Kita lemah. Rentan dari godaan setan. Kita harus
memuhasabah diri lalu merancang hari esok agar lebih baik dari sekarang.
Bagi seorang Muslim, berlalunya waktu hendaknya tak lewat
begitu saja. Ia harus menjadi momen untuk mengoreksi diri. “Hisablah diri kamu
sebelum dihisab pada hari kiamat,” pesan Umar bin Khaththab suatu ketika.
Muhasabah (introspeksi diri) perlu dilakukan bukan semata
untuk mengingat dosa-dosa yang sudah dilakukan. Tapi juga untuk merancang masa
depan agar menjadi lebih baik dan bermakna. Inilah yang Allah maksudkan dalam
firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan,” (QS al-Hasyr: 18).
Ayat tersebut merupakan peringatan
sekaligus bimbingan Allah SWT agar kita melakukan muhasabah atau introspeksi
diri. Kita diminta untuk merenungi apa yang telah kita perbuat dan menilai
sejauh mana amal yang telah kita kerjakan untuk persiapan sebagai bekal di
akhirat.
Setiap Muslim seharusnya selalu
mengingat ayat tersebut dan merenunginya dengan sepenuh hati, untuk memahami
realitas diri. Bagaimanapun, kehidupan akhirat bagi seorang Muslim lebih
penting ketimbang kehidupan dunia. Dunia ini bersifat fana, sedangkan kehidupan
akhirat abadi. Allah SWT mengingatkan, "Sedangkan kehidupan akhirat
adalah lebih baik dan lebih kekal,” (QS al-A’la: 17).
Dengan atau
tanpa sadar, kita harus senantiasa mawas dan menjaga diri. Mungkin selama ini
kita sering terbuai dengan kehidupan dunia. Waktu kita habiskan untuk
memikirkan dan mengejar kesenangan dunia sehingga mengabaikan persiapan dan
bekal kehidupan akhirat.
Surat al-Hasyr ayat 18 merupakan
perintah agar kita sering mengevaluasi amal kita: sejauh mana kemusliman telah
ditunjukkan, sejauh mana keimanan telah dibuktikan di hadapan Allah SWT, dan
sejauh mana bekal berupa amal shalih telah kita kumpulkan untuk kehidupan
akhirat kelak.
Kehidupan dunia merupakan ujian dari
Allah SWT bagi manusia. Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menjadikan
apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka
siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya,” (QS al-Kahfi: 7).
Dalam ayat lain Allah berfirman, “Ketahuilah bahwa
sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-banggaan
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan para petani. Kemudian tanaman itu menjad kering dan kamu lihat
warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada azab yang
keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak
lain hanyalah kesenangan yang menipu,” (QS al-Hadid: 20).
Dalam menjalani kehidupan di dunia
ini kita bergelut dan berpacu dengan waktu. Bagi seorang Muslim, waktu sangat
penting berarti. Dalam surat a-'Ashr Allah SWT bersumpah dengan waktu. Hal itu
menunjukkan betapa kita harus mempergunakan waktu hidup di dunia ini untuk
beriman dan beramal shalih. Dalam ayat tersebut dinyatakan, semua manusia akan
merugi kecuali mereka yang beriman dan beramal shalih, serta saling menasihati
dalam kebenaran dan kesabaran.
Surah al-Hasyr ayat 18 di atas termasuk salah satu ayat yang
sangat populer dalam kaitannya dengan waktu. Dalam ayat tersebut terkandung
tiga dimensi waktu sekaligus, yaitu masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Selain itu, ada beberapa hal yang Allah SWT perintahkan. Pertama,
seruan kepada orang beriman agar bertakwa. Orang yang mengaku beriman kepada
Allah tapi tidak melaksanakan kewajibannya, ia tak termasuk golongan orang
bertakwa. Dari sini para ulama mendefinisikan takwa sebagai kemampuan dalam
melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi semua yang dilarangnya.
Melalui ayat ini, Allah SWT mengingatkan kita agar mampu
mengaplikasikan nilai-nilai keimanan tersebut dalam kehidupan, sehingga kita
termasuk orang bertakwa.
Kedua, perintah untuk
mengingat, mengevaluasi, dan menghitung amal yang telah kita lakukan untuk hari
esok. Kenyataannya, melihat dan mengoreksi kekurangan diri jauh lebih sulit
daripada melihat dan mengoreksi kekurangan orang lain. Inilah yang seringkali
menggelincirkan manusia pada jurang kehancuran dan permusuhan. Tak heran bila
Allah SWT memerintahkan kita untuk terus menghisab diri dan melarang kita untuk
menghisab kesalahan orang lain. Semakin intens menghisab diri, maka kita akan
semakin tahu kekurangan diri. Dengan semakin tahu kekurangan diri, maka akan
semakin mudah pula kita memperbaikinya.
Di luar kemampuan dalam menghisab diri ada hal lain yang lebih
penting, yaitu kemampuan menjaga konsistensi aktivitas muhasabah tersebut.
Karena itu, dalam akhir ayat di atas diungkapkan bahwa bila kita melakukan
kesalahan setelah menghisab diri, maka ingatlah bahwa Allah Mengetahui semua
yang kita kerjakan.
Rasulullah SAW mengingatkan betapa pentingnya muhasabah ini.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, beliau mengibaratkan orang
yang konsisten menghisab diri sebagai orang yang paling pandai. Rasulullah saw
bersabda, ''Orang yang pandai itu adalah orang yang mampu mengendalikan
nafsunya, dan ia senantiasa beramal untuk kelak setelah kematiannya.''
Selanjutnya, Rasulullah mengatakan bahwa orang yang bodoh adalah orang yang
selalu mengikuti hawa nafsunya, dan ia selalu berharap kepada Allah tanpa
banyak berbuat, tanpa menyadari, dan bertaubat atas dosa-dosanya.
Sungguh tak terbayangkan, betapa sulitnya bila kita harus
menghadapi proses hisab di hadapan Allah. Saat itu kita tak bisa mengelak
sedikit pun dari kesalahan. Karena itu, momen pergantian tahun hendaknya tak
kita rayakan dengan hura-hura glamor dunia. Saatnya kita introspeksi diri dan
menghitung kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan. Allah berfirman, “(Yaitu)
orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari
kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. Dan Dia
lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu masih berupa
janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah
yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa,” (QS 53:32)
Ayat tersebut benar-benar menyadarkan kita akan kelemahan dan
kenistaan kita sebagai manusia yang sering kali berbuat khilaf. Bahwa
seandainya pun kita terhindar dari dosa-dosa besar, kita pasti takkan luput dari
dosa-dosa kecil. Allah menegaskan, jangan merasa dan mengklaim diri suci,
karena Allah sajalah yang paling mengetahui siapa yang bertakwa dan yang tidak.
Sementara Allah juga tahu siapa diri kita sejak dari awal penciptaan, ketika
masih berupa janin di rahim ibu kita, hingga kita dewasa. Namun, Allah juga
mengingatkan kita tentang ampunan-Nya yang luas.
Selain kelemahan itu, manusia juga
mudah tergelincir ke lembah kemaksiatan lantaran godaan setan. Allah SWT
berfirman, “Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha
Pemurah (al-Qur'an), Kami adakan baginya syaithan (yang menyesatkan). Maka
syaithan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya
syaithan-syaithan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan
mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk,” (QS az-Zukhruf: 36-37).
Kita lemah. Gampang tergoda. Mungkin
kita bisa menghindari dosa-dosa besar. Tapi tak mungkin sanggup kita berkelit
dari dosa-dosa kecil. Menyadari betapa lemahnya kita dan begitu rentannya kita
dari godaan setan, maka saatnya kita memuhasabah diri seraya memandang ke depan
untuk merangkai ibadah lebih baik lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar