Kamis, 21 April 2016

Lahirkan Generasi Umar



Oleh : Hepi Andi Bastoni
IG : @hepiandibastoni

Damaskus sedang tersenyum manis menyambut datangnya musim semi. Berbangga dengan kesuburan tanah dan taman-tamannya yang indah berseri. Hari itu Muawiyah bin Abi Sufyan tengah bersiap menerima para utusan di istananya. Ketika kesempatan pertama dibuka, Ummul Hakam binti Abi Sufyan, kakak perempuannya, segera menyelinap di balik tabirnya. Dari situ dia bisa mendengarkan pembicaraan-pembicaraan dalam majelis kakaknya tentang beragam hal.
          Tak seperti biasanya, kali ini Ummul Hakam mendapati tamu kakaknya membawa suasana tegang dan menggetarkan. Dia mendengar kakaknya berkata, “Demi Allah wahai Ahnaf, setiap kali aku ingat perang Shiffin dan betapa Anda memihak pada Ali bin Abi Thalib kemudian meninggalkan kami, rasa kesal di hatiku serasa tak terobati.”


          Lawan bicaranya tak kalah tegas menjawab, “Demi Allah wahai Mu’awiyah, rasa benci pun masih melekat di hati kami. Pedang-pedang yang kami pakai untuk melawan Anda masih ada di tangan. Bila Anda maju selangkah kami akan maju sepuluh langkah. Bila Anda maju dengan berjalan, kami akan maju dengan berlari. Demi Allah, kami ke sini bukan untuk mengemis atau gentar akan murka Anda. Kami datang untuk menguatkan hubungan yang retak di antara kita, menyatukan pendapat dan menyatukan kaum Muslimin.” Setelah itu tamu tersebut mohon diri.
          Rasa penasaran muncul di benak Ummul Hakam. Disingkaplah tabir penutup untuk melihat siapa yang bersikap “kasar” terhadap khalifah itu. Ternyata dia seorang yang bertubuh kecil, berkepala botak, dagunya miring, matanya cekung dan kedua kakinya bengkok ke dalam. Tiada kekurangan jasad yang dimiliki manusia melainkan dia mendapatkannya.
          Ummul Hakam menoleh pada kakaknya dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, siapakah orang itu? Berani benar mengancam khalifah di isitananya.”
Mu’awiyah menghela napas panjang lalu berkata, “Begitulah, jika dia sedang marah niscaya seratus ribu penduduk Bani Tamim akan ikut marah tanpa tahu sebabnya. Dia adalah Ahnaf bin Qais pemuka Bani Tamim dan pahlawan bangsa Arab.”
Ahnaf bin Qais nama laki-laki itu. Ia termasuk generasi tabiin yang lahir pada tahun ketiga Hijriyah. Walaupun hidup semasa dengan Rasulullah saw, tapi ia tak pernah bertatap muka. Namun demikian, ia sempat berguru pada beberapa sahabat senior semisal Umar bin Khaththab. Keutamaan Ahnaf semakin sempurna karena ia pernah didoakan Rasulullah saw secara khusus.
Ahnaf bin Qais pernah berguru secara langsung dan intensif selama satu tahun penuh pada Umar bin Khaththab. Tak heran kalau kemudian Ahnaf mewarisi keberanian Umar. Meski tubuhnya kecil, tapi keberaniannya laur biasa.
            Keberanian inilah yang mesti diwariskan pada generasi muda sekarang. Kalau rasa permusuhan Yahudi dan Nasrani begitu besar (QS al-Baqarah: 120), seharusnya kaum Muslimin—minimal—mempunyai perasaan yang sama terhadap mereka. Anak-anak harus diajarkan bagaimana merasa “sakit” kalau saudara-saudaranya dibantai. Mereka harus dididik agar mau berkorban untuk saudaranya yang membutuhkan.
            Militansi dan kebanggaan sebagai Muslim tak mungkin lahir begitu saja. Ia harus ditanamkan sejak dini. Keteladanan orang tua menempati urutan pertama. Anak tak bisa diharapkan akan mempunyai jiwa militan jika orang tuanya penakut.
Perjalanan dakwah Rasulullah saw dan para sahabat sungguh sarat keteladanan. Dalam beberapa pertempuran di masa Rasulullah tak sedikit yang diikuti oleh “anak di bawah umur”. Pada perang Uhud, Rasululullah saw mengizinkan Rafi’ bin Khudaij dan Samrah bin Jundub untuk ikut. Padahal keduanya masih kecil. Dalam beberapa kesempatan lain Rasulullah sering membawa kedua cucunya, Hasan dan Husain mengikuti berbagai pertemuan. Bahkan, yang berhasil membunuh Abu Jahal dalam perang Badar adalah dua anak kecil: Muadz bin Amr bin Jamuh dan Muawwadz bin Afra’.
Karena itu, ruh jihad dan sense of war harus ditanamkan sejak dini. Termonologi jihad harus sering diperdengarkan pada anak. Sehingga, mereka tidak alergi atau asing dengan kata itu. Tentu saja penjelasannya harus diberikan sesuai perkembangan anak.
Selain menanamkan hal-hal yang normatif seperti itu, anak juga bisa dibekali sarana bermain yang mendidik. Misalnya, menunggang kuda, memanah, atau berenang. Orang tua juga harus melibatkan anak dalam kegiatan sosial. Di antaranya, membangun masjid, mengumpulkan dana untuk kaum Muslimin yang sedang tertindas, ikut mendoakan mereka dan memberikan pemahaman bahwa ukhuwah islamiyah tak dibatasi tempat atau negara. Selain itu, kumandang nasyid dan lagu-lagu perjuangan juga membantu menumbuhkan ruh jihad anak.
Anak perlu dibiasakan dan diajarkan hidup dalam realitas sosialnya. Orang tua tak boleh mengekang kreativitas anak dengan mengurungnya di rumah dan melarangnya bermain hanya karena takut terpengaruh oleh orang lain. Justru, sang anak yang seharusnya menjadi “guru” dan teladan bagi teman-temannya.
Kalau anak biasa dikekang, ia mungkin berani dalam rumah, tapi penakut saat bergaul dengan teman-temannya. Ketika berinteraksi dengan teman-temannya, anak belajar banyak hal. Ia belajar bagaimana melaksanakan kewajiban, dan mempertahankan haknya. Tanpa interaksi dan tanpa pergaulan, tak mungkin anak bisa menjadi pemberani.
Dalam aspek yang lebih tegas lagi, tak hanya militansi dan ketegaran mempertahankan hal yang harus dipupuk, tapi juga keberanian anak melarang kemungkaran dan menegakkan yang makruf. Sejak dini anak harus dibiasakan alergi jika melihat kemungkaran. Anak harus berani mengatakan “tidak” kalau diajak teman-temannya bermain kelereng dengan taruhan, misalnya. Sang anak mesti berani juga melarang teman-temannya menyabung ayam. Anak harus dididik anti kemungkaran sejak kecil.
Namun demikian, tata krama, etika, dan adab tetap harus diperhatikan. Sehingga, militansi yang terbentuk tetap dalam batas-batas tatakrama dan etika Islami. Jika militansi dan kebanggaan pada agama ini tak dipupuk, kita akan mendapatkan generasi pengecut yang gampang dipengaruhi orang lain. Ini akan berpengaruh ketika dia dewasa kelak. Dia akan menjadi pejabat pengecut yang mudah disetir orang lain. Jika memimpin negara, ia akan jadi pemimpin gamang yang tak punya pendirian.
Saatnya kita lahirkan generasi Umar. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar