Selasa, 11 Juni 2013

Hikmah di Balik Puasa di Bulan Sya’ban

Kebiasaan Rasulullah saw memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, bertabur hikmah. Di antaranya, latihan fisik, mental dan spiritual untuk menyambut kehadiran Ramadhan.


Ibarat pasukan perang yang tengah bersiap menghadapi musuh, begitulah perumpamaan kaum Muslimin menjelang Ramadhan. Memperbanyak puasa di bulan Sya’ban merupakan latihan untuk puasa Ramadhan agar tidak mengalami kesulitan. Bahkan akan terbiasa sehingga bisa memasuki Ramadhan dalam keadaan kuat dan bersemangat.

Imran bin Hushain menuturkan, Rasulullah saw bersabda, “Apakah engkau berpuasa pada sarar (akhir) bulan ini?” Dia berkata, “Tidak.” Maka beliau bersabda, “Apabila engkau berbuka maka puasalah dua hari.” Dalam riwayat Bukhari disebutkan, “Saya kira yang dimaksud adalah bulan Ramadhan.” Sementara dalam riwayat Muslim, “Apakah engkau puasa pada sarar (akhir) bulan Sya’ban?” (HR Bukhari 4/200 dan Muslim No. 1161).
Terdapat perbedaan dalam penafsiran kata sarar dalam hadits ini. Makna yang terkenal adalah akhir bulan. Dikatakan sararusy syahr dengan meng-kasrah-kan sin atau mem-fathah-kannya, dan mem-fathah-kannya ini yang lebih benar. Akhir bulan dinamakan sarar karena istisrar-nya bulan (yakni tersembunyinya bulan).

Selain itu, diriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi saw pernah bersabda, “Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya kecuali orang yang terbiasa berpuasa maka puasalah,” (HR Bukhari No. 1983 dan Muslim No. 1082). Lalu, bagaimana kita mengompromikan hadits Imran bin Hushain yang menganjurkan berpuasa, dengan hadits yang memuat larangan ini?

Sebagian besar ulama dan pensyarah hadits menyebutkan, orang yang ditanya oleh Rasulullah saw ini diketahui terbiasa berpuasa atau karena punya nadzar sehingga diperintahkan untuk membayarnya.
Namun demikian, dalam masalah ini ada beberapa pendapat lain. Pertama, berpuasa dengan niat puasa Ramadhan sebagai bentuk kehati-hatian barangkali sudah masuk bulan Ramadhan. Puasa seperti ini hukumnya haram.

Kedua, berpuasa dengan niat nadzar atau mengqadha Ramadhan yang lalu, membayar kaffarah atau yang lainnya. Mayoritas ulama membolehkan yang demikian.


Ketiga, berpuasa dengan niat puasa sunnah biasa. Kelompok yang mengharuskan adanya pemisah antara Sya’ban dan Ramadhan dengan berbuka tidak menyukai hal itu. Di antaranya Hasan Bashri, meskipun sudah terbiasa berpuasa, tapi Malik memberikan rukhsah (keringanan) bagi orang yang sudah terbiasa berpuasa. Asy-Syafi’i, al-Auzai’ dan Ahmad serta selainnya memisahkan antara orang yang terbiasa dengan yang tidak.

Secara keseluruhan hadits Abu Hurairah tersebut yang digunakan oleh kebanyakan ulama. Yakni, tidak disukai mendahului Ramadhan dengan puasa sunnah sehari atau dua hari bagi orang yang tidak biasa berpuasa, dan tidak pula mendahuluinya dengan puasa pada bulan Sya’ban yang terus-menerus bersambung sampai akhir bulan.

Apabila seseorang berkata, kenapa puasa sebelum Ramadhan secara langsung ini dibenci? Pertama, agar tidak menambah puasa Ramadhan pada waktu yang bukan termasuk Ramadhan, sebagaimana dilarangnya puasa pada hari raya karena alasan ini, sebagai bentuk kehati-hatian. Atas dasar ini maka dilarang puasa pada yaum asy-syak (hari yang diragukan). “Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim saw (Rasulullah),” ujar Umar bin Khaththab. Hari syak adalah hari yang diragukan apakah termasuk Ramadhan atau bukan.

Adapun yaumul ghaim (hari yang mendung sehingga tidak bisa dilihat apakah hilal sudah muncul atau belum), maka di antara ulama ada yang menjadikannya sebagai hari syak dan terlarang berpuasa. Ini perkataan kebanyakan ulama.

Kedua, untuk membedakan antara puasa sunnah dan wajib. Membedakan antara fardhu dan sunnah itu disyariatkan. Karenanya diharamkan puasa pada hari raya (untuk membedakan antara puasa Ramadhan yang wajib dengan puasa pada bulan Syawwal yang sunnah).

Rasulullah juga melarang untuk menyambung shalat wajib dengan dengan sunnah sampai dipisahkan oleh salam atau pembicaraan. Terlebih-lebih shalat sunnah qabliyah fajr (Subuh). Bahkan, disyariatkan untuk dilakukan di rumah serta berbaring-baring sesaat. Ketika melihat ada yang shalat qabliyah kemudian qamat dikumandangkan, Nabi saw berkata, “Apakah shalat Shubuh itu empat rakaat?” (HR Bukhari No.663).

Dengan demikian, dilarangnya berpuasa sehari menjelang Ramadhan bukan untuk dijadikan momen untuk memuaskan nafsu. Tapi, sebagai garis pembatas antara Sya’ban dan Ramadhan.

Karena Sya’ban merupakan gerbang bagi Ramadhan, maka berlaku juga amalan yang biasa dilaksanakan di bulan Ramadhan, seperti puasa, membaca al-Qur’an dan sedekah. Salamah bin Suhail mengatakan, “Bulan Sya’ban merupakan bulan para qurra’ (pembaca al-Qur’an).” Jika masuk bulan Sya’ban, Habib bin Abi Tsabit berkata, “Inilah bulan para qurra’.” Jika bulan Sya’ban datang, Amr bin Qais al-Mula’i menutup tokonya dan meluangkan waktu (khusus) untuk membaca al-Qur’an.

Hepi Andi Bastoni
Hp : 08170194560
Twitter : @andibastoni
FB : Hepi Andi

1 komentar: