Kamis, 13 Juni 2013

Seputar Syariat Aqiqah

Kelahiran seorang anak akan menambah kebahagiaan dan kerukunan sebuah rumah tangga. Kebahagiaan ini akan semakin berbunga ketika dihiasi dengan sunnah Rasulullah saw. Sangat ironis misalnya jika kehadiran buah hati disambut de­ngan serang­kaian acara yang tak sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw.
            Seiring dengan maraknya tra­disi kedaerahan atau yang ber­sumber dari kebiasaan non-Mus­lim, sun­nah Rasulullah saw sering terabai­kan. Para orang tua lebih banyak yang berkonsentrasi mak­simal untuk me­rayakan hari ulang tahun ketimbang acara yang sudah ada landasannya dalam Islam. Selain itu, mem­bekali anak dengan dasar syariat sejak dini merupakan wujud tanggung jawab orang tua kepada si anak. Khusus­nya dalam me­ngarungi kehidu­pannya yang jauh lebih berat dari yang dihadapi orang tuanya.
            Begitu banyak sunnah Rasulullah saw yang harus kita laksanakan. Melaksanakan aqiqah salah satunya. Mengikut sunnah Rasulullah saw mengadakan aqiqah dan memberikan sebagian daging­nya kepada tetangga dan orang-orang tak mampu akan menambah keberkahan dan lebih mempererat tali silaturahim. Me­ngadakan aqiqah juga merupakan cerminan rasa suka cita dan ba­hagia atas kelahiran seorang anak.

Secara bahasa aqiqah berasal dari kata aqqa yang artinya me­motong atau membelah. Ada yang mengung­kapkan bahwa aqiqah artinya rambut yang tumbuh di atas kepala bayi sejak lahir. Ada lagi mengartikan bahwa aqiqah ialah nama kambing yang disembelih untuk kepentingan bayi (Fiqh Sunnah Sayid Sabiq, II/39-40).
            Adapun dalil yang menyatakan, bahwa kambing yang disembelih itu dinamakan aqiqah antara lain adalah hadits yang dikeluarkan oleh al-Bazzar dari Atha’ dari Ibnu Abbas secara marfu’ yang berbunyi, “Bagi seo­rang anak laki-laki dua ekor aqi­qah dan seorang anak perem­puan seekor.”

Hukum Aqiqah
Menurut kalangan mazhab Sya­fi’i dan Hambali, hukum me­laksanakan aqiqah adalah sunnah muakkadah. Sementara menurut kalangan Hanafi mubah dan me­nurut Maliki hanya bersifat anjuran. Imam al-Laitsi dan Abu Daud seba­gaimana disebutkan Sayyid Sabiq, berpendapat aqiqah itu wajib. (Fiqh Sunnah Sayid Sabiq, II/40).
            Dasar yang dipakai oleh kala­ngan Syafii dan Hambali dengan mengatakannya sebagai sesuatu yang sunnah muakkadah adalah hadits Nabi saw yang berbunyi, Anak tergadai dengan aqiqahnya. Disem­belihkan untuknya pada hari ketujuh (dari kelahirannya),” (HR Tirmidzi, hasan shahih).
            Dalam hadits lain yang diriwa­yatkan Imam Ahmad disebutkan, “Anak-anak itu tergadai (tertahan) dengan aqiqahnya, disembelih hewan untuknya pada hari ketujuh, dicukur kepalanya dan diberi nama.”
            Aisyah juga meriwayatkan, ‘Rasulullah saw pernah menga­dakan aqiqah untuk Hasan dan Husain pada hari ketujuhnya,”  (HR Ibnu Hibban, Hakim, dan Baihaqi)
             Salman bin Amar adh-Dhahabi menuturkan, “Sesungguhnya ber­sa­ma anak itu ada hak diaqiqahi, ma­ka tumpahkanlah darah baginya (de­ngan menyembelih hewan) dan bu­anglah penyakit darinya (dengan men­cukur rambutnya),”  (HR Bukhari).
            Dari beberapa hadits tersebut, menurut Imam Ahmad, al-Khaththabi dan Ibnu al-Qayyim, maksud kata-kata “Anak-anak itu tergadai dengan aqiqahnya” ialah bahwa pertum­buhan anak itu, baik badan maupun kecerdasan otak­nya, atau pembe­laannya terhadap ibu ba­pak­nya pada hari kiamat akan ter­tahan jika ibu bapaknya tidak melaksanakan aqi­qah ba­ginya. Ibnu al-Qayyim mene­gas­kan, aqi­qah itu berfungsi untuk melepas­kan bayi dari godaan syetan.

Waktu Penyembelihan Aqiqah
Berdasarkan beberapa hadits, maka waktu pelaksanaan aqiqah dilakukan saat bayi beru­mur tujuh hari. Namun jika hal itu tidak mampu dilaksanakan, maka boleh menundanya hingga bayi berumur 14 hari. Jika masih belum mampu juga, boleh dilakukan saat bayi sudah berumur 21 hari. Hal ini didasarkan pada hadits dari Abu Buraidah yang meriwayatkan, “Aqi­qah itu disembelih pada hari ketu­juh, atau ke-14, atau ke-21 (dari kelahirannya),”  (HR Baihaqi dan Thabrani).
Namun jika pada hari-hari tersebut belum mampu, maka di hari kapan pun (Fiqhus Sunnah II/40). Imam Ahmad bin Hambal membatasi waktu aqiqah hingga sang anak baligh. Imam Syafii berpendapat boleh dilaksanakan kapan pun hingga dewasa (Nailul Authar III/500). Ada juga yang berpendapat, jika sang anak lahir dan orangtua dalam kondisi tidak mampu, maka gugur  baginya keharusan aqiqah meskipun ketika dewasa orangtuanya mampu. Namun, jika orangtua mampu ketika anaknya lahir tapi ia tidak mengaqiqahkan anaknya, maka ia tetap dianjurkan mengaqiqahi anaknya meskipun sang anak sudah dewasa.
Ada yang berpendapat, sebaiknya daging aqiqah dibagikan dalam keadaan matang. Sebaliknya qurban dibagikan dalam keadaan mentah.

Berqurban Sekaligus Aqiqah
Kalangan Hambali berpen­dapat, apabila Hari Raya Qurban dan aqiqah jatuh pada hari yang sama, maka cukup dengan satu hewan sem­belihan. Sebagaimana kalau Hari Raya dan Jumat  ber­samaan, maka disunnahkan man­di salah satunya. (Fiqhus Sunnah II/40).

Hewan Aqiqah
Sebaiknya aqiqah untuk anak laki-laki dua ekor kambing, dan untuk anak perempuan satu ekor. Hal ini berdasarkan hadits dari Ummul Kurz al-Ka‘biyah yang mengatakan, bahwa Nabi saw bersabda, “Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang mirip dan untuk anak perempuan satu ekor kambing.“
Namun dibolehkan juga untuk anak laki-laki satu ekor kambing. Sebuah riwayat dari Ibnu Abbas menyatakan, “Rasulullah saw telah mengaqiqahkan buat Hasan dan Husain masing-masing satu ekor kibasy,”  (HR Abu Dawud).
            Dari hadits di atas bisa kita dapatkan petunjuk, bahwa jenis hewan untuk aqiqah sesuai de­ngan yang pernah dilakukan Rasulullah saw adalah kibasy. Hewan sejenis yang bisa dipakai adalah kambing dan biri-biri. Syarat-syarat hewan yang bisa (sah) untuk dijadikan aqiqah itu sama dengan syarat-syarat hewan untuk qurban, yaitu tidak cacat, tidak ber­penyakit, dan cukup umur.

Mencukur Rambut
Sunnah lainnya yang harus dilakukan orang tua untuk anaknya adalah mencukur rambut bayi. Hal ini boleh dilakukan di hadapan sanak keluarga agar mereka me­ngetahui dan menjadi saksi. Boleh juga dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Rambut hasil cukuran ditimbang dan jumlah timbangan dinilai dengan nilai emas atau perak kemudian disedekahkan kepada fakir miskin.
       Imam Malik meriwayatkan ha­dits dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya berkata, “Fatimah me­nimbang rambut Hasan, Husain dan Zainab, dan Ummu Kultsum, lalu berat timbangan rambut terse­but diganti dengan perak dan disedekahkan,”
       Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Abdullah bin Abu Bakar dari Mu­hammad bin Ali bin Husain berkata, “Rasulullah melaksanakan aqiqah berupa seekor kambing untuk Hasan. Beliau bersabda, ‘Fatimah, cukurlah rambutnya’. Fatimah kemudian menimbangnya dan timbangannya mencapai ukuran perak seharga satu dirham atau setengah dirham.”
       Yahya bin Bakr meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw memerintahkan untuk mencukur rambut Hasan pada hari ketujuh setelah kela­hirannya. Lalu rambutnya dicukur dan beliau menyedekahkan perak seberat rambut tadi.

Memperdengarkan Azan dan Iqamah di Telinga Bayi
Selain mencukur rambut, mem­perdengarkan adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri kepada anak yang baru lahir ada­lah sunnah. Hal ini bertujuan agar yang pertama kali didengar oleh sang anak adalah Asma Allah. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi dari Rafi yang berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah saw memperdengarkan adzan shalat di telinga Hasan bin Ali saat Fathimah melahirkannya.”
       Diriwayatkan juga dari Ibnu Sunni dari Hasan bin Ali bahwa Nabi saw bersabda, “Barangsiapa yang mendapatkan anak laki-laki yang baru dilahirkan, hendaklah mengadzankan di telinga ka­nan­nya, dan mengiqamahkan di telinga kirinya. Maka, anak itu tidak akan kena bahaya (ummu Shibyan) gangguan syetan.” (Fiqhus Sunnah II/42).
Namun, ada juga ulama yang menganggap hadits-hadits tentang hal ini tidak shahih sehingga tak bisa dijadikan sebagai sumber hukum.

Menindik Telinga Anak Perempuan
Hal lain yang sering dilakukan para orang tua terhadap anaknya adalah menindik (melubangi) te­linga anak perempuan. Se­ba­gai­mana dipaparkan oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah-nya, dalam madzhab Hambali menindik telinga anak perempuan untuk meng­­gunakan perhiasan dibo­lehkan dan tidak bagi anak laki-laki. Qadhi Khan—penganut Madzhab Hanafi—pernah berfatwa, “Tidak apa-apa menindik telinga anak perempuan. Orang-orang melaku­kan hal itu pada masa jahiliyah sedangkan Rasulullah saw tidak mengingkarinya.”
Syekh Utsaimin juga membolehkan hal ini dan tidak termasuk menzalimi sang anak. Sebab, itu termasuk luka ringan dan bagi sang bayi itu cepat sembuh. Hanya saja beliau tidak menyarankan untuk melubangi hidung. (Majmu‘ Fatawa 4/137).

 Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA

1 komentar:

  1. mau aqiqah kah ??
    tapi gamau ribet ??
    ya di Aqiqah surabaya, mudah murah dan terpercaya silahkan kunjungi web kami ka untuk informasi selanjutnya

    BalasHapus