Selasa, 04 Juni 2013

Adil pada Istri


Suatu ketika Abu Ja’far al-Manshur, salah seorang Khalifah Bani Abbasiyah, berselisih paham dengan istrinya, al-Hurrah. Sang istri merasa diperlakukan tidak adil oleh suaminya. Ia pun bermaksud menuntut keadilan pada orang ketiga.
            “Baik, siapa yang hendak engkau pilih sebagai penengah?” tanya Abu Ja’far.
            “Imam Abu Hanifah,” jawab al-Hurrah.
            Abu Ja’far al-Manshur pun setuju. Keduanya segera mendatangi Abu Hanifah yang kala itu dikenal sebagai ulama yang berilmu dan berani memberikan jawaban dengan benar meski di hadapan penguasa sekalipun.

            “Istriku meminta keadilan,” ujar Abu Ja’far.
            Abu Hanifah meminta sang Khalifah bicara.
            “Saya mau tanya, berapa wanita yang boleh menjadi istri seorang laki-laki dalam satu waktu?” tanya Abu Ja’far.
            “Empat!” jawab Abu Hanifah.
          “Berapa budak wanita yang boleh dimiliki?” tanya Abu Ja’far lagi.
           “Tidak terbatas,” jawab Abu Hanifah.
           “Kalau istriku mengatakan hal yang bertentangan dengan itu, apakah bisa dibenarkan?” tanya sang Khalifah lagi.
            “Tidak,” jawab Abu Hanifah.
            Khalifah Abu Ja’far al-Manshur lalu berkata kepada istrinya, “Jadi, engkau sudah tahu alasan tindakanku?”
       Imam Abu Hanifah tersenyum lalu berkata, “Allah menghalalkan itu hanya untuk laki-laki yang adil. Barangsiapa yang tidak berbuat adil, atau takut tidak mampu berbuat adil, maka selayaknya tidak lebih dari satu istri. Allah SWT berfirman, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka kawinilah seorang saja,” (QS an-Nisa’: 3).  Kita hendaknya bertindak dengan adab seperti yang diajarkan Allah dan mengikuti petunjuk-Nya.”
            Mendengar kata-katanya, Khalifah Abu Ja’far al-Manshur diam seribu bahasa. Ia merasa salah telah memperlakukan istrinya secara tidak adil. Ia pun segera meninggalkan tempat itu dan kembali ke rumahnya.


            Sementara itu, ketika tiba di rumahnya, istri sang Khalifah yang merasa telah dibela oleh Imam Abu Hanifah segera mengutus seorang pelayannya untuk membawa uang, pakaian dan keledai sebagai hadiah untuk sang ulama. Al-Hurrah berharap hadiahnya menyenangkan hati Abu Hanifah. Sebab, untuk mendapatkan hadiah dari istri seorang Khalifah seperti dirinya tidak mudah. Tidak semua orang bisa mendapat penghargaan tinggi seperti itu.
            Namun ternyata dugaan al-Hurrah salah. Abu Hanifah menolak hadiah tersebut. Kepada sang pelayan yang mengantarkan hadiah itu, Abu Hanifah berpesan, “Sampaikan salamku kepadanya. Aku hanya menjelaskan bab agamaku. Aku melakukannya semata untuk Allah, bukan untuk seseorang. Aku tidak juga mencari kepentingan duniawi dengan jawabanku itu.”

Hamdani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar