Kamis, 13 Juni 2013

Hukum Musik dan Bernyanyi

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum musik dan nyanyian, baik di masa salaf maupun khalaf. Sebagian mengharamkan secara total, sebagian lagi mengambil posisi untuk membolehkannya. Ada juga yang mengharamkan sebagian, namun menghalalkan sebagian, serta membubuhi berbagai macam syarat dan ketentuan.
Perbedaan pendapat di tengah para ulama ini terjadi karena banyak faktor, yang paling utama karena tidak disepakatinya dalil-dalil yang mengharamkan secara shahih dan sharih. Kalau ada dalil yang shahih, sayangnya tidak sharih. Sebaliknya, begitu ada dalil yang sharih, ternyata dari sisi sanadnya tidak shahih.

A. Pengertian

1. Musik
            Musik dalam bahasa Arab modern disebut dengan sebutan al-musiqa. Sebenarnya istilah al-musiqa dalam bahasa Arab adalah serapan dari bahasa Yunani, yang asalnya dari kata mousike.
The Muses adalah sebutan untuk sembilan dewi atau anak perempuan Dewa Zeus dengan salah seorang istrinya, Mnemosyne. Dalam legenda mitologi Yunani, Zeus adalah rajanya para dewa.
Namun di dalam nash-nash syar’i, istilah yang sering digunakan untuk alat-alat musik antara lain adalah al-mi’zaf atau al-ma’azif dalam bentuk jamak. Ma’azif kemudian didefinisikan sebagai:  Alat yang dimainkan dengan cara memukul-mukulnya Atau terkadang juga disebut dengan : Alat musik pukul seperti tongkat dan tambur.

Ada beberapa jenis alat musik yang seringkali disebut-sebut di dalam nash syar’i, baik di dalam hadits atau pun di dalam kitab-kitab fiqih yang disusun oleh para ulama.  Di antara alat-alat musik itu adalah ad-duff, al-kubah, al-kabar, al-yara’, adh-dharbu bil qadhib, al-‘uud, ash-shaffaqatan.

2. Lagu
Sedangkan lagu atau nyanyian dalam istilah bahasa Arab sering disebut dengan al-ghina. Secara bahasa bermakna ash-shautu yaitu suara.
Kata al-ghina’ sendiri seringkali didefinisikan para ahli bahasa dengan : Nyanyian dan lagu dengan menggunakan suara (vocal) yang teratur, dan sering diiringi dengan alat-alat musik

C. Perbedaan Hukum dalam Pandangan Ulama

1. Shahabat
Perbedaan pendapat tentang haramnya nyanyian dan musik bukan perbedaan yang baru terjadi hari ini. Perbedaan itu sudah terjadi di masa lalu, bahkan sejak masa shahabat. Ada sebagian shahabat yang menghalalkannya dan ada juga yang tegas mengharamkannya.

a. Yang Menghalalkan
Di kalangan para shahabat Nabi SAW ada beberapa di antara mereka yang menghalalkan musik, di antaranya Abdullah ibn Az-Zubair.
            Abdullah bin Zubair memiliki budak-budak wanita dan alat musik berupa gitar. Dan Ibnu Umar pernah ke rumahnya ternyata disampingnya ada gitar :
            Ibnu Umar berkata:’ Apa ini wahai sahabat Rasulullah SAW? Kemudian Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata:’ Ini mizan Syami( alat musik) dari Syam?’. Berkata Ibnu Zubair:’ Dengan ini akal seseorang bisa seimbang’.

b. Yang Mengharamkan
Sementara itu setidaknya ada dua orang shahabat Rasulullah SAW yang tercatat dengan tegas mengharamkan nyanyian dan musik, yaitu Abdullah bin Mas'ud dan Abdullah bin Al-Abbas radhiyallahuanhuma.
            Abdullah bin Ma'sud radhiyallahuanhu termasuk di antara shahabat yang mengharamkan nyanyian. Beliau berfatwa :
Nyanyian itu menumbuhkan sifat munafik di dalam hati, sebagaimana air menyebabkan tumbuhnya tanaman. (HR.Abu Daud)

Abdullah bin Al-Abbas radhiyallahuanhu mengharamkan nyanyian dan musik, dengan dasar penafsiran beliau atas istilah lahwa hadits sebagaimana tercantum dalam ayat Al-Quran berikut:
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman : 6)

2. Ulama
Di kalangan ulama berikutnya, kita masih menyaksikan bagaimana mereka berbeda pendapat tentang hukum halal dan haram dari nyanyian dan musik. Berikut ini sebagian kecil dari apa yang mereka perselisihkan.

a. Yang Menghalalkan
Adapun ulama yang menghalalkan musik sebagaimana diantaranya diungkapkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul Authar, di antaranya para ulama Madinah dan lainnya, seperti ulama Dzahiri dan jama’ah ahlu Sufi memberikan kemudahan pada nyanyian walaupun dengan gitar dan biola’.
Termasuk juga di antara mereka yang menghalalkan adalah Abu Bakar Al-Khallal, Abu Bakar Abdul Aziz, Al-Gazali dan lainnya.
            Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi’i dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Ja’far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, bahkan membolehkan budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau sendiri mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi di masa khilafah Amirul Mukminin Ali radhiyallahuanhu.
            Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada Qodhi Syuraikh, Said bin Al Musayyib, Atha bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya’bi. Dan diriwayatkan dari Ar-Rawayani dari Al-Qafal bahwa madzhab Malik bin Anas membolehkan nyanyian dengan alat musik.
            Di antara ulama yang menghalalkan musik adalah Ibnu Hazm, mewakili kalangan ahli Dzhahir. Di dalam kitabnya Al-Muhalla, Ibnu Hazm memberikan banyak hujjah atas tidak haramnya musik selama tidak melanggar ketentuan.

b. Yang Mengharamkan
Para ulama mazhab seperti madzhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’i dan Al-Hanabilah termasuk kalangan yang menolak kehalalan musik secara umum, kecuali bila memenuhi ketentuan tertentu.
Abu Hanifah berkata bahwa bernyanyi dan main musik itu termasuk perbuatan dosa.
Al-Malikiyah berkata bahwa yang menyanyikan lagu dan memainkan musik di antara kami adalah orang-orang fasik.
As-Syafi'iyah menyebutkan bahwa nyanyian itu perbuatan sia-sia yang dibenci dan menyerupai batil. Orang yang kebanyakan bernyanyi dan bermusik adalah orang bodoh yang tertolak kesaksiannya. Pendapat ini merupakan pendapat para ulama dari mazhab ini, seperti At-Thabari, An-Nawawi, Abu Ishaq dan lainnya.
berpendapat bahwa mendengar nyanyian adalah makruh. Jika mendengarnya dari wanita asing maka semakin makruh. Menurut Maliki bahwa mendengar nyanyian merusak muru’ah.
            Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan karena mengandung lahwu. Dan Ahmad mengomentari dengan ungkapannya:’ Saya tidak menyukai nyanyian karena melahirkan kemunafikan dalam hati’.
Fudhail bin Iyadh berfatwa : Nyanyian itu merupakan mantera-mantera zina.
            Adh-Dhahhak berfatwa : Nyanyian itu merusak hati dan membuat Tuhan marah
Diriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada guru dari anaknya berisi pesan yang melarang nyanyian dan musik.

لِيَكُنْ أَوَّلُ مَا تَفْعَلُ مَعَ ابَنِي أَنْ تُبَغِّضَه المـَلاَهِي فَإِنَّ صَوْتَ المـَعَازِفِ وَ اسْتِمَاعِ الأَغَانِي وَاللهِ بِمَا يُنْبِتُ النِّفَاقَ فيِ القَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ العُشْبُ عَلىَ الماَءِ هُوَ حَرَاٌم
Hendaklah yang pertama kali kamu kerjakan kepada anakku untuk menjauhkannya dari hal yang sia-sia. Karena sesungguhnya suara musik dan mendengarkan nyanyian, demi Allah, akan menumbuhkan sifat nifak di dalam hati, sebagaimana tumbuhnya rumput di air, dia haram hukumnya.
            Demikianlah pendapat ulama tentang mendengarkan alat musik. Dan jika diteliti dengan cermat, maka ulama muta’akhirin yang mengharamkan alat musik karena mereka mengambil sikap wara’ (hati-hati).
Mereka melihat kerusakan yang timbul di masanya. Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in menghalalkan alat musik karena mereka melihat memang tidak ada dalil baik dari Al-Quran maupun hadits yang jelas mengharamkannya. Sehingga dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah.

Yang patut diperhatikan, musik dan nyanyian tidak berdiri sendiri. Keduanya identik dengan tarian, hura hura dan dunia glamor. Ini yang dikhawatirkan para ulama. Selain itu, suatu pekerjaan harus dilihat dari manfaat dan mudharatnya. Jika mengarah kepada perbuatan sia-sia untuk apa dikerjakan, apalagi jika menuju kemaksiatan, harus dijauhi. Wallahu a’lam.


 Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar