“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka,” (QS al-Baqarah: 201).
Siapa pun pasti ingin sukses. Tak ada yang mau gagal.
Kesuksesan berimpitan langsung dengan kebahagiaan. Sebaliknya, kegagalan sangat
akrab dengan kesedihan dan kekecewaan.
Dari sini lahirlah beragam konsep sukses. Ada yang
mencoba mendekatkannya dengan kekayaan, jabatan dan ketenaran. Orang dikatakan
sukses manakala hidupnya berlimpah harta, menjadi orang ternama dan menduduki
jabatan tinggi.
Inikah defenisi sukses? Ternyata tak selalu tepat.
Apalagi jika kesuksesan disandingkan dengan kebahagiaan. Ternyata tak selalu
orang kaya yang terkenal dan menduduki jabatan tinggi, hidupnya senang. Banyak
orang yang sering gelisah, sedih atau tak merasa bahagia justru karena harta,
popularitas dan kedudukan yang dimilikinya. Sebaliknya, tak sedikit juga orang
yang hidup sederhana, tapi bahagia.
Menjadikan kekayaan, popularitas dan kedudukan sebagai
salah satu indikasi kesuksesan
tidak selalu salah. Namun, ketiga komponen itu
saja tidak cukup. Defenisi sukses tak bisa dijabarkan hanya dengan ketiga hal
tersebut. Justru orang yang menganggap ketiga hal itu sebagai satu-satunya
indikator kesuksesan, bisa berakibat fatal.
Kekayaan, ketenaran dan kedudukan adalah sesuatu yang
langka. Tak semua orang bisa menikmatinya. Karenanya, orang perlu bersaing
untuk mendapatkannya. Mereka yang menganggap kesuksesan ditandai dengan ketiga
hal ini, akan berusaha mendapatkannya dengan segala cara. Dia tak peduli
caranya halal atau tidak. Inilah yang menyebabkan orang melakukan apa saja.
Selain itu, karena jabatan, kekayaan dan ketenaran itu
langka, maka mental orang yang mengejarnya akan menjadi egois dan sombong. Ia
hanya akan mementingkan dirinya sendiri dan tak peduli dengan orang lain. Ia
akan mengabaikan tuntutan lain yang tidak mendukung upayanya mewujudkan harta,
ketenaran dan jabatan.
Karenanya, tak heran kalau orang yang terlalu sibuk
mencari harta, mengabaikan keluarganya. Orang yang tamak ingin mendapatkan
jabatan, menjadi tega menyikut temannya sendiri. Orang yang ingin tenar, rela
menyerahkan kehormatan dan jati dirinya. Padahal, keluarga, teman dan
kehormatan, sangat bermakna dalam hidupnya. Tapi semuanya ia korbankan demi
mendapatkan kekayaan, jabatan dan ketenaran.
Mereka yang menganggap jabatan, ketenaran dan kekayaan
sebagai puncak dan lambang kesuksesan, akan sulit menikmati hidupnya. Sebab, ia
menganggap ketiganya adalah puncak kesuksesan. Sehingga, ketika ketiganya sudah
didapat, tak ada lagi yang ingin direngkuhnya. Ibarat pelari, ia sudah mencapai
garis finish. Karenanya, tak heran kalau mereka yang sudah memiliki ketiganya,
banyak yang bingung. Bingung harus berbuat apa lagi karena “kesuksesan” menurutnya sudah dicapai. Akhirnya, untuk menikmati “kesuksesan” itu, tak sedikit yang pergi ke kafe-kafe dan
menghabiskan waktunya dengan wanita penghibur.
Islam tak melarang meraih kekayaan, ketenaran dan
kedudukan. Tapi, ketiganya bukan satu-satunya indikasi kesuksesan. Ketiganya
hanya salah satu dari sarana menjadi sukses.
Dalam Islam, kesuksesan tak bisa ditandai dengan
kebahagiaan di dunia saja, tapi juga kebahagiaan di akhirat. Inilah cita-cita
yang selalu terlantunkan dalam doa, “Ya Tuhan kami,
berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami
dari siksa neraka,” (QS al-Baqarah: 201).
Paling tidak ada beberapa hal yang menandai kesuksesan
seorang Muslim. Pertama, hidupnya berguna bagi orang lain. Hal ini
sejalan dengan apa yang disampaikan Rasulullah saw, bahwa sebaik-baik manusia
adalah yang bermanfaat bagi orang lain.
Secara umum, di antara sifat manusia adalah dia ingin
mengaktualisasikan dirinya. Memberi manfaat bagi orang lain adalah bentuk
aktualisasi diri yang paling tinggi. Orang yang biasa memberi dengan ikhlas
akan merasa bahagia. Ia akan mendapatkan kepuasan luar biasa. Di sinilah letak
kesuksesan itu.
Agar bisa memberi, kita harus memiliki. Di sinilah
jabatan, kekayaan dan ketenaran berkumpul dan menemukan muaranya. Orang yang
mempunyai tiga hal itu, akan menemukan kebahagiaan manakala ia mau memberi
manfaat bagi orang lain dengan ikhlas. Jika tidak, pemberiannya takkan
melahirkan kepuasan dan kebahagiaan. Ia belum sukses meskipun kaya, tenar dan
mempunyai kedudukan.
Inilah yang menjelaskan mengapa para sahabat Rasulullah
saw semisal Utsman bin Affan dan Abdurahman bin Auf mampu merasakan
kebahagiaan. Kuncinya, mereka kaya, punya jabatan, terkenal dan bermanfaat bagi
orang lain.
Tentu saja, yang bisa membuat orang bermanfaat bukan hanya harta,
jabatan dan ketenaran. Ilmu dan moral yang baik, juga bisa membuat seseorang
berguna. Dengan ilmunya, seseorang bisa memberikan ide, nasihat dan pemikiran.
Dengan moralnya yang baik, seseorang bisa memberikan keteladanan. Keduanya
berguna bagi orang lain. Dan, keduanya bisa membuat orang sukses.
Kedua, mengutamakan proses dan menikmati keberhasilan. Kebahagiaan tak mungkin menghampiri orang
yang tak pernah bercita-cita. Tapi, ia juga tak mungkin mendekati para pemimpi.
Kendati sering bersinggungan, tapi cita-cita dan mimpi adalah dua hal berbeda.
Seorang Muslim harus mempunyai cita-cita tinggi walaupun tak mesti tercapai.
Cita-cita itulah yang akan menjadi kompas sekaligus penggerak hidup seseorang.
Lalu, di manakah letak kebahagiaan itu? Kebahagiaan terletak pada proses
mencapai cita-cita itu. Orang yang sukses adalah mereka yang bisa menikmati
upaya mewujudkan keinginannya dan mampu menikmati hasilnya apa pun yang
terjadi, tak mesti sesuai dengan yang diinginkan.
Ketiga, hidup seimbang. Ini di antara ajaran penting Islam, dan ini juga
merupakan hukum alam. Alam dan isinya diciptakan penuh keseimbangan. Makhluk
diciptakan berpasang-pasangan agar seimbang. Jika ada gunung, maka ada lembah.
Jika ada hitam, maka ada putih. Orang yang hidupnya tak seimbang, akan
mengalami ketidaknyamanan, gelisah dan keluh kesah. Mereka yang bekerja tanpa
istirahat, akan merasakan tubuhnya penat, capek dan lesu. Sebaliknya, orang
yang terlalu banyak istirahat pun akan merasakan tubuhnya kaku, lemah dan tidak
bergairah. Begitulah hidup ini. Ia harus seimbang.
Islam mengajarkan keseimbangan pemenuhan kebutuhan
duniawi dan ukhrawi. Kita banyak menemukan banyak ayat al-Qur’an dan hadits yang memerintahkan untuk menjaga keseimbangan. Perintah
mendirikan shalat Jum’at diiringi dengan perintah untuk mencari rezeki. Allah
berfirman, “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu
di muka bumi, dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung,” (QS al-Jumu’ah: 10). Perintah untuk mengejar kehidupan akhirat juga
dibarengi dengan perintah untuk tidak melupakan dunia. Allah berfirman, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah padamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan)
duniawi,” (QS al-Qashash: 77).
Kehidupan Rasulullah saw dan para sahabatnya pun
mencerminkan keseimbangan. Mereka para ahli zuhud, tapi mereka juga adalah
saudagar kaya. Mereka adalah ahli tahajud, tapi mereka juga mujahid perang.
Mereka ruhbaanun fil lail wa fursaanun fin nahaar (ahli ibadah di malam
hari, dan mujahid perang di siang hari).
Keempat, husnul khatimah. Kesuksesan tak ditentukan pada awal perjalanan
hidup. Ibarat pedagang, rugi dan untung hanya bisa diketahui di akhir
penjualan. Begitulah hidup ini. Sukses dan tidaknya kehidupan seseorang
terlihat di akhir hayatnya. Tak sedikit orang yang semula dipuja bak pahlawan,
tapi matinya dihujat orang. Mereka yang semula kaya raya, terkenal dan punya
kedudukan terpuji, tapi akhirnya meninggal dalam keadaan terhina.
Melihat keempat hal tersebut, ternyata untuk merengkuh
kesuksesan tak sesulit yang kita bayangkan. Tapi tentu saja tak semudah
membalikkan telapak tangan. Ternyata, untuk menjadi orang sukses dunia akhirat,
tak mesti kaya, tenar atau mempunyai kedudukan tinggi. Ternyata, kuncinya cuma
satu. Rengkuh kebahagiaan, itulah makna sukses sesungguhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar