Senin, 02 Mei 2016

Mencari Popularitas


Oleh : Hepi Andi Bastoni
IG : @HepiandiBastoni

Ia adalah putri Abdullah bin al-Haris bin Uwaimir bin Naufal al-Anshariyah. Dalam lembaran sejarah, ia lebih dikenal dengan Ummu Waraqah binti Naufal. Ia merupakan shahabiyat yang memiliki ghirah (semangat) tinggi terhadap Islam. Ummu Waraqah bercita-cita untuk mati syahid di jalan Allah. Karena itu, ia menemui Rasulullah saw dan meminta izin untuk diperkenankan ikut ke medan Badar. “Ya Ra­su­lullah, izinkan aku berangkat bersama Anda, sehingga aku dapat mengobati orang-orang yang terluka, merawat orang yang sakit, dan agar Allah mengaruniaiku sya­hadah (mati syahid).”


Rasulullah saw menja­wab, “Sesungguhnya Allah akan mengaruniaimu sya­hadah. Tapi ting­gallah kamu di rumahmu, karena engkau ada­lah syahidah (orang yang akan mati syahid).”

Ummu Waraqah terma­suk di antara mereka yang ahli membaca al-Qur’an. Karena itu, Nabi saw memerin­tahkannya untuk menjadi imam ba­gi para wanita di rumahnya. Dan, Ra­sulullah saw menyiapkan seorang muadzin bagi mere­ka.

Disebutkan dalam riwayat Abu Daud dari hadits Abdurrahman bin Khalad bahwa Ra­sulullah saw mengunjungi Ummu Waraqah di rumahnya, kemudian memberikan seorang muadzin. Abdurrahman berkata, “Aku melihat muadzin tersebut seorang laki-laki yang sudah tua.” (Nisaa’ Haular Rasuuli, Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Mushthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi).

Kisah tersebut menjadi “landasan” kaum liberal untuk mengesahkan wanita menjadi imam. Padahal, kisah di atas jelas menye­butkan bahwa Ummu Waraqah hanya menjadi imam di rumahnya (ahla daariha). Tak ada riwayat satu pun yang menyebutkan tentang adanya wanita yang menjadi imam shalat Jum’at yang sekaligus khatib.

Karenanya, tindakan nye­leneh Aminah Wadud yang memimpin shalat Jum’at di Gereja Katedral Saint John The Divine, New York (18/03) benar-benar mengejutkan dan keluar dari rel syar’i. Mengejutkan karena beberapa hal. Per­tama, Aminah Wadud menjadi imam pada shalat Jum’at. Kedua, ia juga yang menjadi khathib. Ketiga, adzan diku­man­dangkan oleh seorang wanita bernama Sueyhla al-Attar yang tak mengenakan jilbab. Keempat, ketika pelak­sanaan shalat berlangsung, jamaah laki-laki dan perempuan sejajar dalam satu shaf. Kelima, di antara jamaah perempuan  ada yang tak mengenakan jilbab. Keenam, pelaksanaan shalat Jum’at dilakukan di gereja.

Para ulama di dunia Islam, seperti Syaikhul Azhar Sayyid Thanthawi dan Yusuf Qaradhawi memberikan kritik keras terhadap peristiwa itu. Majma’ al-Fiqhi al-Islami (MFI), badan interna­sional dalam hukum Fiqh Islam, mengecam keras aksi  tersebut. MFI menilai tindakan Wadud ini sebagai bid’ah menyesatkan. Berdasarkan berbagai nash dalam hadits Rasulullah saw, MFI memutuskan, bahwa shalat Wadud dan kawan-kawannya tak memenuhi syarat dan mereka harus menggan­tinya dengan shalat Zuhur. Wakil Direktur Pusat Kebudayaan Islam di New York, Muhammad Shamsi Ali, juga menyatakan bahwa ibadah Jum’at versi Wadud itu tidak sah. 

Secara dalil-dalil syar’i, tindakan Wadud memang konyol. Namun, tentu saja, bagi Wadud dan kawan-kawan, berbagai argumen­tasi fiqh yang diajukan oleh  para ulama terkemuka itu tak dipedulikan. Sebab, mereka sudah dijejali paham ‘gender equality’ ala Barat yang sekular. Menurut mereka, laki-laki dan wanita harus dipandang sejajar. Tak boleh ada manusia yang diberi status hak istimewa atas dasar jenis kelamin. Yang menjadi dasar adalah kemampuan. Jika wanita lebih bagus bacaan al-Qur’annya, maka ia lebih berhak menjadi imam. Kepala rumah tangga tak didasarkan pada jenis kelamin, tapi berdasarkan kemam­puannya. Demikian pendapat mereka.

Sebenarnya, cara berpikir Wadud tidak konsisten. Ia protes karena tak diperbolehkan menjadi imam dan khatib shalat Jum’at. Tetapi, dia tidak protes, mengapa wanita tak boleh shalat saat haidh atau nifas. Harusnya, sesuai dengan perkembangan teknologi pengobatan, wanita tak perlu lagi dilarang meninggalkan shalat ketika haidh atau nifas. Toh, sudah ada alat yang bisa menjaga kebersihan wanita saat haidh sehingga bisa melakukan shalat.

Sepanjang sejarah Islam, kaum Muslim me­mahami konsep ‘kesetaraan’ antara laki-laki dan wanita. Telah lahir ribuan ahli fiqh wanita. Sejumlah guru para imam mazhab dan ulama hadits, juga wanita. Seorang ahli fiqh wanita ter­besar adalah Aisyah. Pendapatnya tak ber­beda dengan para sahabat. Para ulama  telah memahami konsep ‘equality’ dan ‘diskriminasi’ laki-laki dan wanita. Mereka tak memandang penempatan wanita di shaf belakang laki-laki sebagai satu bentuk penin­dasan.

Karenanya, konsep Wadud dan kawan-kawannya tentang ‘equality’ bukan dari Islam. Mereka mengadopsi konsep lain yang diguna­kan untuk meneropong Islam. Wajar jika hasil­nya amburadul. Buktinya, hingga kini Wadud belum menghasilkan sebuah cara pandang ke­il­muan yang sistematis dalam metodologi pe­ngam­bilan (istinbath) hukum Islam. Bisa di­duga, Wadud takkan konsisten dengan ga­gas­annya. Kita lihat, apakah setiap Jum’at dia men­jalankan ibadah shalat Jum’at sesuai gagas­annya.

Seharusnya, untuk mengokohkan  citra dirinya sebagai pejuang ‘gender equality’, Wadud  dan kawan-kawan bisa mengusulkan agar dunia menghapus semua diskriminasi antara laki-laki dan wanita. Dengan demikian, tak ada lagi pembedaan kategori laki-laki dan wanita dalam bidang olah raga. Tak ada lagi pembedaan toilet laki-laki dan wanita. Tak ada lagi hak cuti haidh dan melahirkan untuk wanita. Sebab, semua itu bentuk diskriminasi dan pelecehan wanita.

Di zaman seperti saat ini, hal yang tak ter­pikirkan sebelumnya, bisa saja terjadi. Seperti diungkapkan Adian Husaini dalam tulisannya di website Hidayatullah saat menyikapi masalah ini, jika Wadud menolak diskriminasi gender dalam soal ibadah, tapi menerima diskriminasi gender dalam olah raga dan ‘pertoiletan’, maka kita patut men­cermati. Kasus shalat Jum’at Wadud di Manhattan ini bukan soal fiqh. Tetapi masalah pola pikir dan kejiwaan.


Yang dicari oleh orang-orang seperti Ami­nah Wadud, bukan kebenaran tapi popu­laritas. Ia ingin semua orang tahu bahwa ia bisa khut­bah Jum’at dan bisa menjadi imam. Ini juga yang dicari para penganut liberalisasi di negeri kita. Hanya saja, selain popularitas, para pelacur agama di negeri ini juga memburu dolar. Mereka rela menghancurkan agamanya, demi men­dapat kucuran dana dari negara asing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar