Senin, 17 Juni 2013

Wanita dalam Lembaran Sejarah

Ada dua pandangan ekstrem tentang wanita. Ada yang menganggapnya sebagai benda, bisa dijual, diwariskan bahkan diperlakukan apa saja. Ada juga yang mendewakan dan memberikan kebebasan tanpa batas. Bagaimana pandangan Islam?


Di antara hal yang tak pernah tuntas dibicarakan adalah masalah wanita. Ia selalu menjadi isu sosial menarik sejak dulu, kini dan nanti. Di satu sisi ada yang memandang wanita sebagai makhluk yang diciptakan seperti benda. Ia bisa dijual, diwariskan bahkan diperlakukan apa saja.

            Di sisi lain ada yang menghendaki wanita itu bebas. Ia ingin semua belenggu yang dianggap mengikat kaum wanita lepas. Ia ingin wanita itu sama dengan laki-laki dalam hal apa pun. Bahkan fitrah dasar wanita, seperti menikah, mengandung dan melahirkan, tak diperdulikan.


Kedua pandangan berseberangan itu tampak jelas dalam lembaran sejarah. Peradaban Mesir Kuno misalnya, mengganggap wanita hanya sebagai “pelengkap penderita” bagi laki-laki. Tak heran kalau seorang raja memiliki puluhan gundik atau gadis-gadis tawanan. Bahkan, menurut Dr Ali Abdul Halim Mahmud dalam bukunya al-Mar’ah al-Muslimah wal Fiqhud Da’wah Ilallah, banyak di antara raja Mesir yang menikahi saudara perempuannya sendiri atau bahkan putrinya sendiri.

Selain itu, kisah tentang persembahan gadis cantik untuk sungai Nil dan kisah tentang adanya para penari wanita di negeri Mesir tak asing lagi di telinga kita. Semuanya ini menunjukkan betapa rendahnya kondisi wanita di zaman peradaban Mesir Kuno.

Di negeri Babylonia, nasib kaum Hawa tak jauh beda. Mereka dianggap barang dagangan yang bisa dijual belikan seenaknya. Menurut salah satu undang-undang Babylonia dulu, bila seorang istri sedang ditinggal pergi suaminya, ia bisa hidup dengan laki-laki lain sampai suaminya kembali. Praktik pelacuran adalah kebiasaan yang diwarisi di negari Babylonia ini hingga dihapuskan sekitar tahun 250 SM.

Menurut peradaban India Kuno, wanita tak punya hak sedikit pun untuk menentukan suami. Di antara mereka, banyak yang diwajibkan menjadi pelayan-pelayan Tuhan atau Kuil. Mereka diwajibkan melayani para tokoh Kuil yang dikenal dengan Dukun Brahmana. Undang-undang Peradaban India hanya membolehkan delapan macam perkawinan yang semuanya tak menjamin kehormatan wanita.

Menurut peradaban Cina, seorang suami boleh menjual istrinya kalau ia memerlukan uang. Seorang istri tak boleh makan bersama suaminya. Ia hanya diperkenankan makan dari sisa-sisa suaminya. Peradaban Cina Kuno juga membuat peraturan yang menempatkan wanita sebagai pemuas nafsu laki-laki. Marco Polo, pemimpin ekpedisi Spanyol pernah menyaksikan segerombolan pelacur di Cina saat ia datang ke tempat itu. Pemerintah Cina kala itu memang sengaja “memelihara” mereka untuk dipersembahkan kepada para tamu.

Pemerintah Yunani Kuno mengakui adanya praktik prostitusi secara resmi. Mereka dikenakan pajak untuk disetor pada negara. Dari penghasilan ini, pemerintah menganggap sumber ekonomi yang paling penting.

Beberapa ajaran agama-agama selain Islam pun menganggap kaum Hawa tak lebih dari sumber malapetaka. Misalnya, orang-orang Yahudi dan Nasrani menganggap yang membujuk Nabi Adam untuk memakan buah terlarang adalah istrinya, Hawa. Dialah yang telah membisiki Adam dan membujuknya untuk memakan buah tersebut. Dari sini kemudian wanita dianggap sebagai penyebab pertama “malapetaka kemanusiaan”. Wanitalah yang telah menyebabkan Adam dan keturunannya dikeluarkan dari surga (Qardhawi Bicara Soal Wanita, Arasy, Maret 2003).

Bagi wanita, ini merupakan kezaliman. Dalam Islam tak ada ajaran yang zalim seperti itu, baik berupa teks al-Qur’an maupun hadits. Dalam ajaran Islam, bukan wanita (Hawa) yang memengaruhi Adam, tapi iblis. Iblislah yang menjerumuskan Adam dengan segala tipu dayanya. Allah berfirman, “Kemudian iblis membisikkan pikiran jahat kepadanya dengan berkata, ‘Wahai Adam, maukah engkau aku tunjukkan kepadamu pohon kebaikan dan kerajaan yang tak pernah binasa?’” (QS Thaha: 120).

Dalam ayat lain Allah berfirman, “Lalu keduanya digelincirkan oleh syetan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula,” (QS al-Baqarah: 36).

Dalam ayat lain, dengan sangat tegas Allah menyatakan, “Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah mereka berdua menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhannya dan sesatlah dia. Kemudian Tuhannya memilihnya, maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk,” (QS Thaha: 121-122).

Dalam rentetan ayat ini, tak ada sama sekali isyarat bahwa yang memulai pelanggaran itu Hawa. Karenanya, tidak bisa dibenarkan kalau ada yang menimpakan kesalahan dan penyebab “malapetaka” itu kaum Hawa.

Agama Hindu pun sama. Ia menganggap wanita sebagai makhluk yang paling berbahaya, lebih berbahaya daripada api. Wanita dianggap makhluk yang berbahaya melebihi ular. Agama Yahudi juga tak memberikan tempat terhormat bagi wanita. Dalam pandangan agama ini, wanita tak mempunyai hak kepemilikan, hak waris, dan merupakan makhluk terkutuk.

Agama Kristen pun tak kalah hina memandang wanita. Seperti dikatakan Paus Turtulianus, “Wanita adalah merupakan pintu gerbang setan, masuk dalam diri laki-laki untuk merusak tatan Tuhan dan mengotori wajah Tuhan yang ada pada laki-laki.”

Sedangkan Paus Sustama mengatakan, “Wanita selalu membawa kejahatan, malapetaka yang selalu membawa daya tarik, bencana terhadap keluarga dan rumah tangga, kekasih yang merusak serta malapetaka yang selalu mendatangkan kebingungan.”

Pada zaman Jahiliyah menjelang diutusnya Rasulullah saw, kedudukan wanita pun tak kalah hinanya. Bangsa Arab kala itu sangat membenci anak perempuan. Mereka tak segan-segan menguburnya hidup-hidup. Allah SWT mengecam perbuatan ini dengan firman-Nya, “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hiramlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah,” (QS an-Nahl: 57).

Di sisi lain, wanita sangat didewakan, disanjung dan dipuja. Dia diberikan posisi bebas. Dengan alasan Hak Asasi Manusia, wanita diberikan kebebasan melakukan apa saja, termasuk memikat daya tarik laki-laki dengan menjadi bintang iklan. Mereka juga dibolehkan bergaul bebas dengan lawan jenis.

Dengan dalih emansipasi, wanita diminta memberontak dari ajaran agamanya. Untuk mendukung ide emansipasi, kaum Feminis mengungkap fakta bahwa banyak kaum wanita yang memiliki otak brilian seperti laki-laki. Dengan dalih tersebut, mereka ingin mensejajarkan wanita dan pria pada satu tingkat dalam segala hal. Kodrat alamiah wanita diabaikan, bahwa kalau mungkin dialihkan kepada laki-laki.

Di Amerika, tempat lahirnya Gerakan Pembebasan Wanita, gerakan emansipasi atas nama demokrasi dianggap “berhasil”. Tapi bagaimana fakta sebenarnya? Kendati jumlah wanita bekerja meningkat, tapi pendapatan ekonomi mereka rata-rata menurun. Dua dari tiga orang dewasa yang miskin adalah wanita. Tingkat upah pun ternyata tak berubah. Data tahun 1985 menunjukkan tingkat upah rata-rata wanita di AS adalah 64 % dari tingkat pria, sama dengan tahun 1939.

Kekerasan terhadap wanita di negeri yang mengaku paling demokratis ini pun sangat tinggi. Wanita mengalami tindak kekerasan di setiap delapan detik! Setiap jam sebanyak 78 anak gadis diperkosa. Data lain menyebutkan, sekitar 13 % atai 12,1 juta anak gadis Amerika sudah pernah diperkosa lebih dari satu kali. Yang lebih mengejutkan, enam dari sepuluh anak yang diperkosa (61%) belum mencapai usia 18 tahun. 29 % dari korban perkosaan rata-rata berumur 11 tahun, dan 32 % dari mereka berumur antara 11 sampai 17 tahun.

Di Jerman, negara yang juga dianggap menghormati wanita, menurut penelitian, setiap lima belas menit terjadi perkosaan terhadap wanita. Jadi, menurut data kepolisian setempat, terdapat 35.000 wanita yang diperkosa. Data riil di lapangan tentu lebih banyak  (Maisar Yasin, Wanita Karir dalam Perbincangan, hlm 96).

Akibat sibuknya wanita bekerja di luar rumah, sebuah penelitian yang pernah dimuat di majalah Hezagen no 5 1978, disebutkan, pada 1967 di Inggris lebih dari 6000 anak menjadi pasien rumah sakit akibat korban pemukulan ibunya. 20% dari mereka menemui ajal, selebihnya menderita cacat fisik dan mental.

Masih menurut majalah tersebut, Elly seorang dokter yang sering terlibat dalam penelitian di bidang kesehatan anak mempertanyakan, “Apakah insting para ibu yang aktif di luar rumah itu telah berubah menjadi insting binatang buas?” Tentu saja tidak. Keadaan lelah, serta pikiran kusut karena tenaga telah terkuras seharian di tempat kerja itulah yang cenderung menyebabkan seorang ibu hilang kendali dan gampang berbuat kasar (Wanita Karir Menurut Pandang Islam, Dr. Abdullah Wakil).

Islam menempatkan wanita pada posisi sesuai fitrahnya. Tidak mengangkatnya melebih derajatnya sebagai wanita dan tidak juga menghinakannya seperti harta benda.  


Hepi Andi Bastoni 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar