang terus menggoda. Tapi, sangat sedikit yang bisa turut langsung merasakan kesengsaraan orang-orang susah.
Jeritan masyarakat kadang terlalu kecil bagi telinga para pejabat untuk didengar. Tangisan orang-orang miskin seringkali hilang begitu saja ditelan dengkuran para wakil rakyat. Telinga mereka terlalu kecil untuk mendengar keluhan rakyat kecil.

Hidup sederhana di tengah gelamor dunia dan empuknya kekuasaan memang sulit. Tapi justru amat lebih sulit lagi untuk mampu mera­sakan penderitaan si miskin. Lebih sulit dari itu adalah turut berempati—tak sekadar simpati—terhadap kesengsaraan orang-orang susah.

Paling tidak ada dua pelajaran menarik yang diberikan Umar bin Abdul Aziz dan putranya pada kita. Pertama, betapa pentingnya orang-orang seperti Abdul Malik bin Umar bin Abdul Aziz. Orang seperti dia suatu saat bisa menjadi motivator ke­baikan dan pada saat yang sama menjadi penge­rem untuk tidak tergelincir pada kejahatan. Ia menjadi penasihat untuk melakukan amar ma’ruf dan pengingat dari melakukan perbuatan munkar.

Pada masa sekarang sosok seperti Abdul Malik bin Umar bin Abdul Aziz sangat dibutuhkan. Bagaimana pun tinggi tingkat ketakwaan dan kezuhudan seorang pemimpin, ada kalanya ia lalai. Di kala itulah ia memerlukan orang yang meluruskan jalan kepemimpinannya.

Kedua, kerendah-hatian Umar bin Abdul Aziz dalam menerima nasihat putranya. Meski dalam keadaan sangat lelah setelah mengebumikan kha­lifah pendahulunya, Umar bin Abdul Aziz tak mau menunggu sampai “sekadar” datangnya wak­tu Zuhur. Sebab, yang menantinya bukan urus­an pribadi, tapi menyangkut hajat rakyat banyak.

Sungguh jauh berbeda dengan sikap pe­mimpin dan wakil rakyat saat ini. Kasus molor­nya penundaan DPR menyikapi kenaik­an BBM merupakan bukti nyata ketidak-ber­pihakan mereka terhadap rakyat. Ironisnya, tarik ulur keputusan itu juga diwarnai dengan tindakan memalukan. Padahal, mereka adalah wakil rakyat yang seharusnya menjadi corong aspi­rasi masyarakat. Kasus ricuhnya anggota de­wan pada Rabu (16/03) menjadi tontonan buruk yang teramat memalukan.

Kasus seperti ini bukan kali yang pertama. Tak heran kalau pada 18 November 1999 saat berlangsung sidang pleno, Gus Dur mengata­kan bahwa DPR seperti Taman Kanak-kanak. Lebih berani lagi, saat anggota DPR deadlock ketika rapat perebutan “kekuasaan” antar kubu Koalisi Kerakyatan dan Koalisi Kebangsaan (PDIP, Golkar dan PDS), Gus Dur dengan ung­kapan pe­dasnya berkata, “DPR bukan taman kanak-kanak lagi, tetapi sudah melorot menjadi playgroup.”

Presiden yang mengeluarkan keputusan itu sendiri adalah orang yang paling bertang­gung jawab. Seperti diungkap oleh beberapa anggota dewan yang pro dengan keputusan itu, kenaikan BBM memang adalah bom waktu yang suatu saat harus diledakkan. Tapi, seha­rusnya bom itu diledakkan pada masanya se­hing­ga tidak mengakibatkan kerusakan. Sebe­lum diledakkan, perangkatnya harus disiapkan lebih dahulu. Jika tidak, ia bisa jadi “pembunuh” peledak itu sendiri.

Umar bin Abdul Aziz dan putranya telah meng­ajarkan bagaimana seharusnya menjadi pe­mimpin. Menjadi pemimpin tak sekadar ber­mak­na mengendalikan kekuasaan. Menjadi pemimpin bukan sekadar menjadi pengatur urusan orang banyak. Menjadi pemimpin berarti menjadi orang pertama yang merasakan apa yang dirasakan masyarakat. “Jika rakyat me­rasakan kenikmatan, maka sayalah orang ter­akhir yang merasakannya. Tapi, kalau rakyat me­rasakan kesengsaraan, maka sayalah orang pertama yang merasakannya,” pesan Umar bin Khath­thab, pendahulu Umar bin Abdul Aziz.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar