Kamis, 07 April 2016

Kuat Jasmani dan Ruhani


Oleh : Hepi Andi Bastoni
IG : @Hepiandibastoni

Suatu ketika Raja Romawi mengirim  sepucuk surat kepada  Muawiyyah bin Abi Sufyan, penguasa Daulat Umayyah kala itu. Isinya, “Di antara adat kebiasaan raja-raja kami adalah saling menghibur, dengan jalan mengirimkan sesuatu yang “aneh” untuk diadu. Apakah Anda bersedia?”
            Surat itu dibalas Muawiyah dengan jawaban yang bernada mengizinkan. Kemudian, raja Romawi itu mengutus dua lelaki “aneh” kepada  Muawiyyah. Yaitu, seorang laki-laki jangkung, dan seorang laki-laki kuat perkasa.
Bersamaan dengan itu, raja Romawi mengirim juga sepucuk surat yang isinya, “Apakah di kerajaan Anda ada orang yang bisa menandingi kedua orang ini, baik tinggi maupun kekuatan?”
            Muawiyyah berkata kepada  Amr bin Ash, “Untuk menandingi orang tinggi itu, saya telah mendapatkan lawannya. Bahkan, mungkin lebih tinggi. Dialah Qais bin Sa’ad bin Ubadah. Tetapi orang kuat untuk menandingi yang satunya lagi, saya perlu pendapatmu!”


            “Ada dua orang kuat untuk menghadapinya. Namun, kedua orang itu tak dekat dengan Anda. Mereka adalah Muhammad al-Hanafiyah (salah seorang putra Ali bin Abi Thalib) dan Abdullah bin Zubair,” jawab Amr.
            “Muhammad al-Hanafiyah tak jauh dengan kita (tidak memusuhi,red),” kata Muawiyyah.
            “Tetapi, apakah dengan kedudukannya yang terhormat di mata umat itu dia bersedia diadu dengan orang kuat Romawi tersebut di hadapan khalayak ramai?” tanya Amr.
            “Dia akan melakukan itu. Bahkan, lebih dari itu, kalau dianggapnya untuk kemuliaan Islam,” lanjut Muawiyyah.
            Muawiyyah pun mengundang Qais bin Saad dan Muhammad al-Hanafiyah untuk datang menghadapnya. Seperti harapan Muawiyah, keduanya setuju. Setelah semuanya berkumpul,  pertandingan pun dimulai.
            Pertama-tama Qais bin Saad melawan utusan kerajaan Romawi itu. Ia menang. Tubuhnya jauh lebih jangkung dibanding lawannya. Kemudian dilanjutkan pertandingan adu kekuatan antara Muhammad al-Hanafiyah melawan orang kuat dari Romawi tersebut. Muhammad al-Hanafiyah berkata kepada penerjemah, “Katakan kepada  orang itu, apakah ia akan duduk dan saya tegak, lalu masing-masing saling berusaha untuk menegakkan lawan atau mendudukannya? Atau, kalau ia mau, dia tegak dan saya duduk?”
Orang Romawi itu memilih duduk. Muhammad al-Hanafiyah memegang tangan lawannya dan mengangkatnya sampai berdiri tegak. Sebaliknya, orang Romawi itu tak mampu mendudukkannya.
Orang Romawi itu belum  puas. Dia tegak dan Muhammad bin al-Hanafiyah disuruhnya duduk. Sama seperti sebelumnya, masing-masing memegang tangan lawannya. Kemudian Muhammad al-Hanafiyah menarik kedua tangan lawannya dengan keras sehingga dia merasa seakan-akan lengannya hampir lepas dari persendian. Tanpa bisa berbuat banyak, ia pun dengan mudah ditaklukkan Muhammad al-Hanafiyah. Dengan demikian, kedua  utusan Romawi itu pun kalah. Keduanya kembali ke negerinya dalam keadaan terhina.
Muhammad al-Hanafiyah memang diabadikan sejarah sebagai orang kuat yang bertubuh kekar. Putra Ali bin Abi Thalib, yang lahir menjelang  berakhirnya pemerintahan Abu Bakar ash-Shiddiq ini tumbuh dan berkembang di bawah asuhan ayahnya, Ali bin Abi Thalib. Ia langsung mendapat pendidikan dari sang ayah. Dari ayahnya dia belajar ibadah dan kezuhudan. Dari ayahnya pula dia mewarisi keperkasaan dan keberanian, serta kefasihan dan kepandaian berpidato. Muhammad al-Hanafiyah tumbuh menjadi pemuda gagah perkasa di medan laga, dan ahli pidato yang  mengagumkan. Di samping itu, ia pun seorang ahli ibadah yang tekun dan khusyu’, khususnya bila malam telah larut dan semua mata  telah  terpejam.
            Sejak muda, ia diterjunkan ke berbagai peperangan bersama ayahnya. Ia mendapat gemblengan yang sangat keras dan ketat dari ayahnya melebihi kedua saudaranya Hasan dan Husain.  Dengan demikian, ia menjadi orang yang  pantang menyerah dan pantang mundur.
Suatu ketika ia ditanya, “Mengapa ayahmu selalu menerjunkanmu ke tempat-tempat yang berbahaya dan membebanimu dengan beban-beban yang berat melebihi kedua saudaramu Hasan dan Husain?”
Ia menjawab, “Karena kedua kakak saya diposisikan ayah seperti kedua biji matanya. Sedangkan saya seperti kedua belah tangannya. Ayah menjaga kedua matanya dengan kedua tangannya.”
Di tengah gencarnya serangan musuh-musuh Islam saat ini, kaum Muslimin hendaknya “rajin” melahirkan sosok seperti Muhammad al-Hanafiyah. Jika kita bandingkan keadaan fisik umat Islam saat ini dengan kondisi Rasulullah saw dan para sahabatnya di mata musuh, sungguh jauh berbeda. Saat ini, baik (fisik) jasmani maupun ruhani, umat Islam kalah. Tubuh mereka kalah pendek dan kekar dibanding orang-orang kafir. Dengan demikian, seandainya diajak duel pun, kita tak cukup berani untuk menghadapinya.
Hal ini tak selalu disebabkan oleh faktor keturunan. Bisa jadi karena makanan yang kita konsumsi memang kadar gizinya rendah. Makanan sampah di Barat (junk food) menjadi makanan favorit kita. Makanan cepat saji (fast food) yang kalau di Barat umumnya dikonsumsi oleh para supir dan kalangan berekonomi menengah ke bawah, di Indonesia makanan tersebut dianggap makanan berkelas tinggi. Untuk menyantapnya, orang-orang Barat biasanya hanya membutuhkan waktu lima menit, sedangkan di Indonesia bisa berjam-jam.
Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang banyak menghasilkan aneka buah dan sayuran. Tapi, sari buah dan sayuran itu “dibuang” keluar dan dinikmati orang-orang Barat. Anak-anak Muslim kita hanya diberi “rasanya”.
Minuman rasa jeruk, strewberi, melon, nanas yang menjadi kebanggaan anak-anak Muslim Indonesia, boleh jadi hanya dicampur dengan kulit buahnya saja. Selebihnya tak ada kandungan gizi. Padahal, sebagian besar buah-buahan tersebut dihasilkan oleh petani Indonesia.
Di sisi ruhani pun demikian. Isu terorisme yang terus digaungkan, cukup membuat umat Islam ketakutan dan ciut nyalinya sebelum berperang. Generasi muda selalu dicekam rasa takut. Akibatnya, kekuatan ruhani mereka pun tak bisa berkembang.
Padahal, yang menyebabkan kemenangan kaum Muslimin di beragam medan peperangan adalah kondisi jasmani dan ruhani mereka yang memang kuat. Saat diajak duel, mereka selalu keluar sebagai pemenang. Bahkan, Rasulullah saw sendiri dikenal sebagai sosok yang jago gulat dan menang ketika diajak adu kekuatan.

Karenanya, menjadi kewajiban kita untuk melahirkan generasi kuat, baik jasmani maupun ruhani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar