Selasa, 12 April 2016

Koalisi Rapuh



Oleh : Hepi Andi Bastoni
IG : @HepiandiBastoni

Suatu hari Rasulullah saw dan beberapa sahabatnya mendatangi Yahudi Bani  Nadhir untuk minta bantuan mem­bayar diyat dua orang Bani Kilab yang terbunuh. Ini merupakan kewajiban mereka sesuai perjan­jian Piagam Madinah.

Bani Nadhir menyanggupi permintaan itu. Mereka meminta Nabi saw dan para sahabat­­nya menunggu di suatu tempat. Semen­tara mereka pergi menemui beberapa temannya.

Watak asli bangsa Yahudi muncul. Melihat ada peluang untuk mence­lakai Rasulullah saw, mere­ka segera membuat ren­cana keji. Salah se­orang dari mereka segera menyi­apkan batu besar untuk dilemparkan di atas kepala Rasulullah saw!


Allah takkan membiar­kan Nabi-Nya celaka. Jibril turun memberitakan pada Rasulullah saw tentang rencana jahat itu. Beliau segera mening­galkan tempat duduk­nya tanpa diketahui siapa pun. Para sahabat lainnya segera menyusul ke Madinah. Seti­banya di Madinah, Rasulullah saw memberi tahu rencana orang-orang Yahudi itu.

Karena bangsa Yahudi menyalahi perjan­jian, Rasulullah saw segera menyiapkan sekelompok utusan yang dipimpin Muhammad bin Maslamah untuk mengusir mereka dari Madinah. “Keluarlah dari Madinah. Aku beri waktu sepuluh hari. Jika setelah itu aku melihat kalian di Madinah, akan kupenggal batang lehernya!” Demikian pesan Rasulullah saw yang disam­paikan pada Bani Nadhir.
Tak ada pilihan lain bagi Yahudi Bani Nadhir kecuali keluar dari Madinah. Mereka pun bersiap-siap. 

Namun, gembong munafik, Abdullah bin Ubay, mengirimkan utusan pada mereka dan mengatakan, “Kalian tetap tinggal di sini dengan senang hati. Jangan keluar dari tempat tinggal kalian. Aku akan membantu dengan dua ribu prajurit siap tempur dalam benteng kalian. Mereka  siap mati membela kalian. Jika kalian benar-benar diusir, kami pasti keluar bersama kalian  dan kami selamanya takkan taat kepada siapa pun yang hendak menyu­sahkan kalian. Jika kalian diperangi, kami akan  membantu. Kalian juga akan dibantu Bani Quraizhah dan sekutu mereka dari Ghathfan.”

Atas dorongan itu, ke­per­cayaan diri Yahudi Bani Nadhir muncul. Mereka mengambill keputusan untuk melakukan perla­wanan. Pemimpin me­reka, Huyay bin Akhthab, mengirimkan  utusan pa­da Rasulullah saw untuk menyampaikan keputus­an, “Kami takkan keluar dari tempat tinggal kami. Silakan bertindak sesuka Anda!”

Begitu mendengar jawaban Huyay bin Akhtab, Rasulullah saw bertakbir, kemudian berangkat bersama para sahabatnya untuk mengepung mereka. Bani Nadhir bersem­bunyi dalam benteng-benteng dan melem­pari kaum Muslimin dengan anak panah dan batu. Dalam hal ini, keberadaan kebun kurma sangat membantu orang-orang Yahudi. Rasulullah saw memerintahkan agar membabat habis dan membakar kebun kurma tersebut.

Orang Yahudi berperang sendirian. Mereka ditinggalkan Bani Quraizhah, dan dikhianati Abdullah bin Ubay dan sekutu-sekutunya dari Ghathfan. Tak seorang pun yang mem­berikan bantuan. Allah SWT mengumpamakan mereka seperti syaithan, “Bujukan orang-orang munafik itu seperti (bujukan) syaithan ketika dia berkata kepada manusia,’Kafirlah kamu. Lalu, tatkala manusia itu telah kafir ia berkat­a, ’Sesung­guhnya aku berlepas diri dari kamu’,” (QS al-Hasyr: 16).

Pengepungan berlangsung selama bebe­rapa hari. Karena tak kunjung mendapat bantuan dari Abdullah bin Ubay dan sekutunya, akhirnya Bani Nadhir menyerah dan menyatakan diri keluar dari Madinah. Rasulullah saw memper­bolehkan mereka membawa semua miliknya yang dapat diangkut, kecuali senjata.

Bani Nadhir pergi setelah menghancurkan rumah-rumah agar dapat membawa pintu-pintu dan jendela-jendela. Bahkan seperti dituturkan Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya, sebagian mereka ada yang membawa tiang-tiang penopang. Mereka juga membawa istri dan anak-anak. Semuanya diangkut dengan enam ratus unta.

Mayoritas Bani Nadhir termasuk pimpinan mereka, Huyay bin Akhthab dan Salam bin Abul Haqiq berangkat menuju Khaibar. Sebagian lagi berangkat ke Syam. Sementara yang masuk Islam hanya Yamin bin Amru dan Abu Sa’d bin Wahb. Keduanya mendapat­kan hartanya.

Rasulullah saw menyita senjata, tanah, ru­mah, dan harta benda mereka. Senjata yang di­­da­patkan sebanyak lima puluh perisai, lima pu­luh topi baja,dan tiga ratus empat puluh pedang.

Perang yang terjadi pada Rabi’ul Awal tahun 4 H atau Agustus 625 M ini diabadikan Allah dalam al-Qur’an. Allah menurunkan surat al-Hasyr secara keseluruhan. Karenanya, tentang surat al-Hasyr ini, Ibnu Abbas berkata, “Katakan­lah surat ini adalah surat an-Nadhir.”

Akhir riwayat para pengkhianat dalam kisah ini menjelaskan banyak hal. Di antaranya, umat Islam harus meningkatkan kewaspadaan, khususnya saat berada dalam ikatan perjan­jian dengan pihak lawan.

Ketika berada di atas panggung politik, semuanya tak bisa dilihat secara hitam putih. Ada wilayah abu-abu yang mengharuskan kita untuk berinteraksi bahkan melakukan kerja sama dengan musuh politik.

Tindakan ini menjadi boleh jika memenuhi syarat: tak merugikan kepentingan umat Islam dan tonggak kendali dipegang kaum Muslimin. Ini yang dilakukan Rasulullah saw dan para sahabatnya ketika melakukan ikatan Piagam Madinah dengan orang-orang Yahudi.

Perjanjian itu menguntungkan karena kaum Muslimin aman dan bebas berdakwah di Madinah. Di sisi yang sama, saat perjanjian itu ditanda-tangani, kaum Muslimin juga yang memegang kendali. Sehingga, ketika bangsa Yahudi berkhianat, Rasulullah saw dan para sahabatnya bisa bertindak seperti yang mereka lakukan terhadap Yahudi Bani Nadhir.

Dalam berpolitik tak ada kawan abadi. Yang ada hanyalah kepentingan. Karenanya, ketika melakukan ikatan koalisi, umat Islam tetap harus waspada. Tak boleh lengah meski seke­jap. Tak boleh ada kata maaf untuk menindak pengkhianat.

Hal lain yang menarik diamati dalam kisah di atas adalah begitu rapuhnya koalisi kafir. Ikatan yang tak dilandasi dengan pondasi akidah, takkan bisa bertahan lama. Ini yang dialami beragam partai di negeri ini. Umumnya, koalisi atau kerja sama yang mereka jalin dilandasi kepentingan politik sesaat. Ketika kepentingan itu usai, kerja sama pun putus. Ketika kebutuhan mereka tak lagi ada, peng­khia­natan pun dilakukan.

Bagi umat Islam, ini pelajaran penting. Kerja sama yang dilakukan, baik secara personal maupun kelompok seharusnya tak didasari kepentingan untuk mendapatkan jabatan, kedudukan atau harta. Semua kepentingan itu hanya sesaat. Ia akan segera lenyap seiring putusnya jalinan kerja sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar